TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Kuliah Kerja Nyata (KKN) sejak awal dirancang sebagai jembatan moral antara kampus dan realitas sosial. Ia dimaksudkan sebagai ruang pengabdian, tempat mahasiswa belajar merendahkan ego intelektual dan menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat.
Namun dalam praktiknya hari ini, KKN kerap menjelma menjadi ritual akademik yang kehilangan makna. Datang ke desa, foto bersama warga, menjalankan program seremonial, lalu pulang membawa laporan rapi tanpa meninggalkan perubahan berarti.
KKN seolah berubah menjadi kewajiban administratif, bukan pengabdian substantif. Mahasiswa hadir bukan sebagai mitra masyarakat, melainkan sebagai “tamu proyek” yang dibatasi waktu, target, dan lembar penilaian.
Desa menjadi panggung sementara, masyarakat menjadi latar, dan program kerja sekadar properti untuk memenuhi syarat kelulusan. Setelah KKN usai, yang tertinggal sering kali hanya spanduk lusuh dan kenangan singkat—tanpa keberlanjutan, tanpa dampak.
Masalahnya bukan semata pada mahasiswa. Mereka adalah produk dari sistem pendidikan tinggi yang sejak awal menempatkan KKN sebagai formalitas kurikuler, bukan proses pembelajaran sosial yang serius.
Kampus lebih sibuk mengatur jadwal, format laporan, dan indikator penilaian, ketimbang memastikan relevansi dan keberlanjutan program. Akibatnya, KKN direduksi menjadi agenda rutin tahunan aman secara birokratis, miskin secara transformatif.
Dalam banyak kasus, mahasiswa datang ke desa dengan kacamata kota. Mereka membawa proposal yang disusun di ruang kelas, bukan dari hasil pembacaan kebutuhan riil masyarakat.
Program kerja disiapkan sebelum memahami konteks sosial, budaya, dan ekonomi setempat. Ketika realitas tidak sesuai rencana, program dipaksakan agar tetap “jalan”. Masyarakat pun sekadar mengikuti, bukan karena butuh, tetapi karena menghormati tamu.
Relasi seperti ini menciptakan jarak. Mahasiswa berdiri sebagai subjek yang “mengabdi”, sementara warga ditempatkan sebagai objek yang “dibantu”. Padahal pengabdian sejati menuntut kesetaraan belajar bersama, merumuskan bersama, dan bergerak bersama. Tanpa itu, KKN hanya akan melahirkan kegiatan-kegiatan simbolik: pelatihan sekali jalan, penyuluhan tanpa tindak lanjut, dan program fisik yang berhenti ketika mahasiswa pulang.
Lebih ironis lagi, budaya dokumentasi sering mengalahkan esensi. Kamera lebih sering diaktifkan daripada telinga. Yang dikejar bukan perubahan, melainkan bukti.
Foto bersama warga menjadi syarat eksistensi program, bukan hasil dari proses kebersamaan. Laporan KKN pun ditulis rapi dengan bahasa akademik, tetapi kerap kosong dari refleksi kritis seolah yang penting adalah selesai, bukan bermakna.
KKN juga sering gagal menjawab persoalan struktural desa. Mahasiswa dipaksa “berbuat sesuatu” dalam waktu singkat, padahal banyak masalah desa membutuhkan pendampingan jangka panjang dan konsistensi kebijakan.
Ketika kampus tidak membangun kesinambungan antara satu kelompok KKN dengan kelompok berikutnya, program pun terputus-putus. Desa menjadi laboratorium sementara yang terus diulang dari nol.
Di titik ini, KKN kehilangan roh pengabdian dan menjelma menjadi wisata sosial berkedok akademik. Mahasiswa datang dengan rasa ingin tahu, sedikit empati, dan banyak keterbatasan. Tidak salah jika mereka belajar. Yang keliru adalah ketika pembelajaran itu hanya menguntungkan mahasiswa, sementara masyarakat tidak memperoleh nilai tambah yang nyata.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, KKN justru berisiko melahirkan generasi akademik yang terbiasa bersentuhan dengan rakyat secara dangkal. Mereka belajar “turun ke masyarakat”, tetapi tidak belajar mendengar. Belajar “mengabdi”, tetapi tidak belajar bertanggung jawab. Padahal, KKN seharusnya menjadi latihan awal untuk membangun sensitivitas sosial dan etika publik.
Sudah saatnya KKN dikaji ulang secara serius. Kampus perlu berhenti memosisikan desa sebagai objek praktikum. KKN harus dirancang berbasis kebutuhan lokal, berkelanjutan, dan terintegrasi dengan riset serta pengabdian dosen. Mahasiswa harus dipersiapkan dengan bekal pemahaman sosial, bukan sekadar administrasi program. Evaluasi KKN pun perlu menilai dampak, bukan hanya kelengkapan laporan.
Lebih dari itu, KKN harus mengajarkan satu hal mendasar: kerendahan hati. Bahwa masyarakat bukan “yang tidak tahu”, melainkan pemilik pengetahuan lokal yang sering diabaikan. Bahwa perubahan tidak selalu lahir dari program besar, tetapi dari kehadiran yang konsisten dan relasi yang setara.
Jika KKN tetap dipertahankan hanya sebagai ritual akademik, maka ia tak lebih dari formalitas yang melelahkan bagi mahasiswa dan masyarakat. Namun jika dikembalikan pada ruh pengabdian yang sejati, KKN bisa menjadi ruang belajar paling jujur tentang Indonesia: tentang ketimpangan, tentang harapan, dan tentang tanggung jawab intelektual yang tidak berhenti di ruang kelas.
Karena sejatinya, pengabdian bukan tentang datang dan selesai, tetapi tentang tinggal dalam ingatan masyarakat sebagai bagian dari perubahan sekecil apa pun itu.
***
*) Oleh : Yusuf Ahsan, S.H., Lulusan Ilmu Hukum dan Ketua Angkatan Muda Ka'bah Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |