TIMES JATIM, SURABAYA – "Mungkinkah, kita kan selalu bersama walau terbentang jarak antara kita. Biarkan kupeluk erat bayangmu, tuk melepaskan semua kerinduanku oh oh oh".
Sepenggal bait reff lagu berjudul "Mungkinkah" besutan grup band "Stinky" ini identik bak sebuah harapan. Lagu ciptaan Irwan Batara dan Ndhank Suratman Hartono ini muncul bersamaan dengan pertanyaan yang sama tentang literasi bagi generasi bangsa.
Mungkinkah bangsa yang besar dan majemuk ini dapat menyetarakan diri dengan bangsa lain berpredikat sebagai negara berliterasi tinggi. Sebut saja negeri seribu danau (land of thousand lakes), Finlandia.
Atau negeri yang matahari nya tak pernah tenggelam (the land of the midnight sun), Norwegia. Atau juga negeri api dan es (land of fire and ice), Islandia. Termasuk juga seperti negeri dongeng, Denmark atau Swedia, Swiss, Belanda, Jepang maupun Australia.
Pemerintah setempat, beragam cara membuat masyarakatnya gemar membaca dan berliterasi sejak dini. Sebut saja Belanda. Konon katanya, bayi-bayi berusia 4 bulan yang baru dilahirkan sudah diberikan formulir keanggotaan perpustakaan umum. Formulir tersebut dikirimkan ke rumah dilengkapi dengan seperangkat buku bacaan untuk para bayi dan orang tuanya.
Dan bahkan, dalam sistem pendidikan di Negeri Kincir Angin itu mewajibkan seluruh siswa membaca buku setiap pagi sebelum jam pelajaran. Lalu sore harinya sebelum pulang sekolah pun demikian. Pihak sekolah juga mengagendakan anak didik mereka rutin berkunjung ke perpustakaan umum.
Sama halnya di Swedia. Negeri yang berada di wilayah Semenanjung Skandinavia ini pun memberikan bingkisan sepaket buku bacaan kepada keluarga yang baru memiliki bayi. Pemerintahannya melakukan dengan tujuan untuk meningkatkan minat baca anak sedini mungkin.
Pemberlakuan di Belanda dan Swedia itu pun sama halnya di Australia. Negeri Kanguru itu juga menghadiahi satu paket bingkisan buku kepada keluarga yang baru memiliki anak. Pemerintah Australia juga membuat program tantangan membaca (reading challenge) bagi seluruh warganya.
Setiap orang tua diwajibkan agar menanamkan budaya baca di lingkungan keluarga mereka. Seperti membacakan buku kepada anak mereka sebanyak 1000 buku sebelum memasuki masa sekolah.
Australia pun menerapkan tantangan bagi semua anak usia 0-15 tahun menyelesaikan membaca buku yang ditentukan dalam 4 bulan. Lalu ada juga program home reading bagi orang tua. Mereka diminta agar bisa meluangkan waktu membacakan buku kepada anak-anak mereka menjelang tidur. Dan masih banyak lagi.
Sementara di Jepang, budaya literasinya pun dinilai sangat tinggi. Di negeri matahari terbit atau the land of the rising sun itu menjadikan aktivitas membaca menjadi bagian penting dalam kehidupan warganya. Kebiasaan itu tak memandang anak muda maupun orang tua.
Pemerintahnya juga mewajibkan para guru membacakan buku dan menceritakan kepada murid-murid mereka. Sehingga, budaya tersebut dibangun lewat kebijakan penyadaran. Maka tak jarang, ketika sedang berada di bis, kereta api, taman kota, tempat rekreasi, kafe atau restoran banyak yang memanfaatkan waktu luang dengan membaca.
Menilik bangsa kita sendiri, mencapai tataran berbudaya literasi masih memerlukan perjuangan ekstra. Boro-boro memikirkan hal literasi, membeli sembako untuk makan sehari-hari pun sebagian masih membutuhkan perjuangan.
Belum lagi era zaman yang penuh tawaran akan candu hiburan digital seperti video game, media sosial, youtube dan televisi daripada membaca buku menjadi tantangan tersendiri. Melihat itu, pemerintah terus bergulat dan berjuang menghadapi fenomena itu.
Meski demikian, peluang meningkatkan terbuka lebar. Mengingat, tingkat kegemaran membaca (TGM) masyarakat Indonesia secara nasional saat ini berada pada tataran sedang. Indeks pembangunan literasi masyarakat (IPLM) nya pun sama.
Dari hasil survey Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI tahun 2024 menyebutkan bahwa nilai TGM berada pada 72,44 poin (skala 0-100) dan IPLM sebesar 73,53. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia berada di posisi ketiga ASEAN setelah Singapura dan Thailand.
CEOWORLD Magazine menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia rata-rata membaca 5,91 buku per tahun. Waktunya menghabiskan sebanyak 129 jam per tahun. Kondisi tersebut menjadikannya sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi tinggi di Asia Tenggara.
Namun di skala dunia, Indonesia dinilai masih perlu berjuang penuh. Pasalnya, UNESCO sebagai organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut kalau tingkat literasi di Indonesia masih dinilai rendah.
Namun, apapun tatarannya, pemerintah terus berjuang dan mengejar ketertinggalan. Berbagai program terus dikembangkan sesuai era zaman. Harapannya tak lain untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang berkualitas dan berdaya saing.
Dan pemahaman literasi menjadi salah satu kunci penting dalam pembangunan. Sebab, tak dipungkiri, semakin tinggi tingkat literasi masyarakatnya maka semakin berdaya saing dan berwawasan luas. Termasuk aspek kesejahteraan masyarakatnya.
Contoh saja soal pengurangan kemiskinan. Masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan sumber daya yang dapat membantu mereka keluar dari kemiskinan.
Lalu soal peningkatan kesehatan. Masyarakat yang melek huruf akan mampu memahami informasi tentang kesehatan dan membuat keputusan yang lebih baik tentang gaya hidup sehat mereka.
Dari sisi peningkatan ekonomi, masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan berpartisipasi dalam ekonomi formal dan mengakses peluang kerja yang lebih baik.
Sementara dari aspek peningkatan demokrasi, masyarakat yang melek huruf dapat memahami hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara dan berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Selanjutnya, soal peningkatan kualitas hidup, masyarakat dengan tingkat literasi yang tinggi akan cenderung memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan sumber daya yang dapat membantu meningkatkan kualitas hidup mereka.
Bahkan, UNESCO menunjukkan bahwa setiap 1% peningkatan dalam tingkat literasi masyarakat sebuah negara dapat mengurangi kemiskinan sebesar 2-3%. Namun, korelasi antara literasi dan kesejahteraan masyarakat tidaklah se sederhana itu. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti ekonomi, politik dan sosial sebuah negara.
Melihat korelasi tersebut, berjuang membangun literasi menjadi sebuah keharusan. Termasuk kesadaran di lingkup terkecil yakni keluarga. Hal tersebut menjadi penting untuk disadari bersama.
Mengenalkan literasi di lingkup keluarga menjadi pondasi dasar. Kolaborasi dan gerakan yang masif di tataran grassroot menjadi pilihan yang sangat penting.
Kader dan penggerak PKK, para bidan, rumah sakit ibu dan anak serta semua komponen bangsa juga menjadi keniscayaan. Termasuk pemuka agama dan pegiat literasi dimanapun berada.
Harapannya, pemahaman akan pentingnya literasi dapat terbangun dan terbentuk sejak dini di tataran akar rumput. Melalui dasar pemahaman tersebut memberi pintu pembuka pentingnya literasi bagi pribadi, keluarga, lingkungan hingga level bangsa. Jika itu diinginkan, calon pasangan suami istri (pasutri) yang ingin membangun keluarga baru bisa dijadikan pintu pembuka pemahaman akan literasi.
Bimbingan dan konseling pra nikah calon pasutri terkait literasi mungkin perlu dilakukan. Tujuannya tak lain agar bagaimana pentingnya membangun keluarga dengan pemahaman akan pentingnya literasi bagi generasi penerus mereka.
Setiap calon pasutri tidak hanya diberi pemahaman tentang psikologi pernikahan, teori masa kehamilan, sexsologi dan merancang keluarga berencana saja. Lembaga bimbingan pra nikah setidaknya wajib menyajikan pentingnya materi pemahaman tentang literasi bagi pribadi, keluarga dan generasi mereka juga.
Para konselor pernikahan setidaknya bisa mewajibkan gaya hidup dan budaya dalam merancang keluarga yang literad. Jika itu tercipta, maka tak mungkin impian untuk membangun masyarakat yang berliterasi dapat terwujud. Tahapan minat baca menjadi gemar membaca hingga berujung jadi budaya baca niscaya pasti terwujud.
Jika pemerintah saat ini sedang getol mewujudkan program makan bergizi gratis (MBG) bagi seluruh pelajar di level TK-SMA, barangkali langkah awal membangun masyarakat berliterad di tataran calon pasutri tahap pra nikah bisa menjadi solusi.
Sehingga ketika mereka dikaruniai seorang anak sebagai generasi penerus bisa terbangun komitmen membiasakan diri dan keluarga dengan dunia baca. Selanjutnya, tahapan gemar hingga menjadi budaya baca yang menjadi pijakan lanjutannya dapat membentuk masyarakat yang berliterad.
Mungkin pikiran ini bisa menjadi wawasan bersama sebagai anak bangsa. Dimana, literasi dapat membantu masyarakat membuat keputusan yang lebih baik dalam membangun kemampuannya berkreasi mewujudkan kesejahteraan. Nah pertanyaannya, mungkinkah harapan itu bisa tercapai seperti lagu yang dilantunkan group band Stinky “Mungkinkah”.
***
*) Oleh : Wempi Roberto G, Pustakawan Ahli Muda, Disperpusip Jatim.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |