TIMES JATIM, BANYUWANGI – Dalam beberapa tahun terakhir semangat literasi digital di Indonesia terlihat mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sebagai salah satu tolok ukur maju mundurnya peradaban sebuah bangsa di dunia, literasi menjadi sebuah keniscayaan untuk terus digalakkan dan dikembangkan. Tak terkecuali, literasi di kalangan para santri yang “mondok” di Pesantren.
Saat ini pesantren terus berbenah dan berpacu mengikuti perubahan dan dinamika zaman. Pesantren tidak hanya berkutat dengan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga “melek” sains sebagai ciri khas era digital.
Seperti dilansir dalam situs Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, isu gerakan literasi digital telah dilaksanakan mulai tahun 2017. Sejak dilaksanakan pada 2017, program Gerakan Literasi Digital Nasional telah menjangkau 12,6 juta masyarakat.
Pada tahun 2022 ini, menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johny G. Plate, Kominfo menargetkan pemberian pelatihan literasi digital kepada 5,5 juta masyarakat. Era digital yang serba cepat menuntut masyarakat untuk berubah, sehingga dibutuhkan talenta digital yang mumpuni. Masyarakat memiliki kesempatan untuk menggerakkan kekuatan Sumber Daya Manusia (SDM)-nya menyambut era literasi digital ini. Hal tersebut disampaikannya saat membuka acara Webinar Literasi Digital Indonesia Makin Cakap Digital untuk warga masyarakat Kabupaten Manggarai Barat, NTT, pada Rabu (29/06/2022).
Menurut Johny, kinerja literasi digital mulai menunjukkan peningkatan dari segi kualitas. Survei nasional yang dilakukan Kominfo bersama Kata Data pada 2021 menunjukkan indeks literasi digital masyarakat Indonesia berada di tingkat 3,49. Ini naik dari indeks tahun sebelumnya sebesar 3,46. Lebih lanjut, menurut Johny, Kominfo akan menyasar kelompok strategis seperti perempuan, UMKM, penyandang disabilitas, petani, dan nelayan.
Rupanya Gerakan Literasi Digital Nasional itu tak luput dari amatan para santri di seluruh Indonesia. Ramai-ramai mereka menikmati euforia literasi digital yang digalakkan oleh pemerintah melalui Kominfo itu.
Hal itu pula yang dirasakan oleh para mahasantri (mahasiswa santri) Darussalam Blokagung Banyuwangi. Ragam ide, gagasan, dan wacana mereka tuangkan di berbagai media baik cetak, elektronik dan terutama digital. Dari tema keseharian yang bernuansa lokal hingga isu dan wacana di tingkat nasional. Dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya hingga sosial keagamaan.
Sebagai perbandingan, misalnya geliat literasi mahasantri Institut Agama Islam (IAI) Darussalam Blokagung Banyuwangi yang dalam beberapa tahun terakhir meningkat pesat. Peningkatan dalam hal literasi digital ini tentunya tidak asal geliat dan “ujug-ujug” tanpa adanya upaya dan strategi yang nyata.
Fenomena akselerasi literasi digital mahasantri Darussalam tersebut tidak dapat dilepaskan dari beberapa strategi yang dilakukan. Menurut amatan penulis, beberapa strategi tersebut telah dilakukan dan hingga saat ini peningkatan literasi pun terlihat nyata dan merupakan fakta yang tak terbantahkan.
Literasi digital mahasantri Darussalam dapat dipetakan dalam tiga strategi yang saling bersinergi satu sama lain. Pertama, class meeting of literacy. Dalam strategi ini mahasantri diberikan beberapa trik bagaimana menulis ilmiah di berbagai media massa. Di antaranya adalah pada setiap perkuliahan, mahasantri “diwajibkan” membawa masing-masing satu artikel yang dimuat di media. Tak hanya itu, mereka diharuskan membaca, meneliti, dan mencermati artikel tersebut dari berbagai perspektif dan pemahaman masing-masing mahasantri.
Kedua, door to door meeting of literacy. Ada ungkapan popular yang dikenal dalam dunia keseharian kita. “Tak kenal maka tak sayang”. Kenalkan dunia literasi kepada mahasantri tersebut melalui pendekatan antar personal. “Face to face” untuk membincang tentang seputar dunia literasi, signifikansi dan urgensinya bagi perkembangan diri dan masyarakatnya. Dalam hal ini, dibutuhkan kejelian bagi pegiat literasi untuk mengenali potensi anak didiknya.
Ketiga, small group discussion of literacy (SGDL) dan focus group discussion of literacy (FGDL). Kajian kecil dalam hal tersebut juga diperlukan untuk mendorong dan memotivasi mahasantri untuk lebih mengenal lika liku dunia literasi. Dalam SGDL/FGDL dapat dipastikan akan terbentuk budaya cinta literasi yang saling mendukung dan bersinergi satu sama lain. Berikan stimulus dan motivasi untuk berliterasi. Suasana dan budaya literasi akan mewarnai dunia di sekitarnya. Dari sinilah forum-forum dan kelompok-kelompok diskusi literasi akan berkembang lebih luas dan dapat menstimulus para pegiatnya di berbagai daerah dan wilayah yang lebih luas.
Geliat literasi di kalangan mahasantri Darussalam tentunya tak dapat dilepaskan juga dari ragam inspirasi yang ada di dunia pesantren. Hal yang paling mencolok adalah teladan (qudwah hasanah) dari para Kiai intelektual kita di pesantren yang memiliki spirit literasi tanpa batas. Misalnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus), KH Said Aqil Siradj, KH Masdar F. Mas’udi yang gagasan dan ide-ide bernasnya dimuat di media massa nasional seperti Jawa Pos, Kompas, Media Indonesia, Tempo dan lain-lainnya.
Teladan literasi dari para Kiai kita tersebut tentunya juga tak dapat dilepaskan dari bukti pengamalan mereka terhadap perintah Kitab Suci al-Qur’an untuk senantiasa “membaca” ayat-ayat Tuhan. Baik ayat-ayat yang bersifat tekstual (qauliyah) maupun tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta (kauniyah).
Kecerdasan mereka dalam merespon setiap problematika sosial kemasyarakatan menjadi acuan kita. Kepekaan mereka dalam menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan menjadi bukti bahwa mereka tidak berdiri di atas menara gading. Mereka terjun langsung dan bergelut dengan realitas keseharian umat. Dari dialektika keseharian inilah mereka merefleksikan dan menyalurkan aspirasinya di berbagai media massa. Mereka menjadi para penyambung lidah rakyat yang hampir tiap saat dihimpit dengan kesusahan dan kesengasaraan.
Respons terhadap realitas sosial keseharian inilah yang coba ditiru oleh para generasi mahasantri dalam literasi di era digital ini. Mereka menyalurkan aspirasi dan “unek-unek”-nya dalam membaca dan memahami realitas kesehariannya.
Ragam media online ternama seperti Times Indonesia, Radar Banyuwangi dan Radar Jatim menjadi targetnya dalam memarketkan ide-ide dan gagasan-gagasannya. Literasi yang mereka bangun merupakan bagian dari upaya untuk ikut berperan aktif memajukan peradaban global. Selain itu, juga ikut berkontribusi dalam menyukseskan program pemerintah dalam upaya menggalakkan dan mengembangkan literasi nasional.
Geliat literasi mahasantri Darussalam juga dapat dimaknai sebagai aksi nyata dari apa yang diajar dan ujarkan oleh Pramoedya Ananta Toer (1925-2006). Pak Pram—demikian panggilan populernya—yang merupakan teman akrab Gus Dur itu pernah menyatakan “menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi”.
Mahasantri Darussalam sadar betul, mereka adalah agen-agen perubahan di masyarakat (agents of change) kelak nantinya jika mereka pulang ke kampung dan desa, serta habitatnya masing-masing. Mereka berpegang teguh dengan inspirasi literasi dari Pak Pram “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Mahasantri Darussalam telah membuktikan itu. Geliat literasi mereka merupakan pesan kepada dunia. Mahasantri Darussalam membangun peradaban dunia dari pojok-pojok sudut pedesaan yang jauh dari kesan metropolitan.
Tunas-tunas literasi menyeruak dan bertebaran dari ruang-ruang diskusi kelas, obrolan “ngopi” dan gurauan serta canda tawa antar author (penulis). Gaungnya membahana hingga ke ujung dunia. Magnitudo getarannya menggema menarik para penulis untuk berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat) menyampaikan gagasan dan ide-ide cemerlangnya.
Inilah makna literasi mahasantri Darussalam. Mari bangkit berprogres dengan literasi.
***
*) Oleh: Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H.; Dosen mata kuliah Pengantar Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAI Darussalam Blokagung Banyuwangi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Dapatkan update informasi pilihan setiap hari dari TIMES Indonesia dengan bergabung di Grup Telegram TI Update. Caranya, klik link ini dan join. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi Telegram di HP.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Memaknai Strategi dan Geliat Literasi Mahasantri Darussalam
Pewarta | : |
Editor | : Faizal R Arief |