TIMES JATIM, LAMONGAN – Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, posisi Indonesia sebagai negara berkembang kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit dalam kebijakan ekonomi dan perdagangan.
Terbaru, keputusan Amerika Serikat di bawah administrasi Donald Trump yang dikenal agresif dalam pendekatan proteksionisme dan diplomasi dagang bilateral telah mengguncang relasi dagang Indonesia-AS dan membuka luka lama terkait ketimpangan kekuatan ekonomi global.
Setelah menerima ancaman surat pemberlakuan tarif tinggi dari pemerintah AS, Indonesia dipaksa masuk dalam negosiasi yang sangat tidak seimbang. Dalam waktu kurang dari tiga minggu, muncul kesepakatan yang menyakitkan: tarif produk Indonesia ke AS diturunkan menjadi 19 persen, dengan syarat Indonesia wajib membeli produk dari Amerika Serikat senilai miliaran dolar.
Apa saja yang “dibeli” Indonesia sebagai kompensasi? Energi senilai 15 miliar dolar AS (setara Rp244 triliun), produk pertanian senilai 4,5 miliar dolar AS (Rp73,1 triliun), dan pembelian 50 unit pesawat Boeing seri 777 yang semuanya memprioritaskan industri dan sektor tenaga kerja Amerika.
Ini jelas merupakan bentuk diplomasi dagang koersif yang menempatkan Indonesia sebagai pasar konsumtif, bukan mitra dagang yang setara dan berdaulat.
Industri Nasional dalam Ancaman
Keputusan ini bukan hanya soal angka dan transaksi. Ini adalah pukulan telak bagi ruang tumbuhnya industrialisasi nasional. Ketika barang-barang impor, khususnya dari negara maju seperti AS, masuk tanpa hambatan tarif, maka produk lokal tak akan mampu bersaing, baik dari sisi harga maupun persepsi kualitas.
UMKM dan industri nasional akan menanggung akibat langsung. Sektor-sektor ini yang seharusnya menjadi tulang punggung kemandirian ekonomi justru akan makin terpinggirkan.
Alih-alih mendorong substitusi impor atau kebijakan yang mendukung hilirisasi industri dalam negeri, pemerintah justru terjebak dalam jebakan dagang bilateral yang timpang.
Kita kehilangan ruang untuk menumbuhkan basis produksi dalam negeri, kehilangan peluang mengembangkan teknologi industri sendiri, dan bahkan membiarkan pasar domestik kita dikuasai oleh produk asing. Ini bukan perdagangan bebas yang adil (fair trade), melainkan dominasi ekonomi atas negara berkembang.
Bahaya Neraca Dua Lapis
Secara makro, Indonesia mungkin akan tetap mencatatkan surplus perdagangan global, terutama dari ekspor ke negara-negara seperti China, Jepang, atau India. Namun dalam konteks bilateral dengan AS, situasinya sangat timpang.
Inilah yang disebut dengan risiko “neraca dua lapis” sebuah kondisi ketika neraca dagang nasional terlihat sehat secara agregat, namun mengalami defisit kronis dalam hubungan dengan negara-negara tertentu yang memiliki kekuatan negosiasi besar.
Hal ini berbahaya dalam jangka panjang, karena ketergantungan pada negara seperti AS akan membuat Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah.
Kita dipaksa membeli produk yang belum tentu menjadi prioritas pembangunan nasional, hanya demi menghindari sanksi atau hambatan dagang. Ini menjadi ancaman serius terhadap kedaulatan ekonomi kita.
UMKM: Korban Globalisasi Tanpa Perlindungan
Dampak langsung dari ketimpangan ini akan paling cepat terasa di sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Saat barang impor lebih murah, konsumen akan cenderung memilih produk luar negeri. UMKM lokal yang bergerak di sektor pertanian, makanan olahan, furnitur, tekstil, hingga teknologi ringan akan tergilas.
Apalagi UMKM kita masih menghadapi banyak kendala: keterbatasan akses pembiayaan, minimnya adopsi teknologi, kurangnya perlindungan hak cipta dan kekayaan intelektual, serta keterbatasan jaringan distribusi. Jika mereka harus bersaing dengan produk hasil subsidi dari negara maju, maka UMKM seperti ‘berperang tanpa senjata.’
Lebih buruk lagi, karakter ekonomi Indonesia yang konsumtif membuat produk asing justru mendapat tempat istimewa di pasar domestik. Produk luar dianggap lebih bergengsi, lebih berkualitas, dan lebih bergengsi secara sosial. Narasi ini semakin menggerus daya saing dan kepercayaan diri pelaku usaha lokal.
Konsumen Pasif
Dalam konstruksi hubungan ini, Indonesia lebih tampak sebagai pasar konsumtif pasif, bukan sebagai mitra dagang yang setara. Negara yang hanya membeli, bukan menjual. Negara yang hanya mengimpor, bukan mengekspor. Negara yang menjadi sasaran diplomasi dagang koersif, bukan pelaku yang menentukan arah.
Padahal, Indonesia seharusnya berada di posisi yang lebih percaya diri. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, sumber daya alam melimpah, dan kekuatan geopolitik yang signifikan di kawasan Asia Tenggara, kita punya kekuatan tawar yang jauh lebih besar daripada yang selama ini dimanfaatkan.
Namun kekuatan ini tidak akan bermakna jika kita terus tunduk pada tekanan negara maju demi stabilitas jangka pendek. Kita perlu strategi jangka panjang yang menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi, bukan hanya konsumsi.
Kita harus menanamkan dalam benak seluruh pemangku kepentingan bahwa kedaulatan ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari kedaulatan nasional.
Apa yang harus dilakukan? Pertama, Indonesia harus membangun diversifikasi mitra dagang. Ketergantungan yang terlalu tinggi pada satu negara, seperti AS, membuat kita rapuh.
Kerja sama dengan negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin harus diperkuat sebagai bagian dari strategi “South-South Cooperation”.
Kedua, perlindungan terhadap sektor strategis dalam negeri harus ditingkatkan. Bukan berarti menutup diri dari perdagangan global, tetapi memastikan bahwa sektor UMKM, pertanian lokal, dan manufaktur ringan mendapat perlakuan istimewa untuk tumbuh.
Ketiga, pemerintah harus berani menolak kesepakatan dagang yang tidak seimbang. Jika harus menghadapi sanksi, hadapilah dengan strategi yang cerdas dan gotong royong seluruh elemen bangsa. Jangan sampai ketakutan terhadap retaliasi dagang membuat kita menjual kedaulatan nasional.
Apa arti merdeka jika kita tidak punya kedaulatan dalam menentukan arah ekonomi kita sendiri?
Keputusan membeli produk asing dalam jumlah besar sebagai kompensasi atas tarif impor bukan hanya keputusan ekonomi. Itu adalah keputusan politik, dan keputusan geopolitik yang mencerminkan posisi kita di mata dunia.
Sebagai akademisi, sebagai ekonom, dan sebagai warga negara, saya berharap pemerintah lebih berhati-hati dalam menyusun strategi dagang ke depan. Jangan biarkan Indonesia hanya menjadi pasar. Kita harus menjadi produsen, inovator, dan pengendali masa depan ekonomi kita sendiri.
Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang percaya diri bukan hanya pada sejarahnya, tapi pada masa depan yang dibangunnya sendiri.
***
*) Oleh : Dr. H. Abid Muhtarom, SE., S.Pd., M.SE., Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Lamongan (UNISLA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |