https://jatim.times.co.id/
Opini

Sesat Pikir Tukin Dosen Versi Kemenkeu RI

Rabu, 19 Februari 2025 - 14:21
Sesat Pikir Tukin Dosen Versi Kemenkeu RI Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang.

TIMES JATIM, PADA – Sudah lebih dari empat tahun sejak tunjangan kinerja (tukin) bagi dosen ASN di bawah Kemendikti Saintek (dulu Kementerian Pendidikan dan Kebudayan), tidak pernah dibayarkan. Padahal, secara regulasi, hak tersebut sudah diatur dan seharusnya direalisasikan.

Ditilik dari payung hukumnya, maka regulasinya sudah rilis bahkan sejak hampir 7 tahun lalu, dalam Peraturan Presiden Nomor 136 Tahun 2018 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kelalaian pemerintah mengeksekusi regulasi ini bukan sekadar ketidakadilan administratif, tetapi sebuah ironi besar dalam sistem pendidikan tinggi Indonesia. Bagaimana bisa negara yang mengklaim ingin meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) justru mengabaikan kesejahteraan dosen, aktor utama dalam proses pendidikan tinggi?

Ketimpangan dalam distribusi tukin dan remunerasi menunjukkan bahwa pemerintah masih memperlakukan akademisi sebagai elemen sekunder dalam sistem birokrasi, bukan sebagai pilar utama pembangunan bangsa.

Jika kita telusuri lebih jauh, tukin merupakan hak para dosen, dan sesuai namanya, bertujuan memotivasi dan menunjang kinerja dosen. Pada gilirannya, juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dosen sebagai bagian dari aparatur negara.

Kenyataannya, pemerintah justru mengabaikan implementasi dari regulasi yang sudah ada. Dalih yang sering digunakan adalah keterbatasan anggaran. Sementara dalih “khas” pejabat kementerian yang sama di era pemerintahan Prabowo saat ini adalah “menteri di era sebelumnya tidak pernah mengeksekusi secara real dalam skema kelas jabatan dosen”.

Padahal, sekaligus ironisnya, dosen di bawah kementerian lain justru sudah menerima haknya ini tak lama sejak regulasi diundangkan. Dan logikanya, terlepas dari kelalaian kementerian era sebelumnya, mestinya pejabat terkait di era terkini mampu mencari solusi agar regulasi itu tetap dijalankan dengan sistem surut, misalnya.

Fakta ini semakin memperjelas adanya diskriminasi sistemik terhadap dosen di lingkungan pendidikan tinggi negeri, sekaligus menampakkan ketidakprofesionalan di level pejabat kementerian.

Sengkarut Ketimpangan

Salah satu masalah utama dalam kebijakan tukin dosen adalah adanya diskriminasi berdasarkan status Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dosen di PTN Satuan Kerja (Satker) dan beberapa PTN Badan Layanan Umum (BLU) yang belum menerapkan sistem remunerasi tidak menerima tukin yang layak, bahkan ada yang tidak mendapatkan sama sekali.

Sementara, dosen di banyak PTN Badan Hukum (BH) justru bernasib lebih mengenaskan, tidak menerima tukin, dan menerima remunerasi dalam jumlah fluktiatif dengan besaran nominal yang sangat jauh di bawah besaran tukin (jika dibayarkan).

Dalam hal remunerasi yang sangat minim, bukan pemerintah yang perlu disalahkan. Kealpaan ini layak ditimpakan kepada pengelola PTN BH yang mestinya secara kreatif mencari peluang income generating melalui unit-unit bisnis yang dikembangkan.

Ini mengingat hakikat remunerasi sebagai kompensasi dari keuntungan berbagai unit bisnis yang dikembangkan oleh PT (Perguruan Tinggi) bersangkutan. Dus, jika hitung-hitungan pembagian remunnya kecil, maka hanya ada dua kemungkinan penyebab.

Pertama, pengelola PT yang kurang kreatif menemukan celah income generating. Kedua, income generating tinggi, namun pengelolaan pengucuran remunerasinya “bermasalah”.

Rencana Diskriminatif

Berdasarkan pernyataan Kemenkeu RI Sri Mulyani di depan anggota DPR komisi X, empat hari lalu, kita dapat simak betapa rencana pemerintah yang akan mencairkan tukin ternyata malah dilandasi logika keliru dan malah cenderung menyesatkan.

Betapa tidak, Sri Mulyani mengatakan bahwa tukin di PTN BH selama ini sudah dibayarkan dalam bentuk remunerasi. Padahal jelas-jelas tukin dan remunerasi adalah hal yang berbeda.

Belum lagi, jika logika dan rencana kebijakan itu dijalankan nantinya, justu semakin menimbulkan diskriminasi yang mencolok. Bagaimana mungkin dosen yang sama-sama menjalankan Tridarma Perguruan Tinggi-pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat-mendapatkan hak yang berbeda hanya karena status administrasi kampus mereka?

Ketimpangan ini semakin diperburuk dengan fakta bahwa rektorat di banyak kampus justru mendapatkan tunjangan yang besar, sementara dosen nir-jabatan harus berjuang sendiri untuk menuntut haknya. Semakin mirisnya, di banyam PTN BH, terjadi pemotongan remunerasi bagi dosen yang tidak mampu menembus jurnal scopus.

Sementara di lain pihak, remunerasi versi utuhnya pun ada yang hanya berjumlah 500 ribu rupiah. Ingat, mereka juga tidak mendapat tukin selama ini, dan berkemungkinan besar (menilik pernyataan Kemenkeu) tidak akan pernah mendapatkannya, dengan alasan sudah mendapat remunerasi.

Dikotomi Tukin dan Remunerasi

Kementerian Keuangan sering kali menggunakan dalih bahwa tukin hanya diberikan kepada instansi yang belum memiliki skema remunerasi sendiri. Artinya, PTN yang sudah memiliki sistem remunerasi, seperti PTN BH, dianggap tidak perlu mendapatkan tukin.

Argumen ini bermasalah karena dua alasan utama. Pertama, remunerasi dan tukin adalah dua hal yang berbeda. Tukin adalah bagian dari kompensasi berbasis kinerja yang seharusnya diberikan kepada semua pegawai, termasuk dosen, terlepas dari sistem remunerasi institusinya. Tidak ada alasan logis untuk menghilangkan hak tukin bagi dosen yang bekerja di PTN yang sudah memiliki remunerasi.

Kedua, logika ini bertentangan dengan praktik di sektor lain. Banyak lembaga negara yang mendapatkan tukin meskipun mereka sudah memiliki sistem remunerasi internal. Mengapa aturan ini hanya berlaku bagi dosen? Apakah pemerintah secara sengaja ingin menghambat kesejahteraan akademisi?

Kebijakan ini tidak hanya mencerminkan inkonsistensi dan diskriminasi, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki niat serius untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga pendidik.

Manipulasi Narasi

Sekali lagi, pemerintah, melalui Kemenkeu, berulang kali menyatakan bahwa tukin bagi dosen sudah dibayarkan. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahkan pernah mengatakan bahwa pembayaran tunjangan kinerja tetap menjadi prioritas. Namun, kenyataannya, pernyataan ini tidak didukung oleh data di lapangan.

Narasi ini bukan hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi digunakan untuk menghindari tanggung jawab. Alih-alih mengakui kelemahan dalam kebijakan, pemerintah justru memilih untuk membangun persepsi bahwa masalah ini tidak ada.

"Tukin for All": Keadilan bagi Semua Dosen

Menanggapi ketidakadilan ini, gerakan "Tukin for All" wajar dan memang sudah seharusnya semakin mendapat dukungan dari komunitas akademik.

Gerakan ini menuntut agar tukin diberikan tanpa diskriminasi bagi semua dosen, baik di bawah Kemendikti Saintek, maupun di bawah kementerian lainnya (yang ternyata sudah menerima tukin sejak 2020). Terkhusus dosen di bawah Kemendikti Saintek, tukin mestinya dibayarkan di semua jenis level, baik PTN Satker, BLU, maupun BH.

Logikanya simpel, dosen bukanlah sekadar pegawai administratif; mereka adalah penjaga garda depan pendidikan dan riset di Indonesia. Jika pemerintah serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, maka kebijakan insentif bagi dosen harus adil, transparan, dan tidak diskriminatif.

Beranjak dari sengkarut ini, beberapa langkah konkret harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini.

Pertama, pemerintah (sangat) perlu segera mencairkan tukin bagi semua dosen ASN di bawah Kemendikti-Saintek yang belum menerima hak mereka sejak 2020.

Kedua, yang tidak kalah penting adalah merevisi kebijakan tukin dan remunerasi agar tidak ada lagi diskriminasif berdasarkan status PTN.

Ketiga, meningkatkan transparansi dalam pengelolaan anggaran pendidikan tinggi, termasuk mekanisme distribusi tukin.

Keempat, dan ini sering dilupakan pejuang “Tukin for All”, membuka ruang dialog antara pemerintah dan perwakilan dosen untuk memastikan kebijakan yang lebih berpihak kepada akademisi.

Penting untuk dicatat, Kebijakan tukin dan remunerasi dosen yang diterapkan oleh Kemenkeu saat ini tidak hanya cacat secara administratif, tetapi juga secara moral. Ketimpangan dalam pemberian tunjangan ini adalah bukti nyata dari ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan akademisi.

Gerakan Tukin for All bukan sekadar tuntutan dari segi ekonomi/keuangan, tetapi sebuah perjuangan untuk meraih keadilan yang sudah terlalu lama diabaikan. Apa yang dituntut oleh dosen di bawah Kemendikti-Saintek adalah hak mereka, dan pemerintah mestinya juga menjalankan apa yang menajdi kewajiban mereka sesuai amanat undang-undang.

Jika pemerintah tetap bersikeras mempertahankan kebijakan yang diskriminatif, maka konsekuensi tak terbantahkan, baik jangka pendek maupun jangka panjang, yaitu semakin terpuruknya kualitas pendidikan tinggi di Indonesia.

Kesimpulannya sudah jelas, sudah saatnya negara bertindak. Dosen tidak boleh lagi menjadi korban dari kebijakan yang tidak berpihak pada mereka. Jika pemerintah tetap tidak responsif dan proporsional menangani kekusutan ini.

Sejarah akan mencatat bahwa mereka adalah bagian dari masalah, bukan solusi. Negara justru semakin membuktikan bahwa mereka tidak pernah hadir dalam sistuasi genting yang menyangkut salah satu sektor yang digadang-gadang paling krusial di negeri ini: pendidikan.

***

*) Oleh: Mohammad Isa Gautama, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Negeri Padang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi TIMES Indonesia.

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.