https://jatim.times.co.id/
Opini

Protes Pemangkasan TKD dan Masa Depan Otonomi Daerah

Jumat, 17 Oktober 2025 - 22:02
Protes Pemangkasan TKD dan Masa Depan Otonomi Daerah Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMES JATIM, SURABAYA – Satu tahun terakhir, arah kebijakan fiskal nasional menimbulkan kegelisahan serius di kalangan pemerintah daerah. Dalam Rancangan APBN Tahun 2026, pemerintah pusat memangkas Transfer ke Daerah (TKD) secara signifikan dari alokasi Rp848,5 triliun pada APBN 2025 menjadi Rp649,9 triliun, atau turun sekitar Rp198,6 triliun. 

Setelah pembahasan dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, jumlah itu disepakati dan disahkan naik menjadi Rp692,9 triliun. Namun, angka ini tetap jauh lebih rendah dibandingkan tahun 2025.

Pemangkasan itu memantik reaksi keras dari Asosiasi Pemerintahan Daerah. Para gubernur, bupati, dan wali kota mendatangi Kementerian Keuangan untuk meminta klarifikasi. Mereka menilai bahwa langkah tersebut berpotensi melumpuhkan kinerja pemerintahan daerah, sebab lebih dari 80 persen dari 546 daerah di Indonesia masih bergantung pada dana transfer pusat. 

Dalam kondisi fiskal yang belum mandiri, pengurangan TKD berarti mengancam kemampuan daerah membiayai 32 urusan pemerintahan wajib dan pilihan, mulai dari pendidikan, kesehatan, infrastruktur, hingga pelayanan dasar masyarakat.

Di balik kebijakan itu, kita perlu membaca arah politik fiskal negara yang lebih dalam. Rasionalisasi anggaran memang penting untuk menjaga disiplin fiskal nasional. Bila dilakukan dengan mengurangi secara signifikan Transfer ke Daerah (TKD), hal ini berpotensi menimbulkan kecenderungan sentralisasi fiskal yaitu meningkatnya dominasi pemerintah pusat dalam pengendalian arus keuangan publik, meskipun kewenangan pemungutan pajak daerah secara formal masih dimiliki oleh pemerintah daerah. 

Isu ini tidak berkaitan dengan penarikan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam konsep sentralisasi administratif, melainkan dengan berkurangnya kemandirian fiskal daerah akibat ketergantungan yang tinggi terhadap dana perimbangan dari pusat.

Desentralisasi Era Presiden Prabowo

Desentralisasi sejatinya bukan sekadar pembagian kerja antara pusat dan daerah, melainkan pembagian kepercayaan dan tanggung jawab dalam mengelola urusan publik. Hal yang demikian tersebut merupakan mekanisme politik yang berakar pada prinsip kedaulatan rakyat bahwa kekuasaan negara seharusnya terdistribusi sedekat mungkin kepada warga yang dilayani.

Namun, arah kebijakan fiskal nasional di awal pemerintahan Prabowo tampak menunjukkan gejala sebaliknya. Pemangkasan TKD di tengah meningkatnya belanja kementerian pusat menandakan munculnya pola baru: recentralisasi fiskal dengan bungkus efisiensi. Daerah diminta berhemat, sementara pusat justru memperlebar ruang fiskalnya sendiri.

Hal ini bukan hanya masalah teknokrasi anggaran, melainkan persoalan politik kekuasaan, dimana siapa yang mengendalikan sumber daya, dialah yang menentukan arah kebijakan. Ketika pusat “memonopoli” pengaturan fiskal dan daerah hanya menjadi pelaksana teknis, otonomi yang semula dimaksudkan untuk mendekatkan kesejahteraan rakyat akan kehilangan makna substantifnya.

Kita tentu tidak menolak efisiensi ala Presiden Prabowo. Namun efisiensi tanpa keadilan akan menciptakan ketimpangan struktural baru daerah miskin semakin lemah, sementara daerah kaya bertahan dengan sumber dayanya sendiri. Di sinilah muncul paradoks: pusat meminta daerah berhemat, tapi pada saat yang sama belanja pusat tumbuh lebih cepat daripada transfer ke daerah.

Ironi semacam ini menguatkan persepsi bahwa arah kebijakan fiskal nasional kini bergerak menuju sentralisasi yang tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah dalam konstitusi.

Meneguhkan Otonomi Daerah dalam Kerangka Konstitusi

Secara konseptual, otonomi daerah berasal dari bahasa Yunani autos (sendiri) dan nomos (aturan/hukum), yang berarti kemampuan untuk mengatur diri sendiri. Dalam konteks Indonesia, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan.

Sebagai negara kesatuan (unitary state), Indonesia menganut corak otonomi desentralisasi asimetris. Artinya, kewenangan tidak selalu sama di semua daerah. Faktor sejarah, kultur, dan afirmasi menyebabkan beberapa daerah mendapat otonomi khusus, seperti DIY, Aceh, serta enam (6) Provinsi di Pulau Papua, yaitu Papua, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan, Papua Barat, dan Papua Barat Daya. 

Model ini sejalan dengan teori asymmetric federation dari Charles Tarlton (1965), yang menegaskan bahwa setiap satuan dalam sistem politik besar memiliki kekhasan yang patut diakui agar keberagaman dapat hidup berdampingan dalam satu kesatuan.

Secara konstitusional, Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota.” 

Mahkamah Konstitusi kemudian melalui Putusan Nomor 32/PUU-X/2012, menafsirkan frasa “dibagi” sebagai bukti bahwa negara kesatuan Indonesia terlebih dahulu eksis secara utuh, baru kemudian membentuk satuan-satuan daerah sebagai konsekuensi pembagian kewenangan administratif. 

Ini berbeda dengan konsep frasa “terdiri atas”, yang menjadi ciri khas negara federal, di mana kedaulatan dimiliki bersama oleh negara-negara bagian yang bersepakat membentuk federasi.

Tafsir ini meneguhkan bahwa otonomi daerah di Indonesia bukanlah bentuk distribusi kedaulatan (distribution of sovereignty), melainkan penyerahan urusan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan yang integral. Namun, prinsip kesatuan tersebut tidak meniadakan pengakuan atas keragaman dan kekhususan daerah. 

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18A UUD 1945, yang mengamanatkan agar hubungan kewenangan antara pusat dan daerah diatur dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah (ayat 1), serta dilaksanakan secara adil dan selaras dalam aspek keuangan, pelayanan umum, dan pemanfaatan sumber daya alam (ayat 2). 

Dengan demikian, UUD 1945 sebenarnya menuntut keseimbangan yang dinamis antara unity dan diversity antara kendali pusat dan kemandirian daerah bukan dominasi salah satunya. Ketika kebijakan fiskal nasional seperti pemangkasan TKD justru memperlebar kesenjangan relasi keuangan antara pusat dan daerah, maka sesungguhnya semangat keadilan dan keselarasan yang diamanatkan Pasal 18A sedang diuji dalam praktik penyelenggaraan negara hari ini.

Ketika pemerintah pusat yang bersama DPR-RI menyepakati pemangkasan TKD tanpa memperkuat kapasitas fiskal daerah, maka negara justru melanggar semangat konstitusional. Kebijakan fiskal nasional seharusnya menjadi alat untuk memperkuat daerah, bukan melemahkannya. Negara wajib menjaga keseimbangan antara efisiensi nasional dan keadilan lokal.

Dalam konteks hukum tata negara, otonomi daerah adalah ekspresi dari prinsip keadilan sosial sebagaimana diatur dalam Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945. Desentralisasi memberi kesempatan daerah untuk tumbuh sesuai potensinya, sedangkan transfer ke daerah adalah jembatan pemerataan. Bila jembatan itu dipersempit, maka cita-cita keadilan sosial yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa menjadi semakin jauh dari jangkauan.

Pemangkasan TKD bukan sekadar isu anggaran, tetapi persoalan konstitusional dan keadilan antarwilayah. Kebijakan fiskal yang menekan daerah akan menimbulkan dampak politik yang lebih luas menurunnya kepercayaan publik terhadap pusat, dan melemahnya kohesi nasional. Pemerintah pusat perlu melihat otonomi daerah bukan sebagai beban, melainkan sebagai mitra strategis dalam mengelola bangsa yang majemuk ini.

Desentralisasi bukan ancaman bagi kesatuan, tetapi cara paling realistis untuk menjaga NKRI melalui distribusi keadilan sosial. Karena itu, masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh seberapa kuat pusat mengendalikan daerah, tetapi seberapa bijak pusat menghormati kemandirian daerah.

***

*) Oleh : Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.