https://jatim.times.co.id/
Opini

UMKM Tradisional di Era Pasar Digital

Selasa, 09 Desember 2025 - 19:28
UMKM Tradisional di Era Pasar Digital Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Selama bertahun-tahun, UMKM tradisional menjadi tulang punggung ekonomi rakyat. Dari pedagang pasar, pengrajin rumahan, warung kelontong, hingga kuliner kaki lima merekalah yang menopang perputaran ekonomi sehari-hari. 

Namun kini, mereka sedang menghadapi medan kompetisi baru yang kadang tidak mereka pahami: pasar digital. Tanpa disadari, ruang bisnis yang dulu sepenuhnya fisik perlahan bergeser ke layar gawai, ke etalase aplikasi dan algoritma. Transformasi ini bukan sekadar perubahan cara berjualan, melainkan perubahan cara bertahan hidup.

Pandangan umum seringkali menggambarkan digitalisasi sebagai peluang emas bagi UMKM. Benar, tetapi narasi ini acap kali terlalu manis. Di balik jargon “go digital” tersembunyi struktur kompetisi yang tidak sederhana. 

Platform e-commerce menawarkan pangsa pasar luas, tetapi juga memaksa pedagang memasuki ekosistem yang penuh aturan, biaya administrasi, komisi, perpanjangan iklan berbayar, rating konsumen, hingga tuntutan pengemasan dan pengiriman cepat. Banyak UMKM yang masuk ke platform bukan karena kesiapan, tetapi karena keterpaksaan: jika tidak ikut digital, dikhawatirkan akan kehilangan pelanggan yang kini berpindah ke ruang online.

Tak sedikit pelaku UMKM tradisional yang kalah sebelum bertanding. Mereka harus berhadapan dengan pelaku usaha besar yang memiliki modal kuat untuk menguasai halaman pertama pencarian marketplace melalui iklan dan promosi besar-besaran. 

Algoritma e-commerce pun tidak bekerja secara netral; ia cenderung memberi visibilitas kepada toko yang memiliki transaksi tinggi, rating bagus, dan iklan berbayar. Pertanyaannya: bagaimana UMKM kecil yang masih belajar digital bisa bersaing dalam arena yang ditentukan algoritma? Di sinilah letak ketimpangan baru yang jarang dibicarakan.

Selain itu, pasar digital menciptakan standar baru dalam perilaku konsumen: ingin cepat, ingin murah, ingin promo, ingin gratis ongkir. Sementara UMKM tradisional masih mengandalkan biaya produksi manual, rantai pasok lokal, hingga keterbatasan modal. 

Konsumen yang dulu datang karena kualitas rasa, kedekatan, dan relasi sosial, kini mengutamakan efisiensi harga dan UMKM tradisional dipaksa mengikuti logika pasar itu untuk bertahan. Akhirnya, banyak UMKM yang banting harga demi bersaing, meskipun harus mengorbankan margin keuntungan dan keberlanjutan usaha.

Layanan media sosial memang menyediakan ruang alternatif pemasaran tanpa biaya komisi, namun keberhasilan di sosial media pun tidak mudah. Tidak semua pelaku UMKM mahir membuat konten yang menarik, mengelola komentar pelanggan, atau membangun brand secara konsisten. 

Banyak pedagang yang akhirnya merasa jenuh karena diminta menjadi penjual sekaligus fotografer, desainer, editor video, admin, copywriter, hingga ahli algoritma. Digitalisasi memberi peluang, tetapi juga menimbulkan beban kompetensi yang tidak kecil.

Di sisi lain, tidak semua UMKM dapat menggantungkan usaha pada pasar digital semata. Ada nilai sosial dalam interaksi dagang tradisional yang tidak bisa sepenuhnya dipindahkan ke checkout online: keramahan, komunikasi, fleksibilitas harga, rasa percaya, dan kedekatan emosional. 

Namun realitas berkata lain: pelanggan yang dulu setia kini satu per satu berpindah ke aplikasi belanja. Maka UMKM tradisional terjebak di tengah dua dunia harus tetap menjaga pasar offline, tetapi wajib masuk ke pasar online agar tidak tertinggal. Bagi sebagian pelaku, ini bukan transformasi, melainkan tekanan bertingkat.

Namun tidak semua cerita adalah kelam. Banyak UMKM yang berhasil memanfaatkan digitalisasi secara cerdas bukan dengan meniru kompetitor besar, tetapi dengan menonjolkan keunikan lokal: makanan khas desa, tenun tradisional, kerajinan handmade, rempah organik, layanan katering rumahan, hingga paket hampers budaya. 

Keberhasilan mereka menunjukkan satu pelajaran penting: digitalisasi tidak berarti menyerah pada standar pasar global, tetapi menemukan cara untuk tetap relevan tanpa kehilangan identitas. Digital bukan musuh; ia bisa menjadi kendaraan bagi produk lokal untuk menemukan pasar yang lebih luas.

Tetapi untuk menjadikan digitalisasi sebagai berkah, UMKM tidak bisa dibiarkan bertarung sendirian. Diperlukan desain kebijakan yang berpihak, bukan sekadar seremonial pelatihan. 

Pemerintah, kampus, swasta, dan lembaga keuangan harus bekerja bersama untuk menciptakan ekosistem yang adil: akses modal yang mudah dan tanpa jaminan rumit, pendampingan pemasaran digital jangka panjang, pusat logistik murah untuk UMKM, regulasi platform e-commerce yang melindungi pedagang kecil, hingga penguatan budaya belanja produk lokal di masyarakat. Bukan hanya pelatihan dan sertifikat, tetapi dukungan konkret yang mengurangi beban kompetisi.

Lebih dari itu, dibutuhkan gerakan sosial untuk mengubah pola konsumsi masyarakat. Sesering apa kita berkampanye “UMKM adalah tulang punggung ekonomi”, tetapi seberapa sering kita memilih produk lokal daripada produk pabrikan besar? 

UMKM bisa bertahan hanya jika pelanggan tidak berpaling sepenuhnya ke sistem belanja digital yang serba korting. Kesetiaan konsumen terhadap produk lokal harus dibangun bukan dengan belas kasihan, tetapi dengan kesadaran bahwa belanja di UMKM berarti menjaga roda ekonomi rakyat.

Digitalisasi memang membuka peluang baru, tetapi ia juga membawa pertarungan baru. Tantangannya bukan sekadar “masuk marketplace”, tetapi bagaimana UMKM tradisional tetap eksis tanpa terseret arus persaingan tidak sehat. Jika kita ingin UMKM tetap menjadi fondasi ekonomi Indonesia, maka digitalisasi harus dirancang sebagai pemberdayaan, bukan eliminasi pelaku kecil.

Daya saing UMKM tradisional bukan sekadar soal teknologi. Ia bertumpu pada kemampuan kita sebagai negara dan sebagai masyarakat untuk memastikan transformasi digital tidak menghapus jejak ekonomi rakyat. 

Masa depan UMKM tidak boleh ditentukan algoritma semata, tetapi oleh keberpihakan kolektif kita kepada pelaku usaha kecil yang selama ini setia menjaga denyut ekonomi bangsa.

***

*) Oleh : Burhanuddin, Kader PMII Cabang Kota Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.