TIMES JATIM, MALANG – Kriminalisasi guru yang terjadi di Konawe Selatan Sulawesi Sulawesi Tenggara mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak. Guru yang harusnya menjadi sosok paling berjasa di lingkungan sekolah, kini justru mendapatkan perlakuan kriminal terhadap dirinya.
Dosen Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Ratri Novita Erdianti, turut memberikan komentarnya. Dia menyebut, bahwa kriminalisasi guru ini berangkat dari adanya upaya untuk menciptakan sekolah ramah anak. Dalam kasus ini, pihak sekolah dituntut untuk lebih mengutamakan kenyamanan siswanya.
Selain itu, adanya UU perlindungan anak dan banyaknya kasus kekerasan terhadap anak membuat guru jadi subjek yang rentan dianggap sebagai pelaku.
“Program atau kebijakan sekolah ramah anak adalah suatu kebijakan yang sangat bagus untuk diterapkan di Indonesia. Akan tetapi, menurut saya, penting sekali bagi masyarakat untuk berpikir terbuka secara objektif. Tidak semua guru itu mendisiplinkan atau mendidik siswa dengan nuansa kekerasan,” sambungnya.
Ia juga menyoroti kasus kriminalisasi yang dilakukan orang tua siswa terhadap guru. Ratri menegaskan pentingnya komunikasi yang baik antara kedua belah pihak, yakni orang tua dan guru. Maksudnya, orang tua harus mengamati dengan terbuka ketika guru mendisiplinkan atau mendidik siswa. Aa alasannya dan bagaimana cara yang dilakukan oleh guru.
“Jangan serta-merta menghakimi guru melakukan tindak kriminal begitu saja,” tegasnya.
Di samping itu, Ratri menegaskan, pada dasarnya guru boleh saja mendisiplinkan siswa selama tidak bernuansa kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta tidak mengandung unsur SARA.
Bahkan menurutnya, hal tersebut harus dilakukan guru sebagai bentuk kepedulian terhadap suasana belajar dan lingkungan sekolah yang disipilin. Selain itu dapat menumbuhkan sikap disiplin dan rasa bertanggung jawab dalam diri siswanya.
Dalam penjelasannya, Ratri juga menyampaikan mengenai beberapa prinsip dalam undang-undang perlindungan anak yang berlaku saat ini.
Menurutnya, mayoritas prinsip-prinsip dalam UU tersebut terkesan memprioritaskan kepentingan anak saja, sehingga keberadaan payung hukum yang melindungi guru menjadi lemah. Tak heran, tidak sedikit kasus tindak kriminalisasi yang dialami guru kerap terjadi di masyarakat.
“Zaman silih berganti. Jika kita amati bersama, anak-anak di zaman ini berbeda dengan zaman dahulu, begitupun kebijakan peraturan yang berlaku. Sayangnya, hal ini menjadi faktor yang signifikan terhadap munculnya beberapa kasus kriminalisasi terhadap tenaga pendidik,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa, guru juga dilindungi oleh Undang-Undang No. 14 Tahun 2005. Secara mendasar, menurut UU tersebut, dikatakan bahwa profesi guru sebagai tenaga pendidik memiliki jaminan perlindungan hukum dan dilindungi oleh negara dalam melaksanakan tugas serta tanggung jawab keprofesionalannya sebagai tenaga pendidik.
Ditafsirkan juga bahwa seorang guru mempunyai kewajiban untuk mendidik atau mendisiplinkan siswa yang berbuat kenakalan atau kesalahan di lingkungan sekolah. Kemudian, UU No. 14 Tahun 2005 dalam pasal 39 dan 41 yang berbunyi ‘Guru itu berhak mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman, dan perlakuan diskrimintaif, intimidasi atau perlakuan tidak adil’.
“Pasal tersebut sekaligus sebagai payung hukum. Guru itu tidak boleh dikriminalisasikan menjadi pelaku tindak pidana. Maka komunikasi antara guru, orang tua, dan siswa harus terus terjalin,” ungkapnya.
Ia berpesan, para orang tua yang menitipkan dan mempercayai anak-anak kita kepada para guru harus membangun sinergisitas antara pihak sekolah dan bersikap lebih bijak. Bijak dalam memandang hukuman dalam rangka mendisiplinkan dari kacamata tiga batasan yaitu tidak bernuansa kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta tidak mengandung unsur SARA. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Dosen Hukum Tanggapi Kasus Kriminalisasi Guru di Konawe, Jangan Serta-Merta Menghakimi Guru
Pewarta | : Achmad Fikyansyah |
Editor | : Imadudin Muhammad |