TIMES JATIM, PACITAN – Pendidikan tidak semata-mata berlangsung di ruang kelas dengan buku dan papan tulis. Di SMP Negeri 3 Sudimoro, Kabupaten Pacitan, pembelajaran justru dikemas melalui praktik langsung yang menyentuh realitas kehidupan sehari-hari. Sekolah yang berada di Desa Pagerlor ini mengajak siswa memanfaatkan potensi alam sekitar dengan mengolah lidi dan sabut kelapa menjadi alat kebersihan yang fungsional dan bernilai ekonomi.
Kegiatan tersebut dilaksanakan pada Jumat (12/12/2025) dan melibatkan seluruh siswa dalam proyek kerajinan tangan pembuatan sapu lidi serta sapu lantai dari sabut kelapa. Program ini dirancang sebagai bagian dari pembelajaran kontekstual berbasis lingkungan dan penguatan keterampilan hidup (life skill) bagi peserta didik.
Proses pembuatan sapu lidi oleh siswa SMPN 3 Sudimoro Pacitan. (Foto: Devi for TIMES Indonesia)
Kepala SMPN 3 Sudimoro Pacitan, Sujarwo, S.Pd., M.Pd., mengatakan bahwa kegiatan ini lahir dari kesadaran sekolah terhadap potensi sumber daya alam di wilayah Pagerlor yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh generasi muda.
“Desa Pagerlor memiliki potensi pohon kelapa yang melimpah. Lidi dan sabut kelapanya sering dianggap limbah. Padahal, jika diolah dengan baik, bisa menjadi produk yang bermanfaat dan memiliki nilai jual,” ujar Sujarwo, Rabu (24/12/2025).
Menurut Sujarwo, sekolah ingin menanamkan pola pikir kreatif kepada siswa sejak dini. Pendidikan, kata dia, harus mampu membentuk karakter mandiri dan adaptif, bukan sekadar mengejar capaian akademik.
“Kami ingin siswa-siswi memiliki mata yang jeli melihat peluang. Dengan memanfaatkan sumber daya alam lokal, kami membekali mereka keterampilan hidup sekaligus menanamkan jiwa kewirausahaan sejak dini. Ini adalah investasi jangka panjang untuk kemandirian mereka,” tegasnya.
Rangkaian kegiatan dimulai dengan pembelajaran lapangan. Pihak sekolah mengajak para siswa mengunjungi sentra perajin sapu lidi dan sapu sabut kelapa yang berada tidak jauh dari lingkungan sekolah. Di lokasi tersebut, siswa menyaksikan secara langsung proses pengolahan bahan mentah hingga menjadi produk jadi.
Para perajin lokal memperlihatkan tahapan demi tahapan, mulai dari pemilahan lidi, pembersihan serat sabut kelapa, proses pengikatan, hingga finishing agar sapu kuat dan nyaman digunakan. Interaksi langsung ini memberi pengalaman empiris yang tidak diperoleh dari buku pelajaran.
Usai kunjungan lapangan, siswa langsung mempraktikkan ilmu yang didapat di sekolah. Ruang kelas dan halaman sekolah berubah menjadi bengkel kerja sederhana. Dalam kelompok-kelompok kecil, siswa berbagi peran sesuai tugas masing-masing.
Sebagian siswa bertugas menyisir dan merapikan lidi agar lurus dan bersih. Sementara kelompok lain mengolah sabut kelapa, memisahkan serat kasar dan halus, lalu merangkainya menjadi sapu lantai. Proses tersebut membutuhkan ketelatenan, kerja sama, dan kesabaran.
Kegiatan berkelompok ini tidak hanya mengasah keterampilan teknis, tetapi juga membangun karakter sosial siswa. Mereka belajar berkomunikasi, bekerja sama, serta menyelesaikan pekerjaan secara kolektif dengan target yang jelas.
“Hasilnya memang sederhana, tapi prosesnya yang penting. Anak-anak belajar bahwa sebuah produk tidak tercipta secara instan. Ada kerja keras, ketelitian, dan tanggung jawab di dalamnya,” jelas Sujarwo.

Menariknya, hasil karya siswa tidak berhenti sebagai produk latihan. Sapu lidi dan sapu sabut kelapa buatan siswa langsung dimanfaatkan sebagai alat kebersihan di masing-masing kelas. Setiap ruang belajar kini menggunakan sapu hasil produksi siswanya sendiri.
Langkah ini sekaligus menjadi media pendidikan karakter. Siswa didorong untuk lebih peduli terhadap kebersihan kelas dan lingkungan sekolah karena mereka terlibat langsung dalam penyediaan fasilitas tersebut.
“Ada kebanggaan tersendiri saat siswa menyapu kelas menggunakan sapu buatan mereka sendiri. Rasa memiliki terhadap sekolah tumbuh karena mereka ikut berkontribusi nyata,” tambah Sujarwo.
Lebih jauh, pihak sekolah menilai kegiatan ini memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai unit produksi sederhana berbasis sekolah. Ke depan, tidak menutup kemungkinan hasil kerajinan siswa dapat dipasarkan ke masyarakat sekitar sebagai produk ramah lingkungan.
Melalui kegiatan ini, SMPN 3 Sudimoro Pacitan menunjukkan bahwa pendidikan berbasis potensi lokal mampu melahirkan inovasi sederhana namun bermakna. Dengan mengolah lidi dan sabut kelapa, siswa tidak hanya belajar keterampilan praktis, tetapi juga memahami nilai ekonomi, lingkungan, dan kemandirian.
Di tengah keterbatasan fasilitas, kreativitas justru tumbuh. Dari tangan-tangan siswa di Kecamatan Sudimoro, lahir karya yang mencerminkan semangat pendidikan yang membumi, relevan, dan berorientasi masa depan. (*)
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |