TIMES JATIM, JEMBER – Pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu menciptakan tantangan besar bagi negara-negara mayoritas Muslim dalam mengadaptasi hukum Islam (fikih) untuk situasi darurat. Indonesia, Turki, dan Maroko, dengan struktur keagamaan yang berbeda, mengembangkan respons unik melalui mitigasi fikih, otoritas fatwa, dan kebijakan khusus pandemi.
Masing-masing pendekatan ini tidak hanya mencerminkan kebutuhan masyarakat tetapi juga mengungkapkan bagaimana sistem sosial dan politik memengaruhi interpretasi agama di masa krisis.
Meski pandemi Covid-19 telah mereda, pelajaran dari krisis tersebut tetap relevan, khususnya dalam mempersiapkan respons untuk krisis kesehatan di masa depan. Virus yang muncul tiba-tiba dan menyebar cepat mengingatkan kita bahwa ancaman penyakit menular lain mungkin saja terjadi.
Kondisi ini menuntut kesiapan otoritas, baik pemerintah maupun keagamaan, untuk beradaptasi dan memastikan bahwa masyarakat terlindungi tanpa mengorbankan nilai-nilai agama yang dijunjung tinggi. Pandemi telah membuka wawasan tentang pentingnya koordinasi dan sinergitas antara fatwa, kebijakan kesehatan, dan kesiapan masyarakat dalam menghadapi situasi darurat, dan upaya-upaya pendekatan yang diterapkan.
Mitigasi Fikih
Mitigasi fikih merujuk pada upaya menyesuaikan atau menafsirkan hukum Islam untuk menghadapi situasi luar biasa, seperti pandemi. Dalam fikih, prinsip hifz al-nafs (melindungi jiwa) menjadi dasar kuat untuk menyesuaikan praktik-praktik keagamaan. Ketiga negara ini mengimplementasikan mitigasi fikih dengan menyesuaikan aturan ibadah guna melindungi kesehatan masyarakat.
Di Indonesia, respons pandemi menunjukkan bahwa meski otoritas keagamaan seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah mengeluarkan fatwa dan panduan mitigasi fikih untuk mencegah penyebaran Covid-19, banyak umat Islam yang tetap merujuk pada pandangan pemuka agama lokal mereka.
Praktik di lapangan memperlihatkan bahwa sikap pemuka agama setempat sering kali lebih menentukan sikap komunitas dibandingkan dengan kebijakan dari otoritas nasional. Hal ini tampak ketika sebagian pemuka agama yang mungkin bersikap lebih lunak atau skeptis terhadap pandemi memilih untuk tidak mengikuti instruksi ketat dari pemerintah dan kementerian kesehatan.
Akibatnya, jamaah mereka, yang memercayai pemuka agama tersebut, ikut mengabaikan anjuran seperti menjaga jarak atau menghindari kerumunan, sehingga tetap berkumpul di acara-acara keagamaan dan pertemuan lainnya.
Situasi ini mencerminkan adanya celah dalam implementasi kebijakan akibat pluralitas otoritas keagamaan di Indonesia. Di satu sisi, pendekatan desentralisasi ini memungkinkan interpretasi agama yang fleksibel sesuai konteks lokal.
Namun, di sisi lain, keberagaman ini dapat berdampak pada inkonsistensi kepatuhan terhadap protokol kesehatan, khususnya di kalangan masyarakat yang lebih cenderung mengikuti arahan pemuka agama setempat daripada panduan pusat.
Fenomena ini juga memperlihatkan bagaimana otoritas agama yang beragam dapat menciptakan tantangan dalam situasi krisis, di mana pendekatan yang lebih seragam dan terkoordinasi mungkin lebih efektif dalam mencegah penyebaran penyakit di masyarakat luas.
Di Turki, mitigasi fikih dikendalikan secara langsung oleh Diyanet, yang mengatur praktik keagamaan dengan kebijakan terpusat selama pandemi. Diyanet mengeluarkan panduan kesehatan publik yang tegas, seperti penutupan masjid untuk mencegah kerumunan, serta penerapan protokol kesehatan yang disesuaikan dengan prinsip ibadah.
Dengan otoritasnya yang kuat, Diyanet mampu memastikan bahwa semua masjid dan imam di seluruh negeri mengikuti instruksi yang selaras, tanpa ada hambatan dalam implementasi kebijakan.
Para imam di Turki secara resmi diangkat oleh pemerintah melalui Diyanet, sehingga mereka terikat pada arahan dan panduan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut. Dengan status mereka sebagai pejabat resmi, setiap pesan dan khutbah yang disampaikan harus selaras dengan kebijakan Diyanet.
Struktur ini menjadi keuntungan besar dalam konteks mitigasi fikih, karena memastikan bahwa seluruh imam menyampaikan informasi yang konsisten terkait protokol kesehatan dan kewajiban menjaga kesehatan sebagai bagian dari ibadah. Keselarasan ini memperkuat disiplin di masyarakat dan mengurangi risiko adanya perbedaan interpretasi atau pandangan yang dapat mengganggu upaya pencegahan pandemi.
Di Maroko, mitigasi fikih dalam menghadapi pandemi berlangsung melalui koordinasi antara Majelis Ulama dan otoritas tertinggi negara, yaitu Raja yang juga memegang gelar Amir al-Mu'minin. Dengan posisi ini, Raja memiliki kekuatan untuk menetapkan kebijakan keagamaan dan keputusan negara secara bersamaan.
Selama pandemi, Raja mengambil langkah cepat dengan menginstruksikan penutupan masjid dan menghentikan sementara ibadah berjamaah sebagai tindakan pencegahan penyebaran virus. Tindakan ini tidak hanya didasarkan pada prinsip kesehatan tetapi juga merujuk pada prinsip fikih yang mendahulukan keselamatan jiwa.
Pendekatan Maroko ini unik karena menggabungkan otoritas agama dan kekuasaan negara, yang memberikan kepastian serta legitimasi di mata masyarakat. Fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama pun harus disetujui oleh Raja, sehingga setiap panduan yang disampaikan tidak hanya dihormati sebagai aturan agama tetapi juga sebagai kebijakan negara.
Struktur terpadu ini menghasilkan respons yang lebih formal dan konsisten di seluruh wilayah, di mana masyarakat merasa terlindungi sekaligus patuh terhadap instruksi yang dikeluarkan dari satu sumber otoritas tertinggi.
Otoritas Fatwa
Otoritas fatwa di masa pandemi menjadi pilar penting dalam memastikan kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang berbasis pada hukum agama. Fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan menjadi sumber legitimasi untuk mengatur praktik-praktik keagamaan, meski struktur otoritas fatwa berbeda di setiap negara.
Di Indonesia, fatwa terkait pandemi dikeluarkan oleh beberapa lembaga keagamaan yang memiliki otoritas masing-masing. MUI berperan sebagai pengeluaran fatwa pada tingkat nasional, sementara NU dan Muhammadiyah juga memberikan panduan khusus untuk komunitasnya.
Pluralitas ini menawarkan beragam panduan yang memungkinkan masyarakat untuk memilih sesuai dengan pemahaman dan keyakinan mereka, tetapi di sisi lain, ada potensi kebingungan ketika perbedaan panduan muncul. Hal ini terutama terjadi pada isu salat berjamaah selama pandemi, di mana setiap ormas memiliki interpretasi tersendiri, sehingga penerapan di lapangan pun tidak seragam.
Sebagai contoh, NU mungkin lebih menekankan pentingnya pembatasan di tempat ibadah, sementara Muhammadiyah mendorong jamaah untuk melakukan ibadah di rumah. Perbedaan ini menciptakan variasi di tingkat lokal, di mana masyarakat mengikuti panduan berdasarkan afiliasi keagamaan mereka, bukan pada satu otoritas tunggal.
Situasi ini memperlihatkan dinamika yang unik dalam konteks desentralisasi otoritas agama di Indonesia, yang mengakomodasi keragaman pandangan namun juga menghadirkan tantangan dalam mencapai kepatuhan bersama dalam menghadapi krisis kesehatan.
Di Turki, Diyanet memiliki otoritas penuh dalam mengeluarkan fatwa untuk situasi darurat seperti pandemi. Fatwa Diyanet diikuti oleh seluruh masyarakat karena sistem sentralisasi yang kuat. Setiap keputusan Diyanet di masa pandemi bersifat mengikat, termasuk panduan dalam pelaksanaan salat Jumat yang disesuaikan dengan protokol kesehatan. Sentralisasi otoritas fatwa di Turki memudahkan pengawasan dan penerapan kebijakan secara merata.
Sementara di Maroko, fatwa bukan hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Tinggi tetapi juga mendapat persetujuan dari Raja. Dengan Raja sebagai otoritas tertinggi dalam urusan agama, fatwa yang diterbitkan memiliki kekuatan penuh dan diterima sebagai aturan resmi.
Integrasi kekuasaan agama dengan kepemimpinan politik di Maroko menciptakan kekuatan otoritas yang kuat dan memastikan fatwa dapat diterapkan dengan efektif, karena masyarakat melihat fatwa tersebut sebagai keputusan sah yang melindungi kesehatan publik dan keutuhan agama.
Respons Pandemi
Respons pandemi di ketiga negara mencerminkan adaptasi kebijakan berdasarkan struktur otoritas agama yang unik, menciptakan model penanganan yang berbeda.
Di Indonesia, respons pandemi di bidang agama ditentukan oleh kebijakan pemerintah yang berkolaborasi dengan berbagai ormas Islam. Kebijakan ini, meski diikuti dengan fatwa dari MUI dan dukungan NU serta Muhammadiyah, sulit untuk diimplementasikan secara seragam.
Beberapa daerah mengikuti keputusan pemerintah untuk menutup masjid, sementara yang lain menafsirkan fatwa secara berbeda, sehingga ada variasi dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan. Tantangan ini menunjukkan bahwa sistem pluralis Indonesia menyediakan fleksibilitas untuk mengakomodasi keragaman budaya, namun juga berisiko mengurangi keseragaman respons di masa krisis.
Di Turki, respons pandemi dilakukan dengan pendekatan yang lebih seragam melalui instruksi Diyanet. Kebijakan kesehatan diterjemahkan ke dalam khutbah, dan Diyanet mendorong para imam untuk menekankan pentingnya menjaga protokol kesehatan sebagai bagian dari tanggung jawab agama.
Kebijakan terpusat memungkinkan Turki untuk menerapkan langkah-langkah preventif secara disiplin dan konsisten di seluruh negeri. Selain itu, Diyanet juga mengkoordinasikan bantuan sosial kepada warga yang terdampak pandemi, menunjukkan komitmen menyeluruh dalam mendukung masyarakat dari aspek fisik dan spiritual.
Respons pandemi di Maroko dikendalikan langsung oleh Raja dan didukung Majelis Ulama. Kebijakan penutupan masjid serta pembatasan ibadah diatur dengan pendekatan yang lebih formal. Dengan Raja sebagai figur sentral, masyarakat Maroko mematuhi kebijakan protokol kesehatan yang diatur secara ketat.
Respons ini menunjukkan bagaimana otoritas agama yang terintegrasi dengan kekuasaan politik dapat mengoordinasikan langkah kesehatan publik secara efektif. Integrasi ini menciptakan kepercayaan yang tinggi terhadap kebijakan negara, menjadikan masyarakat lebih patuh dalam menjaga kesehatan bersama.
Setiap negara memperlihatkan bahwa respons pandemi sangat dipengaruhi oleh dinamika antara agama dan negara. Indonesia yang plural, meski kaya akan variasi perspektif, mengalami tantangan dalam memastikan konsistensi.
Turki dengan Diyanet yang kuat mampu mencapai kepatuhan nasional secara terpusat, sedangkan Maroko dengan legitimasi Raja memberikan stabilitas dalam respons krisis. Ketiga model ini mencerminkan adaptasi unik yang dipengaruhi oleh sejarah, struktur sosial, dan dinamika politik di masing-masing negara.
***
*) Oleh : Muhammad Fauzinudin Faiz, Dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember & Pimpinan Pusat GP Ansor Bidang Hubungan dan Kerjasama Internasional.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Mitigasi Fikih, Otoritas Fatwa, dan Respons Pandemi di Indonesia, Turki, dan Maroko
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |