TIMES JATIM, LAMONGAN – Sekolah dan madrasah, meski berada di bawah dua kementerian berbeda, secara hukum telah sejajar jenjang pendidikannya. Namun, nasib guru dan siswa di madrasah swasta, khususnya di Kabupaten Lamongan, masih terbelit persoalan diskriminasi, terutama terkait status kepegawaian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan alokasi bantuan beasiswa siswa (PIP).
Persoalan ini dibawa serius oleh Perkumpulan Guru Madrasah Mandiri (PGMM), yang bahkan menjadwalkan audiensi langsung dengan Presiden RI Prabowo Subianto di Jakarta pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Guru Madrasah: PPPK Harga Mati, Diskriminasi PIP Mencederai Anak Negeri
Ketua PGMM Jawa Timur, Tosari, yang juga Guru MTs Darussalam Getung Kecamatan Turi, Lamongan, menyampaikan bahwa inti dari semua tuntutan adalah kesejahteraan pendidik di Madrasah dan kesetaraan hak siswa.
"Kami meminta dukungan dari Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lamongan. Lusa (30/10/2025) kami akan ke Jakarta untuk audiensi dengan Bapak Presiden Prabowo Subianto, terutama dalam rangka kesejahteraan guru madrasah, khususnya soal PPPK," ujar Tosari, usai FGD dengan Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lamongan, Selasa (28/10/2025).
Salah satu poin krusial yang diungkap Tosari adalah program PPPK yang dinilai merugikan guru madrasah swasta. "Guru baru mengabdi 2-5 tahun di sekolah negeri bisa ikut PPPK. Sementara kami di madrasah swasta, pengabdian sudah 10 hingga 30 tahun, justru tidak dapat," katanya.
Selain PPPK, PGMM juga menuntut kesetaraan kuota Program Indonesia Pintar (PIP). "Selama ini kami rasakan tidak enak sekali. Soal PIP, yang di sekolah (negeri) hampir dapat semua, yang di madrasah hampir tidak dapat," ucapnya.
Menurut Tosari, jika di sekolah negeri mendapat 100 kuota, madrasah seharusnya mendapat jumlah yang sama, bukan hanya 5 atau 10.
"Artinya ini kan ada diskriminasi terhadap anak negeri," ujarnya.
Di tingkat daerah, PGMM mendorong agar guru-guru yang belum mendapat inpassing sertifikasi dapat dicover oleh daerah untuk diberikan insentif, sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian.
Dukungan Legislatif: Saatnya Madrasah Ikut Otonomi Daerah
Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Lamongan, Erna Sujarwati, mengakui bahwa keluhan PGMM bukan barang baru. Fraksinya menyatakan dukungan penuh dan akan berkoordinasi dengan jejaring lintas kewenangan, termasuk berkirim surat ke Fraksi DPR RI PDI Perjuangan.
"Keluhan ini sudah banyak yang mengeluh. Madrasah swasta sangat dirugikan. Karena guru yang mengajar dari awal di sekolah mereka, setelah lulus PPPK, akhirnya harus mengajar di negeri, sekolah lama ditinggalkan," kata Erna.
Erna menekankan bahwa pendidikan, kesehatan, dan sosial adalah tanggung jawab negara. Ia berpendapat bahwa persoalan PPPK harus diselesaikan di level pusat karena menyangkut regulasi dan kewenangan Kemenpan RB.
"Bagaimana supaya yang belum PPPK ini bisa PPPK dengan sama seperti mereka-mereka yang sudah PPPK di sekolah negeri? Harusnya kalau regulasi diubah, bisa sama-sama dari Kemenpan RB-nya," tuturnya.
Senada dengan tuntutan PGMM, Wakil II Ketua DPRD Lamongan, Husen, menegaskan bahwa madrasah sudah saatnya ikut otonomi daerah.
"Madrasah sudah saatnya ikut otonomi daerah, khususnya dalam hal beasiswa murid, baik itu PIP maupun KIP. Yang kedua, ketenagaan guru, apakah itu kaitannya dengan sertifikasi inpassing," ujar Husen.
Ia merujuk pada Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan alokasi anggaran minimal 20 persen berlaku sama untuk sekolah dan madrasah. Husen menilai ambiguitas kebijakan Kemenag yang membuka ruang PPPK, namun tidak mengembalikan guru tersebut ke madrasah swasta tempat mereka dibesarkan, menjadi masalah utama.
"Maka saatnya didorong madrasah ikut otonomi daerah dalam pengelolaan pendidikan," kata Husen Ketua DPC PDI Perjuangan Lamongan, menekankan bahwa undang-undang sudah mengatur jenjang pendidikan sekolah dan madrasah sudah sejajar. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Guru Madrasah Lamongan Desak Kesetaraan Status PPPK dan Beasiswa Siswa
| Pewarta | : Moch Nuril Huda |
| Editor | : Deasy Mayasari |