https://jatim.times.co.id/
Opini

Algoritma dalam Membangun Perspektif

Selasa, 09 Desember 2025 - 20:31
Algoritma dalam Membangun Perspektif Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Kita hidup di era ketika informasi tidak lagi datang secara acak. Setiap video yang kita tonton, setiap artikel yang kita klik, bahkan setiap postingan yang membuat kita berhenti sejenak untuk membaca, tidak muncul secara kebetulan. 

Semua itu adalah hasil perhitungan matematis yang bekerja di balik layar: algoritma. Kita menganggap media sosial sebagai ruang bebas, padahal ia bergerak dengan logika seleksi yang sangat ketat. Bukan kita yang memilih informasi-informasi yang memilih kita.

Algoritma dirancang untuk mengenali pola perilaku digital manusia: jam kita menggunakan ponsel, jenis konten yang kita sukai, topik apa yang membuat kita bertahan lebih lama, hingga kategori apa yang membuat kita marah. Setelah pola itu terkunci, algoritma akan menghidangkan konten serupa terus-menerus. 

Di titik ini, perspektif bukan lagi dibentuk oleh pengalaman luas, tetapi oleh lingkaran informasi homogen yang menciptakan kenyamanan. Kita tidak “mencari kebenaran”, kita “disuguhi apa yang ingin kita dengar.”

Fenomena ini menghadirkan paradoks besar dalam demokrasi modern. Secara teoritis, internet adalah ruang paling terbuka dalam sejarah manusia siapa pun dapat bersuara, siapa pun dapat mengakses informasi. Namun secara praktik, internet berubah menjadi ekosistem ruang gema (echo chamber) yang dikurasi mesin. 

Orang berinteraksi hanya dengan yang sepaham, saling menguatkan keyakinan, dan merasa kelompoknya adalah satu-satunya yang benar. Perbedaan pendapat bukan lagi dianggap sebagai wacana, tetapi ancaman.

Demokrasi yang sehat bertumpu pada pertukaran ide, logika, dan akal sehat. Tetapi algoritma mengubah itu menjadi pertukaran impuls emosional. Konten tidak diprioritaskan karena akurasi, kedalaman informasi, atau kontribusi intelektualnya melainkan berdasarkan kemampuan memancing respons paling kuat. Algoritma tidak peduli apakah kita menjadi cerdas atau semakin bias. Yang ia pedulikan adalah durasi kita menatap layar.

Di sinilah persoalan menjadi serius. Ketika algoritma menentukan apa yang kita lihat, ia juga menentukan apa yang tidak kita lihat. Kita tidak menyadari bahwa ada jutaan sudut pandang alternatif yang sengaja tidak diperlihatkan demi menjaga keterlibatan kita. 

Algoritma bekerja bukan untuk memperluas perspektif, tetapi untuk mempersempitnya hingga hanya menyisakan apa yang paling menguntungkan platform. Pada titik ini, kebebasan informasi berubah menjadi ilusi. Kita merasa bebas memilih, padahal kita sedang diarahkan.

Contoh paling jelas dapat dilihat pada konten politik. Selama masa kampanye, setiap kelompok merasa calonnya paling banyak didukung di dunia maya. Bukan karena benar, tetapi karena algoritma menyajikan konten konsisten dengan preferensi digital pengguna. 

Pendukung A tidak pernah melihat keberhasilan B, dan pendukung B tidak pernah melihat kelemahan A. Masing-masing hidup dalam realitas paralel yang sama-sama percaya diri. Ketika hasil pemilu tidak sesuai keyakinan digital, kemarahan publik seperti tanpa sebab karena mereka merasa “realitas online” adalah kenyataan sosial.

Hal lain terjadi pada isu sosial. Ketika konten konservatif menyasar pengguna konservatif, dan konten progresif menyasar pengguna progresif, wacana publik tidak lagi bertemu di tengah. Diskusi berubah menjadi bentrokan identitas. 

Kita seolah hidup dalam satu negara yang sama, tetapi informasi yang kita konsumsi membangun “negara” yang berbeda-beda di kepala kita. Pada akhirnya, masyarakat bukan hanya terpolarisasi—tetapi diprogram untuk saling curiga.

Namun menyalahkan algoritma sepenuhnya juga tidak adil. Algoritma pada dasarnya dibangun untuk membaca kebutuhan pengguna. Masalahnya, manusia cenderung menyukai kenyamanan, bukan ketidakpastian. 

Kita lebih memilih konten yang memperkuat keyakinan daripada konten yang menantang pemikiran. Dengan kata lain, algoritma bukan sekadar bentuk kontrol dari luar—ia juga cerminan bias internal manusia sendiri. Mesin hanya memperbesar apa yang sudah ada di dalam diri kita.

Pertanyaannya kemudian: apakah kita masih memiliki kendali atas perspektif kita sendiri? Jawabannya: iya, tetapi dengan syarat kesadaran. Perspektif yang sehat tidak hadir dari satu sumber informasi, terlebih dari mesin yang bekerja di balik layar. 

Perspektif dibangun melalui perjumpaan dengan perbedaan, melalui keberanian mempertanyakan kembali apa yang kita anggap benar. Pengguna perlu mempraktikkan “disiplin digital”: memilih untuk membaca hal yang tidak kita sepakati, mengikuti akun yang berbeda pandangan, dan keluar dari kenyamanan informasi tunggal.

Di sisi lain, negara dan platform digital juga memiliki tanggung jawab. Teknologi tidak boleh menjadi instrumen yang membentuk masyarakat berdasarkan amarah atau polarisasi. 

Regulasi transparansi algoritma, literasi digital publik, dan etika desain teknologi adalah agenda yang harus dibicarakan secara serius. Kita tidak boleh membiarkan demokrasi dikelola oleh dan untuk mesin.

Persoalan algoritma bukan hanya tentang teknologi melainkan tentang kemanusiaan. Algoritma memengaruhi perspektif kita karena kita membiarkannya mengisi ruang berpikir kita. 

Jika perspektif adalah jendela untuk memahami dunia, maka algoritma semestinya bekerja sebagai alat bantu, bukan pengganti pikiran kritis. Kita tidak bisa membiarkan mesin menjadi pengatur apa yang harus kita percayai.

Sebab, ketika algoritma mengarahkan cara kita melihat dunia, yang sebenarnya sedang dipertaruhkan bukan hanya informasi tetapi kebebasan berpikir itu sendiri.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.