https://jatim.times.co.id/
Berita

Mitro Joyo: Upaya 40 Tahun Menjaga Tradisi Jaran Kepang Dor di Kabupaten Malang

Rabu, 06 November 2024 - 16:28
Mitro Joyo: Upaya 40 Tahun Menjaga Tradisi Jaran Kepang Dor di Kabupaten Malang Paguyuban kesenian Jaran Kepang Dor 'Mitro Joyo' saat melakukan ritual 'suguh' atau membakar menyan sebelum pertunjukan di mulai (FOTO: Tangkapan layar dari youtube @rudyan channel)   

TIMES JATIM, MALANG – Sekitar 40 tahun lalu jadi titik tolak berkembangnya kesenian Jaran Kepang (Kuda Lumping) di Desa Sukoanyar, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Tak terbayangkan di benak Wito yang saat itu berusia 19 tahun. Paguyuban kesenian Jaran Kepang Dor 'Mitro Joyo' yang dia rintis, ternyata terus berkembang sampai saat ini. 

Awalnya, cuma hobi nonton Jaran Kepang Dor yang digelar Mbah Tarib, salah satu sesepuh di desanya. Kecintaannya dengan kesenian asal Ponorogo ini mulai dia wujudkan dengan mendirikan paguyuban 'Mitro Joyo' pada 1984 lalu. 

Paguyuban ini kemmudian jadi menjadi cikal bakal berkembangnya kesenian Jaran Kepang Dor di desa Sukoanyar. Selama beberapa tahun, Wito memimpin pagutuban itu. Kemudian Samari meneruskan kepemimpinannya sampai saat ini.

Apa itu Jaran Kepang Dor?

Asal kesenian Jaran Kepang Dor sampai saat ini memang belum bisa dipastikan dari mana. Sebuah pendapat mengatakan Jaran Kepang Dor adalah variasi perkembangan dari seni Jaranan Thek dari Ponorogo. Meskipun keduanya berbagi akar budaya yang sama, namun mereka memiliki perbedaan mendasar dalam elemen pertunjukan.

Pemilihan nama Jaran Kepang Dor diambil dari alat musik Jidor yang digunakan saat pertunjukan. Selain jidor, alat musik yang biasanya digunakan adalah kendang, angklung, dan kentongan. Saat pertunjukan dimulai, pemain menggunakan kuda lumping atau jaran kepang yang terbuat dari anyaman bambu dan caplokan atau topeng dari kayu berwarna merah.

Ciri khas Jaran Kepang Dor lebih menekankan unsur mistis, atraktif dan adegan trance atau kesurupan. Di sebagian pertunjukan, penari yang kesurupan akan mengunyah kaca, memakan dedaunan, hingga atraksi kekebalan tubuh. Di Desa Sukoanyar, sebelum acara dimulai, dilakukan ritual 'suguh' atau membakar menyan atau dupa di 'dhanyangan' tempat dilakukan kesenian dan tempat asalnya. Sejumlah sesajen disiapkan saat pertunjukkan

Berbeda engan Jaran Kepang Dor, Jaranan Thek justru lebih kuat ke arah pertunjukan seninya. Meski ada unsur magisnya juga, tapi tidak dipertontonkan secara kuat. Alat musiknya juga lebih sederhana, hanya menggunakan kendang dan gamelan.

Paguyuban-kesenian-Jaran-Kepang-Dor-Mitro-Joyo-a.jpgAnggota paguyuban kesenian Jaran Kepang Dor 'Mitro Joyo' saat beraksi menggunakan kuda lumping (FOTO: Tangkapan layar dari youtube @rudyan channel)   

Selain Jaran Kepang Dor dan Jaran Kepang Thek, di beberapa daerah seni jaran kepang ini berbeda nama. Ada Jaranan Pegolan, Jaranan Pegon, Jaranan Senterewe dan lainnya. Meski namanya berbeda, namun filosofinya sama bahwa tradisi jaran kepang adalah bentuk tradisi masyarakat untuk menyatakan rasa syukur dan memohon keselamatan kepada Tuhan.

Seiring berkembangnya zaman, kesenian ini berubah fungsi menjadi hiburan. Tidak sakadar kepentingan sakral saja, mengingat kebutuhan dan kepuasan batin masyarakat yang semakin berkembang ke arah modern. Namun hal tersebut tidak menghilangkan nilai kesakralan Jaran Kepang Dor. 

Jaran Kepang Dor 'Mitro Joyo'

Pertunjukan Jaran Kepang Dor kini hampir ditemukan di banyak daerah. Bentuk pertunjukannya juga sangat variatif. Bahkan ada yang mulai memadukan dengan musik Campursari. Biasanya Campursari dipakai sebagai musik pemanasan atau tahap pembukaan sebelum menuju tahap kesurupan atau trance.

"Lek kesenian jaran kepang iku jaran kepang dor biyen, lek saiki digawe campursari,” (Dulu kesenian Jaran Kepang itu namanya Jaran Kepang Dor, kalau sekarang digabung Campursari.red)," ungkap Wito. 

Menurut Wito, perbedaan yang paling menonjol dari Jaran Kepang Dor dibandingkan dengan yang lainnya adalah tambahan atraksi yang mengandung unsur komedi atau dikenal dengan istilah 'Sawo Gletak'. Atraksi tersebut biasanya dipertunjukkan pada tahap penutupan. Atraksi itu menggambarkan dua orang yang bertingkah lucu namun masih dalam pengaruh trance. Hal tersebut membuat daya tarik tersendiri bagi penonton. 

Perkembangan Jaran Kepang 'Mitro Joyo' melalui berbagai pasang surut. Tidak hanya peminat yang bertambah, banyak orang juga menganggap sebelah mata karena perbedaan pandangan. Unsur magis yang ada dalam pertunjukan dinilai sebagian orang tidak sesuai dengan tatanan agama.

Dilabrak aku. Diilokno fanatik. Aku ora fanatik, aku yo netral, opo umume. Wayahe nang masjid yo nang masjid. Wayah tahlil yo tahlil,” (Saya dilabrak. Dikatakan fanatik. Saya nggak fanatik. Saya netral, seperti umumnya orang saja. Waktunya ke masjid ya ke masjid. Waktunya tahlil ya tahlil.red)," kata Wito. 

Bagi Wito, Jaran Kepang adalah warisan dari nenek moyang yang harus diuri-uri, dilestarikan. Seperti cara dia melestarikan ‘Mitro Joyo’ sampai tiga generasi. Kesenian ini bisa bertahan puluhan tahun karena regenerasi pemainnya terus berlanjut dan cukup konsisten. 

Saat ini, anggota pemain kesenian 'Mitro Joyo' usiaanya kebanyakan sekitar 20 - 50 tahun. Beberapa diantaranya justru berasal dari desa sebelah. Pemain senior kini sudah jarang ikut dan lebih berada di posisi pengurus dan penanggung jawab. 

Melestarikan seni atau tradisi itu, kata Wito, seperti 'moleh gowo upo', pulang tidak membawa apa-apa. Ketika melakukan pertunjukan, dia kadang hanya disediakan makan dan rokok saja oleh tuan rumah. Pernah tidak menerima uang sesenpun. Kalau pun ada, akan dimasukkan untuk kas. 

Berkesenian menurut Wito adalah cara dia menghibur diri di tengah lelahnya menjalani kehidupan. Memang secara materiil dia tidak mendapat lebih, namun kesenian bisa mengisi jiwanya. 

Upaya berkeseniannya ini perlahan muai menggugah kesadaran masyarakat untuk tetap menjaga warisan nenek moyang. Kesadaran ini nantinya akan mendorong kesenian Jaran Kepang Dopr tetap hidup. 

Konsistensi paguyuban Jaran Kepang Dor 'Mitro Joyo' selama 40 tahun untuk menjaga warisan nenek moyang, bukan pekerjaan mudah. Butuh keikhlasan dan konsistensi yang sangat luar biasa yang dilakukan Wito dan seluruh anggota paguyuban.

Banyak sebenarnya orang-orang seperti Wito ini. Mereka tak banyak dikenal namun apa yang ilakukan sangat nyata.

Orang-orang seperti ini, harusnya periu diberi apresiasi lebih oleh pemerintah. (*)

 

PEWARTA: Ayu Syarifatul M (MG) 

Pewarta :
Editor : Faizal R Arief
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.