https://jatim.times.co.id/
Opini

Krisis Narasi Dibalik Minat Filsafat dan Sains

Selasa, 16 Desember 2025 - 13:27
Krisis Narasi Dibalik Minat Filsafat dan Sains Burhanuddin Elbusiry, Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi, Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Tidak ada krisis minat filsafat dan sains di Indonesia, yang ada adalah krisis narasi tentang siapa kita dan dari mana arkeologi kecerdasan kita bermula. Indonesia saat ini, seolah berada di persimpangan: meninggalkan yang lama sebelum menguasai yang baru. 

Kita ingin berderap menuju kemajuan tetapi tercerabut dari akar kedirian kita sendiri; kita ingin maju tetapi ragu pada kemampuan intelektual kita sendiri. Dalam sistuasi seperti ini, filsafat dan sains tampil seolah hal yang jauh dari tanah kita sepenuhnya; jauh dari keseharian kita. 

Akibatnya, ia nampak sebagai sesuatu yang asing, dingin, dan terputus dari identitas. Padahal, jejak awal dari cara berpikir ilmiah justru terpendam di tanah yang kita pijak. Mendetak-jantungi peradaban kita sendiri bahkan ia adalah DNA kita sebagai bangsa. 

Pasalnya, jagad narasi yang selama ini kita warisi dan tanpa sadar kita amini adalah narasi kolonial: bahwa pusat pengetahuan sepenuhnya berada di Barat, sementara Indonesia hanyalah konsumen, peniru, atau penerima pasif, kendati saat ini kita memang harus mengejar ketertinggalan.

Narasi ini, sebetulnya, tidak hanya keliru secara historis, tetapi juga berbahaya secara psikologis. Lamat-lamat. ia akan menanamkan mentalitas inferior, mencetak generasi muda yang merasa bahwa menjadi ilmuwan, filsuf, atau inovator adalah sesuatu yang bukan  diri kita. 

Dalam konteks inilah penemuan di Sulawesi dan berbagai penemuan lain di Indonesia hadir sebagai matrix pengikat antara masa lalu dan masa depan, serta menjadi narasi tanding yang sangat gargantuan nan gigantis, saya kira. 

Urgensi penemuan ini bagi bangsa terletak pada kemampuannya membangun dan menguatkan kepercayaan diri intelektual, bahwa bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kaya sumber daya, tetapi bangsa yang percaya pada kapasitas berpikirnya. 

Dan dengan menyadari bahwa para pendahulu kita adalah penggagas kecerdasan simbolik, filosofis dan saintifik sejak ribuan tahun lalu, generasi hari ini dapat melihat filsafat dan sains bukan sebagai beban kurikulum, melainkan sebagai kelanjutan dari naluri manusiawi kita sendiri. 

Dan pada episentrum inilah peran institusi pendidikan menjadi sangat krusial nan utama. Olehnya, pelbagai penemuan ini seharusnya mendorong perubahan pendekatan pada pembelajaran: dari sekadar hafalan menuju penalaran, dari teori belaka melangkah ke eksperimen lapangan, dari sebatas definisi mengarah ke fenomena serta penyelidikan. 

Selain itu, peserta didik perlu diajak mengamati alam secara langsung, melakukan riset lapangan, dan membaca diri dan jejak lingkungan sekitar untuk memupuk kepekaan bahwa mereka bagian dari alam. 

Artinya, proses belajar-mengajar tidak boleh berhenti di ruang kelas dan layar gawai, tetapi mesti merambah pada realitas sebagai laboratorium risetnya.

Lebih jauh, penemuan ini menguatkan argumen bahwa seni dan imajinasi tidak bersebrangan dengan filsafat dan sains melainkan salah satu pintu masuknya.

Karena itu, penggalakan investasi dan pengarustamaan bidang STEM Science, Technology, Engineering, Arts, Mathematics yang masih kurang dilirik, bukanlah hal yang asing bagi kita, melainkan sesuatu yang selaras dengan akar kebudayaan kita sendiri. Karena imajinasi, seperti yang ditunjukkan Einstein, seringkali mendahului rumus.

Penemuan ini juga mestinya menjadi alasan penguatan sejarah pengetahuan kita dalam kurikulum. Sejarah pengetahuan Indonesia tidak boleh lagi absen atau sekadar ditempatkan sebagai catatan kaki. 

Sekarang, ia harus diajarkan sebagai bagian dari sejarah manusia, agar generasi bangsa memahami bahwa mereka berasal dari tradisi berpikir yang panjang nan gemilang. Membincang penemuan dalam pengertian ini, jangan dilihat sebagai upaya romantisisme masa lalu, melainkan fondasi masa depan. 

Tidak kalah pentingnya, penemuan ini memberi kita kesempatan untuk keluar dari kebuntuan kebangsaan yang terlalu sering terjebak pada perdebatan jangka pendek dan isu-isu  memuakkan dan menyebalkan lainnya. Ia menawarkan horizon intelektual jangka panjang yang lebih visioner: pembangunan manusia Indonesia yang percaya diri secara intelektual, kritis secara ilmiah saintifik, dan berakar secara kultural. 

Saya kira dengan menjadikan penemuan ini sebagai sumber inspirasi pendidikan, riset, dan kebudayaan, kita sedang merajut kembali benang lama yang terputus antara ingatan kolektif dan cita-cita masa lalu untuk berderap menyongsong kemajuan. 

Karena itu, pelestarian situs-situs apa saja di Indonesia bukan sekadar arkeologi, melainkan investasi peradaban. Ia adalah upaya menjaga ingatan intelektual bangsa agar tidak terputus oleh waktu dan kelalaian kita sendiri. 

Lantaran sebuah bangsa yang mengabaikan situs-situs pengetahuan pendahulunya, sesungguhnya, sedang menghapus jejak cara berpikirnya sendiri sebagaimana yang belakangan disesali oleh Singapura padahal di sanalah kita dapat membaca bagaimana Nusantara belajar mengamati alam, menafsirkan realitas, dan merekam pengetahuan untuk diwariskan lintas generasi. 

Selain itu, merancang pembangunan saintifik dan infrastruktur kebudayaan tanpa mengenali akar intelektualnya sendiri, nampaknya, adalah proyek yang rapuh serta keropos lantaran ia akan kehilangan fondasi kultural di satu sisi dan psikologisnya di sisi lain. 

Apa sebab? inovasi yang tidak berakar kuat akan rentan menjadi imitasi dan tiruan; dan kemajuan yang tidak disertai kesadaran sejarah akan mudah berubah menjadi kemelekatan dan ketergantungan. 

Artinya, tanpa narasi bahwa kita pernah dan mampu berpikir secara ilmiah sejak dulu, filsafat dan sains akan terus dianggap sebagai sesuatu yang asing, elitis, dan jauh dari kehidupan kita sebagai bangsa.

Pada ranah inilah, pentingnya menyiar-wartakan kepada generasi muda bahwa kecerdasan, kreativitas bukanlah barang impor, melainkan bagian dari perjalanan panjang manusia di Negeri ini. Dan ketika generasi bangsa ini merenung-insyafi bahwa leluhur kita telah memiliki kecakapan berpikir simbolik, melakukan observasi dan menyusun representasi pengetahuan, kita tidak lagi belajar filsafat dan sains dengan perasaan rendah diri, melainkan keberlanjutan. 

Olehnya, sebagai penegasan, investasi dan pengarustamaan STEAM di mana pun itu nantinya, tidak dianggap sebagai upaya untuk menjadi seperti orang lain, tetapi melanjutkan sesuatu yang telah digagas oleh para leluhur dan pendahulu kita. 

Dengan cara inilah pelestarian situs purba menjadi strategi pendidikan dan pembangunan infrastruktur kebudayaan. Situs-situs intelektual masa lalu bukan lagi hanya museum beku, melainkan ruang belajar terbuka yang, sekali lagi, menjadi matrix pengikat untuk menanamkan keberanian berpikir, imajinasi ilmiah, dan rasa memiliki pada pengetahuan bagi bangsa ini. 

Jadi, jika kita ingin generasi ini percaya bahwa mereka mampu menjadi ilmuwan, filsuf, pemikir, saintis dan inovator dunia, bukan sekadar pengekor sejarah, maka kita harus menyadari bahwa kecerdasan dan pengetahuan itu adalah DNA kita sebagai bangsa bukan hal asing. 

Menggeluti filsafat dan sains bukanlah meniru orang lain, melainkan melanjutkan apa yang telah digagas oleh leluhur kita sejak ribuan tahun lamanya.  

***

*) Oleh : Burhanuddin Elbusiry, Penerjemah dan Dosen Filsafat Timur STF Al-Farabi, Malang. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.