https://jatim.times.co.id/
Opini

Indonesia Pintar yang Masih Belajar Berlaku Adil

Sabtu, 27 Desember 2025 - 20:25
Indonesia Pintar yang Masih Belajar Berlaku Adil Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Program Indonesia Pintar (PIP) lahir dari niat baik negara: memastikan tidak ada anak Indonesia yang tertinggal dari bangku sekolah hanya karena kemiskinan. Ia hadir sebagai janji konstitusional, bahwa pendidikan adalah hak, bukan hadiah. Namun di lapangan, niat baik itu kerap tergelincir di jalan berliku bernama birokrasi, data yang timpang, dan realitas sosial yang lebih keras daripada laporan tahunan.

Di desa-desa, makna “Indonesia Pintar” sering kali terasa seperti slogan yang singgah sebentar, lalu pergi tanpa pamit. Sekolah berdiri dengan dinding retak dan atap bocor, guru datang dengan semangat yang lebih besar daripada gaji, sementara anak-anak belajar dengan perut kosong dan sepatu yang sama dari tahun ke tahun. Dalam lanskap seperti ini, PIP bukan sekadar bantuan uang ia adalah harapan, sekaligus cermin kejujuran negara dalam menepati janjinya.

Masalahnya, harapan sering berbenturan dengan sistem. Banyak anak yang seharusnya menerima PIP justru tercecer karena tidak tercatat rapi dalam data. Orang tua mereka tidak paham prosedur, sekolah kewalahan administrasi, dan negara terlalu percaya pada angka-angka yang disusun dari meja, bukan dari tanah tempat anak-anak itu berpijak. Akibatnya, bantuan pendidikan kerap jatuh ke tangan yang tidak paling membutuhkan, sementara mereka yang benar-benar miskin justru belajar dalam sunyi.

Ironi ini menampar logika keadilan sosial. Ketika anak desa harus berjalan berkilo-kilometer menuju sekolah tanpa kepastian bantuan, sementara di tempat lain dana pendidikan mengendap tanpa urgensi, kita patut bertanya: apakah kita sungguh memahami makna “pintar” yang kita cita-citakan? Sebab kecerdasan bangsa tidak lahir dari sistem yang gemar mengagungkan prosedur, tetapi abai pada nurani.

Lebih jauh, PIP sering dipahami secara sempit sekadar transfer dana. Padahal pendidikan bukan hanya soal ongkos seragam dan buku tulis. Pendidikan adalah ekosistem. Ia membutuhkan ruang belajar yang layak, guru yang sejahtera, akses transportasi, dan lingkungan yang mendukung tumbuhnya rasa ingin tahu. Memberi bantuan tanpa membenahi ekosistem ibarat menyiram tanaman di tanah tandus: airnya habis, daunnya tetap layu.

Di banyak desa, anak-anak harus memilih antara sekolah dan membantu orang tua bekerja. Ketika PIP datang terlambat atau jumlahnya tidak memadai, sekolah menjadi pilihan yang paling mudah dikorbankan. 

Negara sering lupa bahwa bagi keluarga miskin, setiap keputusan adalah soal bertahan hidup. Dalam situasi seperti ini, pendidikan gratis bukan hanya kebijakan, melainkan keberpihakan yang menentukan masa depan.

Yang lebih mengkhawatirkan, ketimpangan ini melahirkan ketidakadilan berlapis. Anak desa bukan hanya tertinggal secara fasilitas, tetapi juga secara kepercayaan diri. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa mimpi harus disesuaikan dengan kondisi, bukan dengan potensi. Di sinilah kegagalan paling sunyi dari sistem pendidikan: ketika anak-anak berhenti bercita-cita bukan karena tak mampu, tetapi karena tak diberi kesempatan yang setara.

Indonesia Pintar seharusnya tidak hanya menghitung berapa banyak kartu yang dibagikan, tetapi sejauh apa kehidupan anak-anak berubah. Evaluasi PIP mesti turun ke sawah, ke gang sempit desa, ke rumah-rumah yang listriknya padam sebelum malam terlalu larut. Negara perlu belajar mendengar cerita, bukan sekadar membaca laporan. Sebab kebenaran sering hidup di antara angka-angka yang tak pernah masuk grafik.

Perlu keberanian politik untuk membenahi data, memperkuat peran sekolah dan guru dalam verifikasi penerima, serta memastikan bantuan tepat sasaran. Lebih dari itu, perlu keberanian moral untuk mengakui bahwa pendidikan gratis belum sepenuhnya gratis bagi mereka yang paling miskin. Selama anak masih harus membayar dengan kelelahan, rasa malu, dan keterbatasan akses, maka tugas negara belum selesai.

Pendidikan desa adalah fondasi bangsa. Jika fondasi ini rapuh, bangunan bernama Indonesia Emas hanya akan menjadi brosur indah tanpa isi. PIP harus menjadi jembatan, bukan sekadar plang penunjuk arah. Ia harus mengantarkan anak-anak desa bukan hanya ke sekolah, tetapi ke masa depan yang layak mereka impikan.

Indonesia Pintar bukan soal seberapa canggih programnya, melainkan seberapa adil ia bekerja. Negara boleh bangga dengan kebijakan, tetapi rakyat berhak menagih dampak. Dan selama masih ada anak di desa yang ingin belajar namun terhalang biaya, jarak, dan sistem yang tak ramah, maka Indonesia jujur saja masih harus belajar menjadi benar-benar pintar.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.