TIMES JATIM, PAMEKASAN – Tidak pernah membayangkan sebelumnya, hingga saat ini saya masih setia dengan dunia tulis menulis. Dunia jurnalistik telah menarik perhatian saya sepenuhnya. Sedari duduk di bangku perkuliahan, ketertarikan saya terhadap menulis sudah terbangun.
Entah bagaimana awal mulanya saat itu sehingga minat saya begitu menggebu-gebu. Yang jelas, seingat saya alasan sederhananya saat itu yaitu karena membutuhkan eksistensi dan pengakuan terhadap keberadaan diri. Keinginan untuk dikenal luas dan menjadi intelektual muda seolah menjadi bahan bakar yang terus mendorong saya untuk menulis.
Terkait honor dan apresiasi sejenis yang berbentuk materi, saya tidak begitu menghiraukan. Sebab, banyak tulisan-tulisan yang saya kirimkan ke media massa yang memang tak memberikan honorarium. Dan hal itu, tidak menjadi persoalan bagi saya. Menulis adalah kesenangan tersendiri bagi saya.
Sampai saat ini pun, saya masih terus belajar bagaimana menyajikan tulisan-tulisan yang berbobot. Sebab saya sendiri masih merasa kualitas tulisan saya masih banyak yang perlu dibenahi. Masih banyak hal yang saya tidak ketahui dan pahami terkat beragam teori-teori menulis. Khususnya tulisan-tulisan opini dan esai.
Maka tak heran, jika saya masih mencoba dan terus mencoba untuk meniru atau menjiplak cara penyajian ataupun gaya bahasa para kolumnis/esais beken kenamaan. Seperti halnya Emha Ainun Nadjib, Gus Dur, Mahbub Djunaedi, dan lain sebagainya. Saya percaya betul, tidak ada orang yang tiba-tiba lahir menjadi penulis hebat. Meskipun orang tersebut dari ayah, ibu, kakek, dan neneknya adalah penulis misalnya. Atau keluarga besarnya merupakan intelektual. Semuanya tidak menjamin. Pasti ada proses yang berdarah-darah yang dilalui. Tidak instan.
Terutama Mahbub Djunaedi, saya ngefans betul dengan aktivis dan kolumnis satu ini. Tak salah salah jika julukan sebagai pendekar pena melekat pada dirinya. Semua itu karena tulisan-tulisannya Mahbub yang tersiar di berbagai media massa memang secara bobot atau kualitas sulit untuk disaingi. Dia mengurai benang kusut beragam persoalan sosial kemasyarakatan dengan bahasa yang relatif mudah dipahami semua kalangan.
Satu lagi yang sukar ditandingi dari tulisan Mahbub, yaitu: jenaka. Ya, dia mampu melontarkan kritikan tajam dan serius dengan nuansa humor. Dia mampu menyederhanakan hal-hal yang kadang sulit untuk dicerna orang awam. Ya, saya belajar dari para pesohor-pesohor di bidang kepenulisan. Setiap penulis biasanya memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri.
Sebagai penulis, saya tidak pantas untuk merasa lebih baik, lebih pintar, lebih cerdas daripada yang lainnya yang bukan penulis atau penulis sekalipun. Merasa cerdas justru akan menjadi bumerang tersendiri bagi seorang penulis. Akan mematikan kreativitas dalam berkarya. Sebab, sudah merasa cukup dengan pengetahuan, ilmu, dan kemampuan yang dimiliki. Terutama terkait bidang tulis menulis atau karang mengarang.
Dalam menulis, kita bisa belajar dari siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Mengembangkan kemampuan menulis tidak cukup hanya dengan menumpuk pengetahuan-pengetahuan di bidang kepenulisan. Tidak cukup hanya dengan rutin menghadiri seminar-seminar, diskusi, dan pelatihan. Tapi, yang menjadi kunci utamanya adalah kesediaan untuk konsisten menulis. Menyediakan waktu untuk berkarya dalam setiap harinya.
Satu lagi, bersedia menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sebab, sejatinya, penulis itu adalah penuntut ilmu sepanjang waktu. Sebab, dalam menulis, seorang butuh untuk membaca dan belajar banyak hal yang terkait dengan tema yang akan diusung dalam tulisannya. Membaca tidak hanya sekadar membaca buku, koran, majalah, ebook, dan sejenisnya. Lebih dari itu bisa membaca lingkungan sosial, fenomena alam, dan bahkan diri kita sendiri. Semua itu bisa menjadi bahan untuk mengarang.
Sekali lagi, dalam menulis diperlukan daya juang yang tiada henti untuk terus menggali ilmu dan pengetahuan. Spektrum pemikiran kita akan semakin luas dengan membaca. Informasi yang kita miliki juga semakin bertambah. Tentu saja informasi terkait banyak hal yang menjadi minat kita. Baik itu bidang ekonomi, politik, hukum, dan lain sebagainya.
Wawasan kita akan semakin kaya dengan rajin membaca, Selain itu, setiap penulis dituntut untuk peka melihat realitas sosial yang terjadi, Melakukan pemikiran yang mendalam terkait situasi dan kondisi yang sedang terjadi di sekelilingnya, Dengan begitu, setiap penulis bisa menyajikan kritikan dan sekaligus solusi dalam tulisannya.
Tentu saja, dalam hal ini, penulis bisa berkontribusi dalam mengedukasi masyarakat. Turut berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa lewat tulisan-tulisan yang bermutu. Dan untuk meningkatkan mutu tulisannya, penulis tidak boleh merasa puas dengan pengetahuan, ilmu, dan kemampuan yang dimiliki, Percayalah, di atas langit masih ada langit, Artinya, masih banyak orang-orang yang lebih hebat dari kita, Jadikan itu motivasi untuk meningkatkan kualitas karya kita.
Teruslah latih, asah dan kembangkan kemampuan menulis kita dengan konsisten praktik setiap hari, Penulis adalah pembelajar sepenjang hayat. Dengan menulis, dia bisa belajar dan mengajar. Dengan menulis, dia bisa melakukan refleksi diri. Dengan menulis, dia bisa menjadi agen perubahan di tengah masyarakat, Bisa menjadi problem solver. Satu lagi, bisa mewarisi ilmu dan pengetahuan untuk ke generasi selanjutnya.
***
*) Oleh : Muhammad Aufal Fresky, Penulis buku Empat Titik Lima Dimensi.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menulis: Belajar Sepanjang Hayat
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |