TIMES JATIM, YOGYAKARTA – Kotagede selama ini dikenal luas sebagai salah satu destinasi wisata unggulan di Kota Yogyakarta. Kawasan bersejarah ini menjadi magnet wisatawan domestik maupun mancanegara berkat sentra kerajinan perak berkualitas tinggi yang telah melegenda sejak masa Kerajaan Mataram Islam. Namun, di balik gemerlap etalase perhiasan perak dan padatnya arus wisata belanja, Kotagede menyimpan kekayaan lain yang tak kalah berharga: kuliner tradisional bernama Roti Kembang Waru.
Sayangnya, panganan jadul Roti Kembang Waru ini kini kian langka dan mulai tersisih di tengah maraknya roti dan kue kekinian dengan tampilan modern serta ragam topping.
Roti Kembang Waru bukan sekadar makanan ringan. Kue berbentuk menyerupai bunga pohon waru ini memiliki nilai sejarah panjang. Pada masa kejayaan Kerajaan Mataram, roti ini dikenal sebagai sajian favorit para bangsawan keraton. Bahkan, keluarga Belanda yang tinggal di wilayah Yogyakarta tempo dulu juga menyukai roti berbahan dasar telur dan tepung ini.
Seiring perjalanan waktu, resep Roti Kembang Waru pun mengalami penyesuaian. Jika dahulu adonannya menggunakan tepung ketan, kini bahan tersebut diganti dengan tepung terigu agar lebih mudah diolah. Meski begitu, cara memasaknya tetap dipertahankan secara tradisional, yakni menggunakan oven berbahan bakar arang yang memberikan aroma khas dan cita rasa autentik.
Di pasar-pasar tradisional Kotagede, Roti Kembang Waru masih bisa ditemui, meski jumlah penjualnya semakin sedikit. Di salah satu sudut gang sempit kawasan Kotagede, Rusmiyati, menjadi salah satu perajin yang setia mempertahankan produksi kue legendaris ini.
Rusmiyati telah menekuni usaha Roti Kembang Waru sejak era 1980-an. Puluhan tahun bergelut dengan adonan telur dan tepung, ia menyaksikan sendiri bagaimana pamor kue tradisional ini perlahan meredup, terutama di kalangan generasi muda.
“Sekarang bukan cuma tidak suka, banyak anak muda yang malah tidak kenal kue ini. Mereka lebih tertarik roti-roti modern buatan luar negeri yang bentuk dan rasanya macam-macam,” ujar Rusmiyati, Senin (22/12/2025).
Ia mengakui, kejayaan Roti Kembang Waru sudah jauh berbeda dibandingkan dua dekade lalu. Jika dulu kue ini mudah ditemui dan selalu laris, kini peminatnya semakin terbatas. Meski begitu, Rusmiyati memilih tetap bertahan.
“Pamor kue Kembang Waru memang sudah redup, tapi saya ingin tetap melestarikannya. Ini warisan kuliner Kotagede,” tuturnya.
Menariknya, di saat generasi muda lokal mulai melupakan, Roti Kembang Waru justru menemukan penggemar baru dari kalangan wisatawan. Wisatawan domestik hingga mancanegara kerap mampir untuk mencicipi kue ini, terutama karena tertarik dengan proses pembuatannya yang masih mempertahankan cara tradisional.
Rina, wisatawan asal Jakarta, mengaku penasaran setelah mendengar kisah bahwa Roti Kembang Waru merupakan kudapan favorit para raja pada masa lalu.
“Pas wisata ke Kotagede, saya sengaja mampir untuk melihat proses pembuatannya. Unik sekali karena meski zaman sudah modern, cara memasaknya masih tradisional pakai arang,” kata Rina.
Hal serupa diungkapkan Putra, wisatawan asal Semarang. Ia tertarik mencoba Roti Kembang Waru karena bentuknya yang unik dan rasanya yang sederhana.
“Saya suka karena bentuknya cantik mirip bunga waru. Rasanya juga simpel tapi enak, tidak terlalu manis dan tidak pakai topping berlebihan seperti kue kekinian,” ungkapnya.
Keberadaan Roti Kembang Waru menjadi pengingat bahwa Kotagede bukan hanya tentang wisata perak dan bangunan bersejarah, tetapi juga tentang identitas kuliner tradisional yang sarat nilai budaya. Di tengah gempuran tren makanan modern, Roti Kembang Waru tetap berdiri sebagai simbol keteguhan tradisi dan cita rasa masa lalu yang tak lekang oleh zaman.
Bagi wisatawan yang berkunjung ke Kotagede, mencicipi Roti Kembang Waru bukan sekadar menikmati kudapan, melainkan juga merasakan sepotong sejarah Yogyakarta yang masih hidup hingga hari ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Roti Kembang Waru, Kuliner Legendaris Kotagede yang Bertahan di Tengah Gempuran Roti Kekinian
| Pewarta | : Soni Haryono |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |