TIMES JATIM, MALANG – Ada ironi yang mengendap dalam dunia pendidikan tinggi hari ini. Kita hidup di era ketika gelar akademik, penelitian, dan reputasi keilmuan seharusnya menjadi ruang intelektual yang merdeka. Namun kenyataan di lapangan berkata lain: kampus perlahan berubah menjadi industri, ilmu berganti menjadi komoditas, dan akademisi baik mahasiswa maupun dosen dipaksa tunduk pada logika pasar bernama publikasi jurnal. Bukan lagi kecintaan pada ilmu pengetahuan yang memantik riset, melainkan kejar tayang akreditasi, kenaikan jabatan, atau sekadar syarat kelulusan.
Narasi “kampus riset” yang digembar-gemborkan nyatanya bertumbuh di atas tekanan struktural. Mahasiswa program sarjana dipaksa publikasi jurnal untuk lulus, bahkan ketika belum dibekali budaya riset yang memadai. Para dosen dikejar target publikasi demi kum, kenaikan jabatan, atau standar akreditasi institusi.
Akibatnya, terjadi fenomena yang menggelitik tetapi menyakitkan: terdidik yang terhipnotis jurnal. Akademisi semakin ahli mengejar jumlah publikasi, bukan mutu intelektual. Riset lahir bukan dari kegelisahan ilmiah, melainkan dari tekanan administratif.
Di tengah tekanan itu, muncullah ekosistem baru bernama “industri publikasi”. Jasa pembayaran fast track jurnal terindeks terus bermunculan, dengan harga jutaan hingga puluhan juta rupiah per artikel. Bagi peneliti, biaya setinggi itu seakan menjadi tiket wajib menuju pengakuan akademik.
Banyak yang terjerat bukan karena keserakahan ilmiah, tetapi karena terpaksa. Ketika kebijakan kampus mematok jurnal bereputasi sebagai satu-satunya indikator kualitas akademik, maka pasar publikasi berbayar tumbuh subur dan para akademisi menjadi konsumennya.
Di sisi lain, rasanya mustahil menyalahkan mahasiswa dan dosen sepenuhnya. Mereka hanya mengikuti aturan yang dirancang sistem pendidikan itu sendiri. Persoalannya terletak pada model evaluasi akademik yang reduksionistik.
Publikasi dijadikan tolok ukur tunggal pencapaian intelektual. Pengetahuan diukur dari paper, bukan implementasi; kecerdasan diukur dari index, bukan relevansi untuk masyarakat; dan reputasi keilmuan diukur dari jumlah jurnal, bukan kontribusi nyata.
Inilah titik di mana akademisi mulai tercerabut dari realitas sosial. Jurnal menjadi panggung preferensial, bukan masyarakatnya. Penelitian yang seharusnya membelah persoalan publik berubah menjadi proyek dokumentasi yang berakhir di repository dan tidak pernah benar-benar menyentuh problem nyata.
Bahkan tidak sedikit riset dilakukan hanya demi memenuhi kewajiban publikasi, bukan untuk menghasilkan perubahan. Di sinilah tragedi terjadi: kita mencetak sarjana dan ilmuwan yang sibuk menulis untuk dibaca oleh algoritma, bukan untuk manusia.
Kampus, dalam banyak kasus, menjadikan publikasi sebagai branding, bukan pembebasan intelektual. Universitas berlomba menampilkan jumlah jurnal terindeks Scopus dan Sinta sebagai wajah kemajuan, meskipun sebagian lahir dari sistem pembayaran atau kerjasama penerbit.
Selama angka memenuhi standar akreditasi, maka institusi dianggap bermutu. Padahal mutu sejati bukan pada kuantitas publikasi, melainkan pada kemampuan ilmu pengetahuan menyelesaikan problem bangsa—ketimpangan pendidikan, kemiskinan, perubahan iklim, teknologi, kesetaraan gender, dan lain-lain.
Dampaknya sangat nyata. Banyak mahasiswa menganggap penelitian sebagai beban, bukan sebagai proses critical thinking. Banyak dosen memilih penelitian yang cepat dipublikasikan, bukan yang relevan bagi masyarakat. Disertasi, tesis, dan skripsi semakin kehilangan esensi epistemologisnya. Pendidikan tinggi akhirnya melahirkan generasi akademisi yang cerdas secara administrasi tetapi rapuh secara gagasan.
Lantas, apakah publikasi jurnal berbahaya? Tidak. Jurnal ilmiah tetap penting dan harus menjadi pilar pengembangan ilmu. Permasalahannya bukan pada jurnal, tetapi pada fetisisme jurnal.
Ketika publikasi menjadi alat ukur tunggal, maka kampus kehilangan multi dimensi ilmu pengetahuan: pengabdian, inovasi, temuan teknologi, pemberdayaan masyarakat, kepemimpinan sosial, hingga peradaban—semuanya dikecilkan menjadi angka sitasi.
Maka urgensi perubahan tak dapat ditunda. Sistem pendidikan tinggi harus keluar dari obsesi kuantitas menuju ekosistem kualitas. Publikasi harus tetap menjadi ruang keilmuan, tetapi bukan sanksi administrasi.
Mahasiswa perlu diberi pilihan kelulusan berbasis research project, community development, inovasi wirausaha, atau problem solving sosial. Dosen harus dinilai tidak hanya dari jurnal, tetapi dari kontribusi transformasional yang dapat diukur secara nyata bagi masyarakat.
Karena pada akhirnya, ilmu pengetahuan seharusnya bukan berfungsi memaksa, melainkan membebaskan. Tugas pendidikan tinggi bukan mencetak manusia yang patuh pada sistem jurnal, tetapi melahirkan intelektual yang menyelesaikan persoalan bangsa. Dunia akademik hanya akan bermartabat ketika publikasi kembali menjadi ekspresi kecintaan terhadap ilmu, bukan kelengkapan administratif.
Saatnya bertanya dengan jujur: apakah kita sedang berjuang untuk ilmu, atau hanya untuk indeks jurnal? Bila jawabannya yang kedua, maka kita sedang menyaksikan tragedi-tragedi ketika kaum terdidik dibentuk bukan untuk mencerdaskan bangsa, melainkan untuk memuaskan standar birokrasi pendidikan.
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |