https://jatim.times.co.id/
Opini

Santri dan Sumpah Pemuda di Dunia Maya

Selasa, 28 Oktober 2025 - 15:51
Santri dan Sumpah Pemuda di Dunia Maya Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

TIMES JATIM, BANYUWANGI – Setiap kali tanggal 28 Oktober tiba, bangsa ini kembali mengingat satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda. Tiga kalimat yang lahir pada 1928 itu telah menjadi penegasan tekad pemuda untuk bersatu di bawah satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. 

Semangat itu kini harus dibaca ulang dalam konteks zaman yang berbeda. Dunia sudah berubah. Pemuda masa kini tak lagi berteriak di jalanan atau menulis gagasan di koran. Mereka hidup di dunia digital, dunia yang terhubung tanpa batas.

Di tengah perubahan besar itu, santri menempati posisi penting. Mereka tidak hanya mewarisi semangat kebangsaan dari masa perjuangan, tetapi juga membawa nilai-nilai keislaman yang damai ke ruang maya. 

Dalam konteks inilah muncul gagasan tentang “Sumpah Pemuda Digital” bentuk baru dari persatuan nasional yang kini hidup di jagat virtual.

Beberapa tahun terakhir, pesantren tak lagi sekadar dikenal sebagai lembaga pendidikan tradisional. Melalui berbagai program dan inovasi, banyak pesantren kini bertransformasi menjadi pusat pengembangan digital dan literasi keagamaan.

Data We Are Social (2025) menunjukkan bahwa lebih dari 79 persen penduduk Indonesia aktif di media sosial, dan sebagian besar di antaranya adalah anak muda. Sementara itu, data Kementerian Agama mencatat lebih dari 36 ribu pesantren di seluruh Indonesia dengan jutaan santri yang kini mulai mengenal teknologi dan ruang digital.

Perubahan ini menciptakan realitas baru: santri bukan lagi sosok yang hanya dikenal lewat sarung dan kitab kuning, tetapi juga netizen aktif yang menggunakan teknologi untuk berdakwah, berbagi ilmu, bahkan membangun jejaring sosial lintas budaya.

Kehadiran santri di dunia digital bukan tanpa tantangan. Media sosial kerap menjadi arena yang dipenuhi ujaran kebencian, hoaks, dan polarisasi sosial-politik. Di sinilah peran santri dibutuhkan bukan sekadar pengguna, tapi penjaga nilai.

Sumpah Pemuda di Dunia Maya

Sumpah Pemuda 1928 adalah simbol kesadaran kolektif: bangsa Indonesia lahir dari perbedaan yang disatukan oleh cita-cita bersama. Kini, semangat itu menemukan wujud baru di ruang digital.

Benedict Anderson (1991) dalam Imagined Communities menegaskan bahwa bangsa dibayangkan melalui media komunikasi yang membentuk kesadaran kolektif. Jika dulu kesadaran nasional lahir lewat media cetak, kini media sosial menjadi wadah baru pembentuk solidaritas kebangsaan.

Pemuda, termasuk santri, kini membangun relasi kebangsaan melalui postingan, diskusi daring, dan kampanye sosial di dunia maya. Mereka menulis, berdakwah, berdialog lintas agama, dan menyebarkan pesan perdamaian. 

Di ruang ini, Sumpah Pemuda tidak lagi diucapkan dalam kongres, melainkan dihidupkan lewat klik, unggahan, dan percakapan digital.

Nilai-nilai keislaman dan kebangsaan yang diajarkan di pesantren menjadi fondasi kuat bagi santri untuk menapaki dunia digital dengan cara yang beretika. Kini, banyak pesantren dan komunitas santri berinovasi lewat gerakan kreatif.

Salah satunya adalah Santri Digitalpreneur, program yang membekali santri dengan keterampilan digital seperti desain grafis, manajemen media sosial, hingga produksi konten dakwah moderat. 

Di Pesantren Darussalam Banyuwangi, misalnya, para santri tidak hanya mendalami kitab kuning, tetapi juga mempelajari bagaimana menyebarkan nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin melalui platform digital.

Tidak berhenti di situ, mahasiswa santri yang tergabung dalam Pojok Literasi Universitas KH Mukhtar Syafaat Banyuwangi juga menggagas gerakan literasi kebangsaan berbasis media. Mereka menulis opini, mengelola kanal edukasi, dan menggerakkan kampanye digital untuk memperkuat kesadaran kebangsaan di kalangan muda.

Melalui gerakan semacam ini, santri tidak hanya menjaga warisan sejarah, tetapi juga mentransformasikan semangat Sumpah Pemuda ke dalam gerakan kebangsaan digital yang lebih adaptif dan kreatif.

Pemikir Islam progresif Ahmad Baso (2023) menyebut bahwa pesantren memiliki kekuatan kultural yang mampu menjembatani dunia tradisi dan modernitas digital. 

Ia menegaskan bahwa pesantren tak hanya lembaga pendidikan, tetapi juga benteng peradaban yang memelihara nilai-nilai kebangsaan di tengah arus globalisasi.

Pandangan ini sejalan dengan gagasan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menekankan bahwa agama dan kebudayaan harus berjalan berdampingan dalam membangun Indonesia. 

Jika dulu Gus Dur mengingatkan agar umat Islam menjaga “kebudayaan sebagai basis kebangsaan”, maka di era digital pesan itu menjadi panggilan baru bagi santri: menjaga ruang maya agar tetap beradab, inklusif, dan menumbuhkan cinta tanah air.

Dalam konteks teori masyarakat jaringan yang dikemukakan Manuel Castells (2009), santri di era digital adalah aktor-aktor budaya yang mampu membentuk makna, identitas, dan solidaritas baru melalui jaringan informasi. Mereka bukan sekadar pengguna teknologi, tetapi penggerak nilai di tengah derasnya arus informasi global.

Kendati memiliki potensi besar, santri juga menghadapi tantangan besar di dunia digital. Arus informasi yang deras kerap melahirkan bias, disinformasi, dan degradasi moral. Di sisi lain, banyak konten keagamaan yang justru mempersempit ruang toleransi dan memecah persatuan bangsa.

Karena itu, pesantren perlu memperkuat pendidikan literasi digital dan etika bermedia, agar santri mampu menjadi subjek aktif yang mengarahkan arus informasi ke jalan yang lebih produktif. 

Selain itu, kolaborasi antara santri, akademisi, dan komunitas muda harus terus diperluas. Ruang digital seharusnya menjadi arena sinergi, bukan permusuhan.

Dalam konteks ini, santri bisa menjadi pionir kebangsaan digital generasi yang berpikir global, berakhlak lokal, dan berjiwa nasional.

Sumpah Pemuda tidak boleh dipandang sekadar peringatan seremonial. Ia adalah semangat yang harus diteruskan lintas zaman. Bila pemuda 1928 berjuang dengan pena dan kongres, maka pemuda dan santri hari ini berjuang dengan jempol dan literasi.

Mereka menulis, membuat konten, berdialog lintas iman, dan memperkuat narasi persatuan. Mereka menunjukkan bahwa cinta tanah air bukan hanya soal bendera dan lagu kebangsaan, tetapi juga bagaimana kita menjaga ruang digital agar tetap sehat, sopan, dan penuh nilai kemanusiaan.

Dengan semangat hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman), santri di era digital sedang menulis bab baru sejarah bangsa. Di dunia maya, mereka melanjutkan estafet Sumpah Pemuda dengan cara yang lebih kreatif, terbuka, dan penuh makna.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H., Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Prodi Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.