TIMES JATIM, MALANG – Ada sesuatu yang berubah dalam wajah pendidikan di kota. Jika dulu peran pendidikan hanya lekat pada sekolah dan keluarga, kini satu aktor baru menempati ruang strategis dalam perjalanan belajar anak: guru les. Di gang-gang pemukiman, di ruang tamu rumah susun, di ruko pinggir kota, hingga di aplikasi belajar daring guru les hadir sebagai perpanjangan tangan proses pendidikan yang sering gagal dipenuhi oleh lembaga formal.
Mereka adalah figur penting, namun tidak selalu terlihat. Mereka mengisi kekosongan yang lahir dari sistem pendidikan yang semakin penuh tuntutan, sementara kapasitas sekolah tetap terbatas.
Fenomena meningkatnya guru les bukan sekadar tren kelas menengah yang ingin anaknya “lebih unggul”. Ia adalah cerminan kegelisahan kolektif. Para orang tua merasa takut jika anaknya gagal dalam ujian sekolah, tak mampu masuk kampus favorit, kalah bersaing di dunia kerja, atau tak cukup “berprestasi” untuk memenuhi standar kesuksesan yang telah dibangun masyarakat kota. Guru les menjadi pelampung di tengah lautan kompetisi akademik yang menyesakkan. Les privat, bimbel, hingga kursus daring kini bukan pelengkap, melainkan pelindung.
Namun, ada paradoks yang jarang dibahas. Keberadaan guru les di kota merupakan bukti sekaligus kritik terhadap pendidikan formal. Jika sekolah telah menjalankan fungsi secara optimal, mengapa siswa masih harus belajar dua hingga tiga kali lebih lama di tempat lain?
Jika kurikulum telah memadai, mengapa anak masih butuh penjelasan ulang setiap malam? Gurulah yang setiap hari menyaksikan sisi yang tidak terlihat oleh sekolah: anak yang tertekan karena nilai, pelajar yang memahami rumus tetapi tidak memahami makna, siswa yang belajar bukan karena ingin tahu, tetapi karena takut tertinggal.
Lebih jauh lagi, kehadiran guru les mempertegas betapa pendidikan kini menjadi arena kompetitif, bukan ruang pembebasan. Pelajaran diperlakukan seperti komoditas yang diukur berdasarkan skor, bukan pemahaman.
Anak-anak dipaksa menabung jam belajar layaknya pekerja menabung jam lembur demi target kantor. Maka guru les, secara tidak langsung, membantu mempertahankan sistem yang membuat pendidikan semakin berjarak dari esensi mencerdaskan kehidupan bangsa.
Di sisi guru les sendiri, kisahnya tak kalah ironis. Banyak yang mengajar bukan hanya karena cinta ilmu, tetapi karena profesi ini menjadi penopang ekonomi yang lebih stabil dibanding mengajar sekolah formal. Tidak sedikit tenaga pengajar berpendidikan tinggi yang menerima honor les jauh lebih layak dibanding gaji guru tetap.
Bagi sebagian guru honorer, pekerjaan les adalah penyelamat; bagi sebagian mahasiswa, ini cara bertahan hidup; dan bagi sebagian lulusan baru, les menjadi pintu masuk ke dunia kerja. Kota menciptakan peluang, namun sekaligus menunjukkan ironi: pendidikan informal dapat memberi penghargaan ekonomi yang tidak mampu diberikan negara kepada pendidiknya sendiri.
Fenomena digital juga mengubah lanskap les privat di kota. Guru les tak lagi hanya datang dari lingkungan sekitar. Mereka hadir melalui aplikasi, platform belajar, dan konten edukasi.
Jadwal les bisa disusun seperti pemesanan ojek, guru digerakkan sesuai permintaan pasar, dan rating pengguna menentukan masa depan karier mereka. Di satu sisi, ini memberi kemudahan dan standar profesional baru. Di sisi lain, guru les dikomodifikasi menjadi layanan instan alih-alih agen transformasi intelektual.
Tetapi di balik seluruh dinamika itu, tidak bisa dipungkiri: guru les hadir karena dibutuhkan. Mereka bekerja dalam ruang-ruang yang jarang dihormati: kecemasan orang tua, ambisi keluarga, tekanan akademik, dan ketimpangan kualitas pendidikan.
Di ruang sempit itulah mereka memberi kepercayaan diri kepada anak yang merasa tertinggal. Mereka mendengar keluhan, mengajar dengan kesabaran, memperbaiki pola pikir, dan menemani malam-malam ujian yang penuh tekanan. Sering kali, di situlah hubungan manusiawi pendidikan muncul lebih personal daripada hubungan guru-siswa di ruang kelas.
Namun ketergantungan masyarakat kota terhadap guru les menyimpan bahaya jangka panjang. Jika proses belajar terus dipindahkan ke ruang privat, sekolah akan semakin dipersepsikan sebagai tempat administrasi akademik, bukan ruang intelektual.
Anak-anak akan tumbuh dengan pola pikir bahwa belajar adalah kewajiban komersial, bukan aktivitas mental yang menyenangkan. Lingkungan pendidikan menjadi tempat mengejar standar, bukan memperluas wawasan. Guru les akan menjadi simbol sistem pendidikan yang tidak pernah tuntas.
Maka diskusinya bukan sekadar “perlukah anak mengikuti les?”, tetapi “mengapa anak merasa harus mengikuti les?”. Kegagalan menjawab pertanyaan kedua berarti kita menerima pendidikan yang bergerak makin jauh dari makna.
Guru les tidak boleh menjadi tumpuan utama pembelajaran hanya karena sistem sekolah tidak mampu mengakomodasi keragaman kemampuan siswa. Sekolah harus menjadi fondasi, sementara guru les seharusnya berperan sebagai penguat, bukan penyelamat.
Jejak guru les di kota adalah jejak era pendidikan yang dihimpit kompetisi. Ia menyimpan problem, tetapi sekaligus menjadi solusi. Mereka bukan penghambat, bukan parasit pendidikan, dan bukan sekadar “kelas tambahan”. Mereka adalah saksi dari ketimpangan pendidikan, dan aktor yang bekerja di garis depan memperbaiki retaknya. Mengakui perannya berarti mengakui tantangan pendidikan kita hari ini.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar guru les, kita membutuhkan sistem pendidikan yang tidak memaksa anak untuk mencarinya. Sampai saat itu tiba, guru les akan terus menemani kota: diam, bekerja, dan tetap menjadi bagian penting dari perjalanan belajar generasi muda.
***
*) Oleh : Abdul Aziz, S.Pd., Praktisi Pendidikan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |