TIMES JATIM, LAMONGAN – Wacana kembali ke model single bar dalam assosiasi pengacara, disambut pro dan kontra. Wacana ini pertama digulirkan oleh Yusril selaku menteri hukum, dan disambut oleh Otto Hasibuan, dengan kapasitasnya selaku Wamen menteri hukum. Pada saat yang sama juga selaku ketua Peradi.
Terlepas dari kepentingan-kepentingan yang bersifat kelompok, wacana tersebut memancing protes keras dari para pengacara yang berada di luar organisasi pengacara yang dipimpin oleh Otto Hasibuan.
Dalam sistem hukum modern, keberadaan organisasi profesi hukum, khususnya asosiasi pengacara, memegang peranan penting dalam memastikan kualitas, etika, dan profesionalisme advokat. Secara umum, terdapat dua model asosiasi pengacara yang berkembang di berbagai negara, yaitu single bar dan multi bar.
Model single bar mengacu pada satu organisasi tunggal yang mengatur dan menaungi seluruh advokat dalam satu yurisdiksi, sedangkan multi bar memungkinkan adanya lebih dari satu asosiasi pengacara yang beroperasi secara independen dalam suatu negara.
Keduanya memiliki implikasi yang signifikan, baik dari segi kebebasan berserikat, pengaturan profesi hukum, maupun dalam konteks kepastian hukum. Artikel ini akan menganalisis perbedaan kedua model tersebut dalam perspektif konstitusi, khususnya dalam konteks hak-hak dasar yang diatur dalam UUD 1945.
Model single bar biasanya dianggap sebagai instrumen yang efektif untuk menjaga standar profesi advokat. Dalam model ini, hanya terdapat satu organisasi resmi yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi para advokat.
Negara-negara seperti Jerman dan Korea Selatan menerapkan sistem ini. Dalam konteks Indonesia, model single bar juga diadopsi melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menetapkan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai satu-satunya organisasi profesi advokat.
Keuntungan utama dari single bar adalah adanya keseragaman dalam kode etik, mekanisme pengawasan, dan pendidikan profesi. Hal ini menciptakan standar yang jelas dan terukur bagi advokat, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi ini. Selain itu, sistem ini memudahkan pengaturan administratif dan penegakan disiplin terhadap advokat yang melanggar kode etik.
Sistem single bar juga memiliki tantangan. Salah satunya adalah potensi monopoli kekuasaan oleh organisasi tersebut. Hal ini dapat menimbulkan persoalan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan organisasi.
Selain itu, adanya monopoli ini sering kali dikritik karena dianggap membatasi kebebasan berserikat yang dijamin oleh konstitusi, khususnya Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Multi Bar: Kebebasan Berserikat dan Tantangan Regulasi
Model multi bar memberikan kebebasan kepada para advokat untuk memilih asosiasi profesi sesuai dengan preferensi mereka. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris menerapkan model ini, di mana terdapat berbagai asosiasi advokat yang beroperasi secara independen, seperti American Bar Association (ABA) dan State Bar Association di masing-masing negara bagian di Amerika Serikat.
Model multi bar dianggap lebih demokratis karena memberikan kebebasan berserikat kepada advokat. Hal ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28E UUD 1945.
Dengan adanya banyak asosiasi, persaingan sehat dapat muncul, yang mendorong peningkatan layanan dan profesionalisme dari setiap organisasi. Advokat juga memiliki kebebasan untuk bergabung dengan asosiasi yang lebih sesuai dengan nilai-nilai atau kepentingan profesional mereka.
Akan tetapi, sistem multi bar juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah risiko fragmentasi standar profesi. Dengan adanya lebih dari satu asosiasi, mungkin terjadi perbedaan kode etik dan standar kompetensi di antara asosiasi tersebut.
Hal ini dapat berdampak pada ketidakpastian hukum dan menurunkan kepercayaan publik terhadap profesi advokat. Selain itu, tanpa pengawasan yang kuat, sistem ini berpotensi menciptakan asosiasi yang kurang kredibel atau bahkan dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu.
Dalam perspektif konstitusi Indonesia, baik single bar maupun multi bar harus dinilai berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang tertuang dalam UUD 1945. Pasal 28E ayat (3) memberikan jaminan terhadap kebebasan berserikat, yang merupakan landasan bagi pembentukan organisasi profesi.
Di sisi lain, Pasal 28J ayat (2) menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan tujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain.
Dalam konteks ini, single bar dapat dibenarkan jika tujuannya adalah untuk memastikan kepastian hukum, standar etik, dan profesionalisme dalam profesi advokat. Namun, penerapannya harus tetap mengedepankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi anggotanya agar tidak bertentangan dengan kebebasan berserikat.
Sebaliknya, model multi bar memberikan ruang yang lebih luas bagi kebebasan berserikat, tetapi tetap harus dibatasi oleh regulasi yang ketat agar tidak terjadi fragmentasi dan penyimpangan standar profesi. Pemerintah, sebagai pemegang mandat konstitusional, wajib memastikan bahwa keberadaan berbagai asosiasi tersebut tidak menghambat kepastian hukum dan penegakan etika profesi advokat.
Hemat penulis, harus lahir kebijakan yang mengakomodir pandangan singel bar dan multi bar, dengan cara dibuatkan satu badan yang diberikan kewenangan kontrol etik terhadap para pengacara-pengacara yang di bawah berbagai organisasi pengacara, sehingga aspirasi yang muncul baik singel bar maupun multi bar, bisa terwadahi tanpa harus saling menafikan satu sama lain.
Baik single bar maupun multi bar memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing. Dalam konteks konstitusi Indonesia, kebebasan berserikat harus dijamin, namun tetap harus tunduk pada prinsip negara hukum yang menjamin kepastian hukum dan keadilan.
Model single bar dapat menjadi solusi untuk menjaga keseragaman standar profesi advokat, tetapi harus diawasi dengan transparan agar tidak menimbulkan monopoli kekuasaan. Sementara itu, model multi bar menawarkan kebebasan yang lebih besar, tetapi memerlukan regulasi yang ketat untuk mencegah fragmentasi standar profesi.
Pada akhirnya, pilihan antara single bar atau multi bar harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebebasan berserikat dan kepentingan negara hukum dalam memastikan profesionalisme dan integritas advokat sebagai pilar utama dalam penegakan hukum.
***
*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |