TIMES JATIM, PACITAN – Mantan Kepala Dinas Kesehatan Pacitan, dr. Hendra Purwaka Trihariadi, mengingatkan masyarakat tentang bahaya fogging bagi kesehatan.
Menurutnya, meskipun fogging efektif untuk membunuh nyamuk dewasa, metode ini memiliki efek samping yang dapat membahayakan manusia jika tidak dilakukan dengan benar.
“Fogging itu salah satu metode pengendalian nyamuk penyebab demam berdarah (DBD) dengan cara memutus rantai perkembangannya. Tapi, banyak yang salah kaprah. Mereka mengira fogging bisa membunuh jentik dan telur nyamuk, padahal yang mati hanya nyamuk dewasa,” jelas dr. Hendra, Senin (16/12/2024).
Efek Samping Fogging bagi Kesehatan
Fogging bekerja dengan menyemprotkan insektisida seperti piretrin dan permetrin sintetis, yang diubah menjadi kabut asap menggunakan mesin khusus.
Dalam jumlah kecil, paparan asap fogging umumnya tidak berbahaya bagi manusia. Namun, jika terhirup dalam jumlah besar atau terkena langsung ke kulit, efek sampingnya dapat serius.
Beberapa efek samping yang bisa terjadi akibat paparan asap fogging dalam jumlah besar, seperti mata perih dan berair, batuk-batuk, kulit bernapas hingga mengi, sakit kepala, iritasi kulit, dan lemas.
Dr. Hendra juga menambahkan, paparan insektisida dalam jumlah besar dapat menyebabkan keracunan dengan gejala seperti gangguan penglihatan, keringat berlebih, muntah, sesak napas, sakit perut, hingga kejang.
“Jika keracunan insektisida sudah parah, pasien bisa kehilangan kesadaran. Kondisi ini tergolong darurat dan harus segera ditangani dokter,” tegasnya.
Fogging Bukan Solusi Utama
Meskipun fogging bisa mengurangi populasi nyamuk, dr. Hendra menegaskan bahwa metode ini hanya efektif jika didukung dengan langkah-langkah lain, seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
“Kegiatan 3M Plus jauh lebih efektif dibanding hanya fogging saja. 3M itu menguras bak mandi atau tempat penampungan air, menutup rapat tempat air, dan mendaur ulang barang bekas yang bisa jadi sarang nyamuk,” ungkapnya.
Ia juga menyarankan agar sebelum melakukan fogging, masyarakat sekitar harus diberikan edukasi dan memahami pentingnya PSN.
“Kalau masyarakat hanya mengandalkan fogging tanpa membersihkan lingkungan, itu percuma. Nyamuk dewasa memang mati, tapi jentik-jentik dan telur masih berkembang,” imbuhnya.
Menurut dr. Hendra, fogging sebaiknya dilakukan hanya dalam kondisi darurat, misalnya ketika ada kasus DBD yang mengakibatkan kematian. Selain itu, pelaksanaannya juga harus melalui penelitian terlebih dahulu.
“Sangat disayangkan kalau masyarakat hanya meminta fogging tanpa melakukan PHBS dan PSN. Pemerintah memang bisa melakukan fogging, tapi itu harus disertai persiapan, seperti penyuluhan, agar efektif dan tidak membahayakan,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa asap fogging berbahaya bagi orang yang memiliki alergi atau gangguan pernapasan. “Orang yang alergi harus menghindari asap fogging. Jangan sampai terkena mata, karena dampaknya bisa cukup berbahaya,” pungkasnya.
Sebagai penutup, dr. Hendra mengimbau masyarakat untuk lebih fokus pada langkah pencegahan. Dengan menerapkan PHBS dan PSN secara rutin, penyebaran DBD dapat diminimalkan tanpa perlu bergantung pada fogging.
“Lebih baik mencegah daripada mengobati. Jangan menunggu jatuh korban, baru kita sibuk melakukan tindakan,” tegas dr. Hendra. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |