TIMES JATIM, SIDOARJO – Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan alias LPP APBD 2024 dipastikan disahkan melalui peraturan kepala Daerah (Perkada). Bukan Peraturan Daerah (Perda). Konflik elit politik ini tentu akan berdampak pada masyarakat Sidoarjo. Dan PAK APBD 2025 terancam tak bisa disahkan.
Kondisi ini membuat puluhan aktivis dari gerakan non blok turun langsung menemui Ketua DPRD Sidoarjo, Abdillah Nasih. Mereka menanyakan dampak dan kelanjutan PAK APBD 2025. Karena eksekutif dan legislatif beda tafsir terkait PAK pasca LPP disahkan lewat perda.
Kasmuin salah satu aktivis yang ahli dalam bidang perencanaan pembangunan menuturkan eksekutif meyakini bahwa ketika LPP disahkan lewat Perkada maka PAK APBD 2025 tidak bisa disahkan, hal ini tentu merujuk pada PP Nomor 12 Tahun 2019.
Sedangkan DPRD Sidoarjo tetap meyakini bahwa PAK APBD 2025 yang saat ini sedang dibahas tetap bisa disahkan, karena menganggap Perkada dan Perda itu sama. “Padahal aturan-nya sama, kok bisa beda penafsiran,” ucap Kasmuin, Kamis (7/8/2025).
Dalam pertemuan para aktivis seperti Hariadi Siregar, Slamet Budiono, Ludy Eko, Mamad Ipul dan Badrus Zaman serta akademisi Dr. Hasan Ubaidillah cukup lama berdiskusi dengan Ketua DPRD Sidoarjo, Abdillah Nasih dan anggota dewan Wahyu Lumaksono dari Fraksi Golkar.
Dr. Ubaidillah menjelaskan bahwa secara aturan LPP APBD disahkan melalui perda maupun perkada tetap sah. Tapi karena produknya berbeda maka muatannya juga tidak sama.
Kalau perda itu bisa mengimplementasi APBD secara optimal, baik secara perencanaan maupun pelaksanaan, sedangkan Perkada tidak bisa semaksimal seperti Perda yang disepakati antara eksekutif dan legislatif.
Tapi ketika LPP APBD 2024 disahkan lewat perkada bukan berarti menjadi sinyal yang tidak diperbolehkan. Itu tetap sah dilaksanakan. “Harapan kita kejadian ini bisa memberikan kebaikan dan evaluasi bersama. Dan kita harus terima konsekuensinya,” ujarnya.
“Ya saya rasa kalau keputusan lewat perkada semua akan rugi. Dewan ya rugi, pemerintah juga rugi, apalagi masyarakat ya pasti rugi,” tambahnya.
Hariadi mengungkapkan bahwa konflik eksekutif dan legislatif jika terus berlangsung lama akan mengundang aparat penegak hukum untuk masuk. Warga Sidoarjo sudah trauma pemimpinya selalu tersangkut dengan persoalan hukum.
Menurut Badrus tupoksi DPRD Sidoarjo seperti pengawasan, penganggaran dan legislasi harus difungsikan untuk memberikan dampak terhadap pelayanan kepada masyarakat. Karena masyarakat tidak peduli adanya konflik elit politik ini. “Mereka butuh pelayanan berjalan baik, kebutuhan dasar mereka terpenuhi,” ujarnya.
Sementara Ketua DPRD Sidoarjo Abdillah Nasih tetap pada yakin bahwa meskipun LPP APBD lewat perkada pelaksanaan PAK APBD 2025 bisa disahkan. Posisi perda dan perkada itu sama-sama sah.
Kalau misalkan karena LPP lewat perkada tidak bisa melaksanakan perubahan APBD maka ini bisa menghambat pembangunan untuk kepentingan rakyat. “saya rasa si pembuat aturan (PP Nomor 12 Tahun 2019) bisa dikatakan menghambat pembangunan,” ujarnya.
Politisi PKB itu menegaskan bahwa kalau LPP APBD harus disetujui dan lewat Perda, maka hapus saja aturannya yang memperbolehkan dewan tidak menyetujui terhadap LPP APBD.
“Jadi sekarang itu, eksekutif dan legislatif sama-sama ingin melaksanakan PAK APBD 2025,” tutupnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Konflik Elit Politik Penolakan LPP APBD dan PAK 2025, Aktivis Temui DPRD Sidoarjo
Pewarta | : Syaiful Bahri |
Editor | : Deasy Mayasari |