TIMES JATIM, JEMBER – Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin hari kian parah, Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam. Penyebab terjadinya kerusakan alam dapat disebabkan oleh dua faktor yaitu akibat peristiwa alam dan akibat ulah manusia.
Kerusakan lingkungan hidup dapat diartikan sebagai proses deteriorasi atau penurunan mutu (kemunduran) lingkungan. Deteriorasi lingkungan ini ditandai dengan hilangnya sumber daya tanah, air, udara, punahnya flora dan fauna liar, dan kerusakan ekosistem. Kerusakan lingkungan hidup memberikan dampak langsung bagi kehidupan manusia.
Maraknya bencana alam akhir-akhir ini, tidak lain adalah ulah manusia sendiri, seperti banjir, abrasi, kebakaran hutan dan tanah longsor bisa saja terjadi karena adanya campur tangan manusia juga. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam.
Ini mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan, pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya.
Semua yang ada di dunia (muka bumi) adalah ciptaan Tuhan yang wajib kita rawat dan selamatkan dari kerusakan. Pandangan bahwa, keselamatan dan pemulihan tidak hanya menyangkut jiwa manusia, tetapi juga pemulihan seluruh ciptaan Tuhan.
Dalam beberapa kesempatan melalui Kementerian Agama sering menggaungkan ekoteologi, tidak lain adalah bentuk kepedulian melihat alam yang semakin tidak baik-baik saja. Keprihatinan akan keberlangsungan hidup baik masa kini dan masa yang akan datang menjadi pusat perhatian oleh Kementerian Agama.
Alam seisinya adalah ciptaan Tuhan, alam bukan benda mati, mereka juga berhak untuk dijaga dan dirawat sebagai teman hidup manusia. Pendekatan teologis yang mengintegrasikan prinsip-prinsip ekologi dan spiritualitas, menjadikan pelestarian lingkungan sebagai bentuk ibadah dan tanggung jawab umat beragama (ekoteologi).
Ekoteologi bukan hanya slogan tetapi amaliah yang harus menjadi kebiasaan demi keberlangsungan hidup. Ibadah bukan hanya dalam hal ritual (puasa, shalat, zakat, sedekah dsb) akan tetapi menjaga dan melestarikan lingkungan juga bagian dari ibadah.
Ekoteologi sendiri adalah cabang teologi yang menekankan hubungan spiritual antara manusia, Tuhan, dan alam semesta. Ekoteologi mengajarkan bahwa menjaga kelestarian lingkungan adalah bagian dari ibadah dan tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah (pemimpin) di bumi. Dalam Islam, misalnya, konsep rahmatan lil ‘alamin, amar ma’ruf nahi munkar, dan khalifah fil ardh sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai pelestarian lingkungan.
Dalam al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 ditegaskan bahwa manusia diturunkan dimuka bumi sebagai khalifah (pemimpin). Khalifah di muka bumi, artinya manusia sebagai wakil atau pemimpin di bumi. Tentunya tugas ini sangat berat sehingga setiap manusia harus memiliki kemampuan mengelola alam semesta sesuai amanat yang diemban.
Manusia sebagai khalifah harus mampu membangun ekoteologi sebagai budaya serta amaliah dalam kehidupan, membiasakan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa merugikan alam semesta serta melestarikan, menjaga alam semesta demi keberlangsungan hidup yang lebih baik dan layak.
Ekoteologi sebagai Paradigma baru
Cara pandang bahwa alam bukan lagi menjadi objek yang selalu dimanfaatkan, akan tetapi alam sebagai teman yang harus dijaga, dirawat serta dilestarikan.
Ekoteologi berangkat dari kesadaran bahwa alam bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari ciptaan Tuhan yang memiliki nilai intrinsik.
Dengan demikian, manusia bukan penguasa alam, tetapi wakil Tuhan yang diberi tanggung jawab moral untuk memelihara dan menjaga keseimbangan ciptaan. Paradigma ini menggeser fokus etika lingkungan dari sekadar “bagaimana manusia menggunakan alam” menjadi “bagaimana manusia hidup selaras dengan seluruh ciptaan”.
Dalam pandangan ini, hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan bersifat saling terkait. Merusak alam berarti merusak tatanan spiritual yang mendasari kehidupan itu sendiri. Maka, tindakan ekologis bukan hanya masalah etis, tetapi juga tindakan iman.
Ekoteologi mengajak agama-agama untuk tidak hanya berbicara tentang keselamatan jiwa, tetapi juga tentang keselamatan bumi. Dalam kekayaan tradisi religius baik dalam Islam, Kristen, Hindu, Buddha, maupun kepercayaan lokal terdapat nilai-nilai kosmologis yang mengajarkan harmoni dengan alam.
Ekoteologi sebagai paradigma baru dalam etika lingkungan merupakan amaliah dan cara hidup untuk saling menjaga, memelihara serta melestarikan antara manusia dan alam, menekankan hubungan harmonis antara manusia, Tuhan dan alam.
Paradigma ini mengajak manusia untuk melihat alam bukan sekedar okjek eksploitasi, melainkan sebagai ciptaaan Tuhan yang harus dihormati dan dilestarikan.
***
*) Oleh : Lukman AR, ASN UIN KHAS.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |