https://jatim.times.co.id/
Opini

Sembuhkan Inner Child untuk Kesejahteraan Emosional Guru

Rabu, 12 Maret 2025 - 14:37
Sembuhkan Inner Child untuk Kesejahteraan Emosional Guru Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur. Instruktur Nasional Literasi-Baca Tulis.

TIMES JATIM, BONDOWOSO – Tugas utama seorang guru bukan semata mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan kesejahteraan emosional siswa. Namun, terkadang para guru tidak menyadari bahwa pengalaman masa kecil mereka dapat mempengaruhi pola mengajar dan interaksi dengan siswa.

Oleh karena itu, sebelum mendidik murid, penting bagi guru untuk terlebih dahulu menyembuhkan inner child mereka. Inner child yang sehat akan berdampak langsung pada kompetensi guru dalam mengajar dan membimbing siswa.

Inner child adalah bagian dari diri seseorang yang terbentuk dari pengalaman masa kecil, baik positif maupun negatif. Bagi pendidik, inner child yang belum terselesaikan dapat berpengaruh pada cara mereka berinteraksi dengan siswa.

Seorang guru yang di masa kecilnya sering mengalami kritik berlebihan mungkin tanpa sadar menjadi terlalu keras atau perfeksionis dalam menilai siswanya. Sebaliknya, mereka yang mengalami pengabaian emosional bisa jadi kurang mampu membangun kedekatan dengan muridnya.

Kompetensi guru tidak hanya mencakup aspek akademik, tetapi juga mencakup kompetensi sosial dan emosional. Guru yang mampu mengelola emosinya dengan baik akan lebih efektif dalam menciptakan lingkungan belajar yang suportif.

Sebaliknya, guru yang masih membawa luka emosional dari masa kecilnya mungkin mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat dengan siswa.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa kesejahteraan emosional guru berhubungan langsung dengan motivasi dan prestasi siswa. Guru yang tidak menyelesaikan konflik emosional dalam dirinya cenderung menghadapi tantangan dalam mengelola kelas dan memberikan umpan balik yang konstruktif.

Kurangnya empati dalam mengajar sering kali terjadi ketika guru mengalami lingkungan yang kurang suportif di masa kecil. Hal ini dapat membuat mereka cenderung lebih kaku dalam menghadapi siswa yang mengalami kesulitan belajar atau memiliki masalah personal.

Mekanisme pertahanan dalam interaksi juga dapat muncul. Guru yang memiliki luka emosional yang belum terselesaikan mungkin memiliki mekanisme pertahanan seperti menjadi terlalu otoriter, mengabaikan perasaan siswa, atau bahkan menghindari interaksi yang mendalam dengan murid. Sikap ini dapat menciptakan jarak antara guru dan siswa, yang pada akhirnya menghambat proses pembelajaran.

Polarisasi antara hukuman dan penghargaan sering ditemukan dalam pola pengasuhan di sekolah. Beberapa guru mungkin menerapkan pola asuh yang mereka alami saat kecil, seperti sering membandingkan siswa atau hanya memberikan apresiasi kepada mereka yang berprestasi tinggi. Padahal, setiap siswa memiliki keunikan masing-masing yang perlu dihargai.

Agar guru dapat mengajar secara efektif dan membangun hubungan yang sehat dengan siswa, penting untuk melakukan refleksi diri dan menyembuhkan inner child mereka. Mengenali pola yang terbentuk dari masa kecil menjadi langkah awal yang penting.

Guru perlu bertanya pada diri sendiri: Apakah ada pola reaksi tertentu terhadap siswa yang berasal dari pengalaman masa kecil? Apakah ada kebiasaan dalam mengajar yang mencerminkan bagaimana mereka dulu diperlakukan oleh orang tua atau guru mereka?

Praktik self-healing dan mindfulness dapat menjadi metode yang membantu. Beberapa teknik seperti journaling, meditasi, atau terapi seni dapat membantu guru memahami emosi mereka lebih dalam dan menyembuhkan luka lama yang mungkin masih terbawa dalam kehidupan profesional mereka.

Mengubah pola pengasuhan di kelas juga merupakan langkah penting. Jika seorang guru menyadari bahwa mereka sering mengkritik siswa secara berlebihan karena pola masa kecil mereka, mereka bisa mulai menggantinya dengan pendekatan yang lebih positif, seperti memberikan umpan balik konstruktif dan menanamkan kepercayaan diri kepada siswa.

Membangun lingkungan belajar yang aman dan suportif memungkinkan guru untuk lebih mampu menciptakan safe space di dalam kelas, di mana siswa merasa dihargai dan didukung dalam proses pembelajarannya.

Mengikuti pelatihan pengelolaan emosi dan empati dapat membantu guru meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental dan kesejahteraan emosional mereka. Dengan memahami diri sendiri lebih baik, guru dapat lebih optimal dalam mendidik dan membimbing siswa.

Pendidik memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan kesejahteraan emosional siswa. Namun, untuk bisa memberikan pendidikan yang terbaik, mereka harus terlebih dahulu memahami dan menyembuhkan inner child mereka.

Guru yang memiliki kesadaran emosional yang tinggi akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang positif dan suportif bagi anak didiknya.

Menyembuhkan inner child bukan hanya tentang perbaikan diri, tetapi juga tentang meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih manusiawi dan berorientasi pada kesejahteraan siswa.

Dengan menyadari pentingnya aspek ini, pendidikan dapat berkembang lebih baik, tidak hanya secara akademik tetapi juga dalam membentuk individu yang sehat secara emosional dan sosial. Semoga guru juga sejahtera secara finansial.

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur. Instruktur Nasional Literasi-Baca Tulis.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.