TIMES JATIM, SURABAYA – Kemiskinan di kota hari ini bukanlah cerita lama yang berulang, melainkan bab baru yang lahir dari kegagalan membaca zaman. Kita terlalu lama mengira bahwa kota adalah mesin kemajuan tempat kerja tersedia, akses terbuka, dan kesejahteraan bisa diraih asal mau berusaha.
Di balik jalan beraspal dan gedung menjulang, tumbuh kelompok masyarakat kota yang semakin terpinggirkan: miskin secara ekonomi, miskin secara politik, dan miskin secara kesempatan.
Kemiskinan kota tidak lagi berwajah kumuh semata. Ia hadir dalam rupa buruh informal tanpa jaminan, pekerja kontrak yang hidup dari bulan ke bulan, keluarga yang mampu menyewa rumah tetapi tak sanggup membeli masa depan.
Mereka tidak tercatat sebagai penganggur, tetapi juga tak pernah benar-benar aman. Hidup mereka berjalan di atas tali rapuh, di mana satu krisis kecil cukup untuk menjatuhkan segalanya.
Masalahnya bukan sekadar naik-turunnya angka kemiskinan, melainkan arah kebijakan yang kehilangan kepekaan sosial. Kota dibangun dengan logika pertumbuhan, bukan keadilan. Yang dikejar adalah investasi, bukan perlindungan. Yang dirayakan adalah statistik makro, bukan denyut kehidupan warga. Akibatnya, kemiskinan kota menjadi persoalan struktural yang terus direproduksi oleh sistem yang sama.
Ironisnya, rakyat kota kerap disalahkan atas kemiskinannya sendiri. Kurang kompeten, kurang adaptif, kurang kreatif itulah narasi yang sering dilempar. Padahal, persoalan utamanya terletak pada ketimpangan akses.
Pendidikan mahal, kesehatan berlapis birokrasi, perumahan berubah menjadi komoditas, dan ruang hidup semakin menyempit. Kota menjadi arena kompetisi bebas tanpa pagar pengaman sosial yang memadai.
Lebih parah lagi, rakyat miskin kota nyaris tak memiliki suara. Mereka hadir sebagai objek kebijakan, bukan subjek pengambil keputusan. Partisipasi publik sering kali berhenti pada seremoni dan formalitas. Musyawarah menjadi prosedur, bukan proses. Aspirasi diserap, tetapi jarang diterjemahkan. Demokrasi berjalan, tetapi terasa hampa.
Di ruang publik digital, situasinya tak jauh berbeda. Alih-alih menjadi alat pembebasan, teknologi justru kerap memperdalam kebingungan. Informasi berseliweran tanpa penjernihan, opini dikemas menjadi hiburan, dan kritik dikaburkan oleh kebisingan.
Rakyat disuguhi narasi optimisme yang dangkal, sementara realitas hidup mereka justru semakin menekan. Di sinilah kemiskinan akal tumbuh ketika nalar publik dikalahkan oleh sensasi dan propaganda.
Kondisi ini diperparah oleh merosotnya fungsi kontrol terhadap kekuasaan. Lembaga yang seharusnya menjadi perpanjangan suara rakyat justru sibuk mengamankan kepentingan politiknya sendiri. Pengawasan melemah, kritik dilunakkan, dan keberpihakan kabur. Rakyat kota kehilangan saluran untuk memperjuangkan haknya secara bermakna.
Dalam situasi seperti ini, bantuan sosial sering dijadikan jawaban instan. Ia hadir sebagai penenang sementara, bukan solusi jangka panjang. Bantuan memang dibutuhkan, tetapi ketika ia digunakan untuk menutupi kegagalan kebijakan struktural, maka yang terjadi adalah ilusi kesejahteraan. Rakyat diberi cukup untuk bertahan, tetapi tidak cukup untuk berdaya. Mereka dijaga agar tetap hidup, bukan agar bisa bangkit.
Inilah yang membuat kemiskinan kota semakin berbahaya: ia tidak selalu terlihat, tetapi sangat mengikat. Rakyat tetap bekerja, tetap membayar, tetap patuh namun perlahan kehilangan harapan. Ketika jarak antara pemerintah dan rakyat melebar, kepercayaan pun menguap. Kebijakan kehilangan legitimasi, meskipun sah secara hukum.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kota akan menjadi ruang yang eksklusif bagi segelintir orang. Mereka yang kuat modal akan terus melaju, sementara yang lemah dipaksa beradaptasi tanpa perlindungan. Ketimpangan bukan lagi risiko, melainkan keniscayaan yang dirawat.
Karena itu, membicarakan kemiskinan kota seharusnya tidak berhenti pada angka dan program. Ia harus dibaca sebagai cermin relasi kuasa yang timpang. Pertanyaannya bukan sekadar berapa orang miskin, tetapi mengapa sistem terus memproduksi kemiskinan baru. Bukan sekadar bagaimana membantu, tetapi siapa yang selama ini diuntungkan.
Rakyat miskin kota tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan keberpihakan nyata. Mereka membutuhkan kebijakan yang mendengar, melindungi, dan memberdayakan.
Kota seharusnya menjadi ruang hidup bersama, bukan arena seleksi alam sosial. Jika tidak, kemiskinan akan terus mengalir dari hulu kebijakan yang salah, mencemari hilir kehidupan rakyat dan kita akan terus menyebutnya sebagai takdir, padahal ia adalah pilihan.
***
*) Oleh : Suharianto, Staf Pengajar Universitas Dr. Soetomo dan Pendiri Politik Bebas Aktif.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |