https://jatim.times.co.id/
Opini

Pemuda yang Tersandera

Selasa, 28 Oktober 2025 - 14:50
Pemuda yang Tersandera Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Ada satu pemandangan menarik setiap kali tanggal 28 Oktober tiba: media sosial mendadak penuh dengan kutipan “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia!” kata Bung Karno yang mungkin sudah diunggah ulang sejuta kali sejak zaman Friendster. 

Ironisnya, di balik semangat yang seolah berkobar itu, kita justru menemukan banyak pemuda hari ini yang “tersandera.” Bukan disandera dalam arti fisik oleh musuh, melainkan oleh sistem, keadaan, bahkan oleh dirinya sendiri.

Kita mulai dari sistem yang paling sering jadi kambing hitam. Tidak bisa dipungkiri, banyak pemuda yang kini hidup di tengah sistem pendidikan yang masih cenderung menekankan hafalan ketimbang pemikiran kritis. 

Riset World Bank tahun 2023 menyebutkan bahwa learning poverty (kemiskinan belajar) di Indonesia masih cukup tinggi: sekitar 50% anak usia 10 tahun belum mampu memahami teks sederhana. Artinya, separuh generasi muda kita berpotensi tumbuh tanpa kemampuan membaca dunia secara mendalam.

Akibatnya? Banyak yang tumbuh menjadi pekerja yang bisa mengoperasikan mesin, tetapi tak tahu mengapa mesin itu harus dijalankan. Kita pandai menyesuaikan diri dengan algoritma, tapi kehilangan arah untuk bertanya, “Kenapa aku harus begini?”

Inilah bentuk penyanderaan paling halus ketika sistem membuatmu sibuk memutar roda, tapi lupa menentukan arah roda itu mau dibawa ke mana.

Kalau dulu pemuda tersandera penjajahan kolonial, kini kita tersandera layar 6 inci. Sehari bisa habis hanya untuk scrolling video motivasi yang ujung-ujungnya malah bikin minder: orang lain kelihatan sukses, bahagia, produktif; sementara kita merasa hidup masih gini-gini aja.

Fenomena digital self comparison ini bahkan sudah dikaji oleh psikolog seperti Jean Twenge dalam bukunya iGen (2017). Ia menyebut generasi yang tumbuh dengan smartphone cenderung mengalami tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi, terutama karena tekanan untuk tampil sempurna di dunia maya.

Jadi, jika dulu pemuda memperjuangkan kemerdekaan bangsa, kini banyak yang berjuang memerdekakan dirinya dari FOMO (fear of missing out) ironis? Tentu saja. Tapi begitulah wajah zaman kolonialisme digital kadang lebih licin dari penjajah berseragam.

Tersandera Ekonomi dan Peluang

Kisah penyanderaan juga tampak di lapangan kerja. Data BPS tahun 2025 mencatat tingkat pengangguran terbuka di Indonesia didominasi oleh usia muda 15–30 tahun. Alasannya klasik: pengalaman kurang, keterampilan tidak sesuai pasar, dan kesempatan terbatas.

Padahal, generasi muda yang diharapkan jadi motor inovasi malah banyak yang tersangkut di persimpangan: antara idealisme dan realitas dompet.

Coba kita bayangkan: seorang sarjana pertanian yang bermimpi ingin membangun sistem pangan berkelanjutan, tapi akhirnya bekerja di bagian pemasaran online demi bertahan hidup. Tak salah, tapi di situ tampak bagaimana “mimpi” bisa terjerat oleh tagihan listrik dan cicilan motor.

Di titik ini, pemuda bukan kehilangan semangat, melainkan kehilangan ruang untuk menyalurkan semangat itu. Tersandera oleh Ketidakpedulian

Namun penyanderaan paling berbahaya justru yang datang dari dalam: apatisme. Ketika politik dianggap kotor, banyak pemuda memilih menjauh.

Ketika isu sosial terasa berat, banyak yang bersembunyi di balik jargon “yang penting aku baik-baik saja.” Sejarah mencatat, Sumpah Pemuda lahir dari keberanian anak-anak muda yang tidak ingin hanya “baik-baik saja.” Mereka berdebat, berkorban, bahkan berseteru demi satu cita: Indonesia.

Dalam bukunya Sang Pemula (1985), pengarang Pramoedya Ananta Toer menggambarkan bagaimana perjuangan pemuda seperti Tirto Adhi Soerjo bukan sekadar soal idealisme, tapi keberanian menanggung risiko. Artinya, menjadi muda itu bukan hanya tentang energi, tapi juga keberanian untuk tidak nyaman melawan arus, menolak pasrah.

Kita tidak bisa selamanya menyalahkan sistem, teknologi, atau ekonomi. Pemuda harus belajar “membajak balik” keadaan seperti yang dilakukan generasi 1928 dulu. 

Mereka juga hidup dalam keterbatasan: tidak punya media sosial, tidak punya akses global, bahkan belum punya negara. Tapi dari ruang-ruang diskusi kecil di rumah kos, mereka melahirkan ide besar tentang satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa.

Hari ini, ruang diskusi kita jauh lebih luas tapi apakah ide besarnya masih sama kuatnya? Kita bisa memulai dari hal sederhana: berpikir kritis, berjejaring lintas bidang, mengasah empati sosial, dan berani mengekspresikan gagasan meski berbeda.

Kalau dulu pemuda bersatu melawan penjajahan, kini tantangannya adalah bersatu melawan kebodohan, kemalasan, dan ego sektoral yang memecah.

Menjadi pemuda hari ini berarti belajar memerdekakan diri dari belenggu-belenggu halus: dari algoritma yang mengatur minat, dari sistem yang menumpulkan rasa ingin tahu, dari ekonomi yang menekan, dan dari mentalitas instan yang menipu. Pemuda yang merdeka bukanlah yang bebas tanpa arah, tapi yang tahu ke mana langkahnya menuju dan mengapa ia harus melangkah.

Dalam konteks itulah, Sumpah Pemuda 2025 seharusnya bukan sekadar peringatan seremonial, tapi refleksi: apakah kita masih punya “api” yang dulu menyalakan kongres pemuda di Batavia itu? Atau jangan-jangan kita hanya membawa “abu”-nya ramai di media sosial, tapi sepi di tindakan nyata?

Seorang filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, pernah berkata, “Siapa yang memiliki alasan untuk hidup, akan mampu menanggung hampir segala cara untuk hidup.”

Begitu pula pemuda Indonesia: selama kita masih punya alasan untuk mencintai negeri ini mencintai dalam bentuk kerja, gagasan, dan solidaritas, maka kita tidak akan pernah benar-benar tersandera.

Mungkin inilah saatnya kita menulis ulang makna Sumpah Pemuda. Bukan hanya satu bahasa, satu bangsa, satu tanah air tapi juga satu kesadaran baru, bahwa kemerdekaan sejati berawal dari pikiran yang bebas dan hati yang peduli. (*)

***

*) Oleh : Choirul Anam, Wakil Ketua Bidang Ekonomi PC GP Ansor Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.