TIMES JATIM, JAKARTA – Konflik pengelolaan Sekolah HighScope Rancamaya antara Yayasan Bina Tunas Abadi (YBTA) dan Yayasan Perintis Pendidikan Belajar Aktif (YPPBA) memasuki babak baru. YBTA, yang mengelola sekolah sejak 2008, menegaskan seluruh legalitas operasional tetap berada di bawah kewenangannya.
Pernyataan tersebut disampaikan kuasa hukum YBTA, Chandra Goba, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/8/2025). Ia memaparkan bahwa akta pendirian yayasan, SK Kemenkumham, dan izin operasional Dinas Pendidikan yang masih berlaku menjadi bukti sah kepemilikan dan pengelolaan sekolah.
“Sejak awal, seluruh legalitas sekolah berada di bawah YBTA, dan kami menjalankan tugas ini dengan penuh tanggung jawab,” ujar Chandra.
Tuduhan Pengambilalihan Sepihak
YBTA menuding langkah YPPBA mengambil alih pengelolaan dilakukan sepihak tanpa putusan pengadilan atau surat kuasa resmi. Aset, staf, dan arus keuangan sekolah disebut diambil tanpa dasar hukum.
Chandra juga menyoroti kerja sama dengan PT HighScope Indonesia yang dilakukan lewat sublisensi berafiliasi dengan HighScope Educational Research Foundation (HSERF) di AS. Namun, temuan di DJKI menunjukkan lisensi resmi baru terdaftar pada 2024 dan berlaku hingga Desember 2026, memunculkan dugaan penggunaan nama tanpa persetujuan pemilik merek di AS.
HSERF Hanya Akui TK
YBTA mengingatkan bahwa HSERF di AS hanya mengakui jenjang pendidikan anak usia dini (TK). Sementara jenjang SD, SMP, dan SMA yang menggunakan nama HighScope di Indonesia tidak termasuk sistem resmi HSERF.
“Ini penting diketahui orang tua murid. Kami menahan diri agar tidak mengganggu proses belajar mengajar,” jelas Chandra.
Saat ini YBTA hanya mengelola TK dan SD HighScope Rancamaya yang berakreditasi A, sambil menunggu kepastian hukum terkait lisensi dan kurikulum internasional.
Surat dari HSERF dan Dugaan Hilangnya Pengakuan
Pada 2 Mei 2024, Presiden HSERF Alejandra Baraza dilaporkan mengirim surat meminta YPPBA mengembalikan pengelolaan sekolah ke YBTA. Kesepakatan sempat dicapai 6 Mei 2024, namun tidak dijalankan YPPBA.
YBTA juga menduga konflik ini menjadi penyebab hilangnya nama Indonesia dari daftar International Institutes di situs resmi highscope.org, yang mengindikasikan potensi pencabutan pengakuan HSERF.
Pandangan Ahli Hukum
Dalam sidang Kamis (14/8/2025), ahli hukum perdata Gunawan Widjaja memaparkan bahwa perjanjian sah harus memenuhi empat syarat Pasal 1320 KUHPerdata. Pelanggaran syarat subjektif membuat perjanjian bisa dibatalkan, sedangkan pelanggaran syarat objektif membuatnya batal demi hukum.
Terkait wanprestasi (Pasal 1243 KUHPerdata), Gunawan menegaskan pemutusan perjanjian sepihak tanpa somasi sah berpotensi tidak sah secara hukum.
Ia juga mengingatkan, penggunaan izin operasional atas nama pihak lain tanpa persetujuan atau pemutusan perjanjian di luar ketentuan dapat digolongkan perbuatan melawan hukum (PMH).
“Kepatuhan terhadap perjanjian dan aturan hukum adalah kunci menyelesaikan konflik secara adil dan transparan,” tutup Gunawan.(*)
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Imadudin Muhammad |