TIMES JATIM, BOJONEGORO – Bangsa yang besar bukan hanya ditopang oleh gedung-gedung tinggi dan jalan berlapis aspal, tetapi oleh cara warganya berdiri dalam tertib, berbicara dengan akal sehat, dan berbeda pendapat tanpa kehilangan adab.
Keberadaban tidak lahir dari slogan, melainkan dari kebiasaan kecil yang dipelajari, diulang, dan diwariskan. Di titik inilah pendidikan menemukan maknanya yang paling sunyi sekaligus paling menentukan: membentuk budaya tertib.
Hari ini, kita hidup dalam masyarakat yang cepat bergerak tetapi sering lupa arah. Informasi berlari lebih kencang daripada nalar, opini disebar lebih cepat daripada dipikirkan.
Di ruang publik, suara paling keras kerap dianggap paling benar. Antrian diabaikan, aturan diperlakukan sebagai opsi, dan etika sering kalah oleh emosi sesaat. Ini bukan sekadar persoalan disiplin, melainkan cermin rapuhnya budaya tertib berpendidikan.
Budaya tertib bukanlah soal takut pada sanksi, melainkan kesadaran bahwa hidup bersama menuntut penghormatan terhadap hak orang lain. Pendidikan yang tertib mengajarkan bahwa kebebasan selalu berdampingan dengan tanggung jawab. Namun dalam praktiknya, pendidikan kita kerap sibuk mengejar capaian kognitif, sementara urusan adab diletakkan di pinggir kelas, dianggap pelengkap, bukan inti.
Sekolah mengajarkan rumus dan hafalan, tetapi sering gagap menanamkan kebiasaan sederhana: datang tepat waktu, mendengar sebelum berbicara, berbeda tanpa mencela. Akibatnya, lahirlah generasi yang cerdas secara akademik tetapi kikuk dalam ruang sosial. Mereka piawai menyusun argumen, tetapi mudah terpancing amarah. Pandai mengutip teori, tetapi gagap mempraktikkan empati.
Ketertiban juga runtuh ketika pendidikan kehilangan keteladanan. Anak-anak belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari apa yang mereka lihat. Ketika guru bicara disiplin tetapi datang terlambat, ketika pejabat menyerukan kepatuhan hukum tetapi melanggarnya dengan santai, maka pesan moral berubah menjadi ironi. Pendidikan tanpa contoh ibarat peta tanpa arah indah dilihat, tak berguna dijalani.
Di ruang publik digital, krisis ini kian telanjang. Media sosial menjadi kelas tanpa guru, tempat semua orang berbicara tanpa belajar mendengar. Literasi rendah berpadu dengan keberanian tinggi, melahirkan kegaduhan yang miskin makna. Hujatan diperlakukan sebagai pendapat, kebencian disamarkan sebagai kritik. Dalam lanskap seperti ini, tertib berpikir menjadi kebutuhan mendesak, bukan kemewahan intelektual.
Budaya tertib berpendidikan seharusnya membentuk warga yang mampu mengelola perbedaan. Bangsa yang beragam seperti Indonesia tidak mungkin disatukan oleh keseragaman, melainkan oleh kesepakatan etis untuk hidup berdampingan. Pendidikan berperan sebagai ruang latihan demokrasi: tempat belajar berargumentasi tanpa memaki, bersaing tanpa menyingkirkan, dan menang tanpa merendahkan.
Sayangnya, orientasi pendidikan yang terlalu pragmatis membuat nilai-nilai ini terpinggirkan. Sekolah diukur dari peringkat, bukan dari iklim kebudayaannya. Prestasi dipahami sebagai angka, bukan sikap. Padahal, keadaban bangsa tidak lahir dari rapor, melainkan dari cara warga memperlakukan sesamanya di jalan, di kantor, dan di ruang publik.
Budaya tertib juga berkaitan erat dengan keadilan. Sulit mengharapkan masyarakat tertib jika aturan hanya tegas ke bawah dan lunak ke atas. Pendidikan akan kehilangan wibawanya ketika realitas sosial mengajarkan bahwa ketertiban bisa dinegosiasikan oleh yang berkuasa. Di sini, pendidikan membutuhkan dukungan sistemik: hukum yang adil, birokrasi yang bersih, dan pemimpin yang memberi contoh.
Menyongsong keadaban bangsa berarti berani mengembalikan pendidikan pada tugas peradabannya. Kurikulum perlu memberi ruang pada pembentukan karakter sebagai praktik hidup, bukan sekadar materi ujian.
Sekolah perlu menjadi laboratorium etika, tempat siswa belajar menghormati waktu, ruang, dan sesama. Guru perlu diberi ruang menjadi pendidik nilai, bukan sekadar pengejar target administratif.
Lebih jauh, budaya tertib berpendidikan harus menjadi proyek bersama. Keluarga, sekolah, dan negara tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Orang tua adalah sekolah pertama tentang adab, sekolah adalah ruang penguatan, dan negara adalah penjamin keteladanan publik. Ketika ketiganya seirama, pendidikan akan melahirkan warga yang tidak hanya pintar, tetapi juga pantas.
Keadaban bangsa bukanlah tujuan instan. Ia adalah hasil dari proses panjang, sering kali sunyi, dan jarang mendapat tepuk tangan. Namun di sanalah martabat sebuah bangsa ditentukan. Pendidikan yang menumbuhkan budaya tertib bukan hanya menyiapkan generasi untuk bekerja, tetapi untuk hidup bersama secara bermartabat.
Bangsa yang beradab bukanlah bangsa yang paling keras suaranya, melainkan yang paling tertib nuraninya. Dan pendidikan, jika dijalankan dengan kesadaran etis, adalah jalan paling masuk akal untuk mencapainya.
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |