TIMES JATIM, JAKARTA – OPEC+ yang terdiri dari 23 negara produsen minyak mendukung pemangkasan produksi minyak yang telah disepakati bersama. Yakni dengan mengurangi produksi sebesar dua juta barel per hari dengan alasan ketidakpastian kondisi pasar.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) itu memangkas proyeksi pertumbuhan permintaan minyak dunia untuk tahun 2022 dan 2023. Pemangkasan dilakukan karena ketidakpastian ekonomi global, bangkitnya langkah-langkah pembatasan Covid-19 di China dan inflasi yang tinggi.
OPEC memperkirakan permintaan minyak pada tahun 2022 naik 2,7 persen menjadi 2,64 juta barel per hari, turun 460.000 barel per hari dari perkiraan sebelumnya.
Keputusan OPEC+ mengurangi produksi minyak ini disebut Kementerian Luar Negeri Arab Saudi sebagai keputusan 'murni ekonomi'. Keputusan tersebut kemudian ditentang Amerika Serikat karena disebut justru akan menguntungkan salah satu anggota OPEC+ yaitu Rusia. Rusia menyebut keuntungan ini dimungkinkan untuk membiayai perang di Ukraina.
"Informasi mengenai OPEC Plus yang memotong produksi sehingga harga (minyak) naik lagi ketika beberapa saat cenderung turun," terang Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto dalam Konferensi Pers terkait Kinerja Hulu Migas Kuartal III Tahun 2022 di Kantor SKK Migas, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Senin 17 Oktober 2022.
"Seperti kita ketahui, ketika inflasi tinggi berarti akan mengancam ekonomi. Orang akan ngerem semua karena inflasi tinggi, orang akan ngerem investasi. Dengan demikian kebutuhan migas akan menurun dan itu membuat harga menjadi turun, ketika harga turun OPEC menentukan (dengan) kurangi produksi, tentu harga naik lagi," sambung Dwi.
Selain faktor OPEC+, Kepala SKK Migas juga mengungkap beberapa variabel lain yang mempengaruhi harga pasar minyak dunia di tahun 2023. Dalam hal peningkatan produksi minyak Amerika Serikat misalnya, perannya sangat signifikan bagi supply demand minyak dunia sekaligus sebagai perimbangan terhadap keberadaan OPEC+.
"Kemudian kebutuhan konsumsi Cina yang sangat tinggi. Kemarin masih tertahan karena pandemi, ini menjadi faktor juga ketika pandemi sudah selesai kebutuhan (minyak) di Cina tentu besar," jelas Dwi Sutjipto.
Selanjutnya soal ancaman ekspor minyak Rusia pada 5 Desember 2022 mendatang. Diketahui, Negara-negara Kelompok Tujuh (G7) bekerja untuk membatasi harga minyak Rusia demi mengekang kemampuan Rusia untuk mendanai invasinya ke Ukraina.
Penetapan larangan minyak Rusia melalui laut ini akan diberlakukan mulai 5 Desember 2022. Menurut panduan awal Kementerian Keuangan Amerika Serikat (AS) tentang penerapan kebijakan layanan maritim dan pengecualian harga terkait untuk kapal angkut minyak Rusia lintas laut.
"Ekspor minyak Rusia yang beberapa saat ini, kemungkinan akan ada ancaman yang keluar tanggal 5 Desember yang akan datang, mungkin. Apakah kemudian ekspor minyak Rusia ini akan terhambat dengan kebijakan-kebijakan yang keluar di bulan Desember. Begitu juga reaksi Rusia terhadap hal-hal tersebut," ucap Dwi Sutjipto.
"Ini memang hal-hal yang saat ini penuh dinamika, perlu dicermati, memang sulit untuk menentukan prediksi, skenario harga minyak dunia ke depan," sambungnya.
Pemerintah Indonesia sendiri dikatakan Dwi telah mengambil langkah dengan menyiapkan beberapa skenario. Di tahun 2023, ia optimis masih berada di kisaran angka US$ 90 meski dimungkinkan akan turun apabila dalam prosesnya ada pelemahan-pelemahan ekonomi.
Terakhir, Kepala SKK Migas menyinggung kebijakan dari pemain global terhadap keuntungan yang diperoleh dari harga minyak dunia. Kata Dwi, yang diinvestasikan dari keuntungan cash yang mereka peroleh pada kegiatan hulu migas kira-kira sebesar 27 persen.
"Yang lain-lain mereka pakai untuk mengurangi hutang, konsolidasi beberapa bisnis dan investasi lain yang sudah mulai masuk ke energi baru terbarukan dan sebagian untuk membayar dividen," tuturnya.
Ditekankan, meski kenaikan harga minyak begitu melonjak tajam tetapi untuk investasi juga tidak terlalu signifikan pertumbuhannya. Hal inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan, dimana harga sangat tinggi kenapa investasi tidak ikut melonjak setinggi harga minyak.
"Karena mereka juga melihat, bahwa itu masih harga yang masih insidentil, kondisinya masih sangat dinamis. Sehingga mereka menjadi lebih hati-hati ditambah dengan ancaman krisis sehingga mereka membayar hutang yang didahulukan," demikian Dwi Sutjipto. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kepala SKK Migas: Sulit Menentukan Skenario Harga Minyak Dunia ke Depan
Pewarta | : Sumitro |
Editor | : Imadudin Muhammad |