TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Bulan Ramadan selalu menjadi momen istimewa bagi umat Muslim di Indonesia, bukan hanya sebagai waktu untuk meningkatkan ibadah, tetapi juga sebagai periode yang mendorong lonjakan konsumsi masyarakat.
Tradisi berbuka puasa bersama, belanja kebutuhan lebaran, hingga meningkatnya permintaan di sektor ritel dan kuliner biasanya menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek.
Namun, Ramadan 2025 hadir di tengah situasi ekonomi yang penuh tantangan. Daya beli masyarakat mengalami tekanan, harga kebutuhan pokok tetap tinggi, dan berbagai faktor ekonomi global ikut memengaruhi kondisi domestik.
Pertanyaannya, apakah Ramadan kali ini masih bisa menjadi pendorong ekonomi, atau justru mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat?
Kondisi Ekonomi Indonesia: Antara Pertumbuhan dan Keterbatasan
Berdasarkan data terbaru, perekonomian Indonesia masih menunjukkan pertumbuhan yang positif, dengan proyeksi 4,8% hingga 5% pada 2025. Angka ini mencerminkan ketahanan ekonomi Indonesia meskipun harus menghadapi berbagai tantangan global dan domestik.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang baik tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Indikator lain menunjukkan bahwa daya beli masyarakat mengalami tekanan.
Deflasi sebesar 0,76% pada Januari 2025 menjadi sinyal melemahnya permintaan domestik, yang bisa berakibat pada perlambatan sektor ritel dan konsumsi Ramadan.
Selain itu, jumlah masyarakat kelas menengah yang biasanya menjadi motor penggerak konsumsi justru mengalami penurunan sekitar 9-10 juta orang. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak orang yang mengalami penurunan pendapatan dan memilih untuk lebih selektif dalam membelanjakan uangnya.
Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat
Di tengah ketidakpastian ekonomi, pola konsumsi masyarakat selama Ramadan mengalami perubahan signifikan.
Beberapa tren yang mulai terlihat di antaranya: Pertama, Fokus pada Kebutuhan Pokok. Dengan harga pangan yang tetap tinggi, masyarakat lebih mengutamakan belanja bahan makanan dibanding produk sekunder seperti pakaian atau barang elektronik.
Kedua, Berburu Diskon dan Promosi. Konsumen semakin cermat dalam memilih tempat belanja dan lebih banyak mencari promo atau diskon untuk menghemat pengeluaran.
Ketiga, Belanja Online Meningkat, tapi Lebih Selektif. E-commerce tetap menjadi pilihan utama, namun pembelian lebih didasarkan pada kebutuhan dibanding impulsif seperti tahun-tahun sebelumnya.
Keempat, Pengurangan Pengeluaran untuk Kegiatan Sosial. Jika sebelumnya Ramadan identik dengan acara buka bersama di restoran, tahun ini banyak yang memilih berbuka di rumah untuk mengurangi pengeluaran.
Bisnis dan Ekonomi Ramadan: Tantangan dan Peluang
Bagi pelaku usaha, kondisi ekonomi saat ini menuntut strategi yang lebih fleksibel dan adaptif. Sektor makanan, minuman, dan ritel kebutuhan pokok masih memiliki peluang bertahan, tetapi mereka yang bergerak di bidang non-esensial seperti fashion atau elektronik harus bersiap menghadapi penurunan permintaan.
Namun, Ramadan tetap menjadi momen yang bisa dimanfaatkan dengan strategi yang tepat, seperti:
1. Menawarkan harga yang lebih terjangkau dan promo menarik.
2. Memperkuat pemasaran digital dan penjualan online.
3. Menyesuaikan stok dengan tren permintaan yang berubah.
4. Memanfaatkan momentum THR dan insentif pemerintah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Peran Pemerintah dalam Menjaga Stabilitas Ekonomi
Di tengah tantangan ini, pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan daya beli masyarakat. Beberapa kebijakan yang telah diambil antara lain:
Pertama, Program bantuan sosial dan subsidi pangan, termasuk anggaran 71 triliun rupiah untuk penyediaan makanan gratis bagi anak-anak sekolah
Kedua, Stabilisasi harga bahan pokok, dengan memastikan pasokan yang cukup menjelang Ramadan dan Idulfitri.
Ketiga, Kebijakan moneter yang hati-hati, dengan mempertahankan suku bunga acuan di 5,75% untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar rupiah.
Ramadan di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
Ramadan 2025 menghadirkan tantangan baru bagi ekonomi Indonesia. Meskipun masih ada harapan dari perputaran ekonomi yang meningkat di sektor tertentu, daya beli masyarakat yang melemah menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan.
Bagi masyarakat, Ramadan tahun ini mungkin harus dijalani dengan lebih bijak dalam mengatur keuangan. Bagi pelaku usaha, adaptasi menjadi kunci untuk bertahan.
Sementara bagi pemerintah, kebijakan ekonomi yang tepat sangat diperlukan untuk memastikan bahwa momentum Ramadan tetap bisa memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Di tengah segala tantangan ini, semangat berbagi dan kebersamaan selama Ramadan harus tetap menjadi nilai utama yang dijaga. Karena lebih dari sekadar soal konsumsi, Ramadan adalah tentang kepedulian, solidaritas, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
***
*) Oleh : Ali Imron Maulana, Pegiat sosial media.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |