TIMES JATIM, SURABAYA – Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan perkara Pilgub Jatim nomor 265/PHPU.GUB-XXIII/2025, di Jakarta, Jumat (17/1/2025). Sidang kali ini, hakim MK memberi kesempatan pihak termohon yakni KPU Jatim dan pihak terkait (Tim Hukum Khofifah-Emil) untuk menyampaikan eksepsi.
Koordinator Hukum TPP Khofifah-Emil, Edward Dewaruci menyampaikan semua dalil gugatan yang disampaikan Risma-Gus Hans tidak punya dasar yang jelas dan tidak memiliki legal standing.
"Tidak ada dalil yang jelas dan tidak memiliki legal standing. Maka kami mohon MK menolak semua gugatan dari pemohon (Risma-Gus Hans)," kata Edward dalam keterangannya, Jumat (17/1/2025).
Edward membeberkan dalam aturan sengketa Pilkada, batas paslon untuk menggugat ialah dengan syarat selisih maksimal 0,5%.Sementara, total suara sah yang ditetapkan termohon (KPU Jatim) sebanyak 20.732.592 suara, maka pengajuan permohonan perselisihan hasil penghitungan suara hanya dapat dilakukan jika terdapat selisih suara paling banyak 0,5% x 20.732.592 suara sah = 103.663 suara.
"Namun faktanya selisih suara Pemohon dengan Pihak Terkait sebesar 5.449.070 suara. Sehingga dengan selisih suara yang sangat jauh tersebut, sudah dapat dibuktikan pemohon (Risma-Gus Hans) tidak memiliki legal standing," jelas Edward.
Edward juga melihat narasi-narasi pelanggaran terstruktur, sistematis, masif (TSM) yang digaungkan Risma-Gus Hans tidak tepat sasaran.
"TSM dapat dikualifikasikan sebagai sengketa pelanggaran administratif yang merupakan kewenangan Bawaslu provinsi, sehingga merupakan suatu hal yang mustahil bila persoalan-persoalan yang diajukan dipaksakan untuk diadili oleh Mahkamah Konstitusi," jelasnya.
Terkait adanya narasi pengurangan suara Risma-Gus Hans, Edward menyebut tudingan tersebut sangat kabur dan tidak jelas karena tidak menguraikan secara detil, jelas, dan spesifik terkait subjek hukum, tempus, locus dan dengan cara apa dugaan pengurangan suara tersebut dilakukan.
"Akan tetapi pemohon (Risma-Gus Hans) sekonyong-konyong langsung menyimpulkan perolehan suara pemohon di TPS yang berkisar 0-30 suara merupakan indikasi terjadinya pengurangan terhadap suara pemohon. Minimnya perolehan suara Pemohon di sejumlah TPS bukanlah bukti telah terjadi manipulasi, melainkan dapat dianggap sebagai faktor sosial yang terjadi secara natural karena adanya kondisi atau situasi tertentu berdasarkan karakteristik daerah pemilihan masing-masing," jelasnya.
"Sehingga hal tersebut tidak serta merta sebagai anomali yang mengindikasikan kecurangan atau pelanggaran. Faktanya perolehan suara 0-30 juga dialami Pihak terkait (Khofifah-Emil) dan paslon nomor 1 (Luluk-Lukmanul). Perlu juga dibuktikan signifikasinya terhadap hasil perolehan suara yang mempengaruhi penetapan calon terpilih dalam Pilgub Jatim 2024," tambahnya.
Lebih lanjut Edward juga menyebut dalil soal penggunaan DPT 90-100% di TPS yang dianggap Risma-Gus Hans sebagai sebuah kecurangan.
"Terkait dalil yang mempersoalkan penggunaan DPT 90-100% pada Pilgub Jatim 2024 selain tidak didukung peraturan yang melarangnya, juga senyatanya justru membuktikan keberhasilan penyelenggaraan Pilkada di Jawa Timur. Adanya penggunaan DPT hingga 100% bukan hanya dimungkinkan terjadi, tetapi juga menjadi salah satu sasaran yang dituju KPU dalam rangka terselenggaranya pemilu yang mencapai seluruh pemilih, hal ini tercermin dari tersedianya surat suara cadangan sebanyak 2,5% yang dapat digunakan untuk memfasilitasi DPT tambahan. Sehingga singkatnya, bahkan dimungkinkan partisipasi hingga 102,5%," bebernya.
"Terlebih uraian tentang DPT 90-100% tidak miliki causa verband antara yang didalilkan dengan signifikasinya terhadap hasil perolehan suara yang mempengaruhi penetapan calon terpilih. Di samping itu Pemohon juga sama sekali tidak menguraikan perbuatan mana yang terbukti sebagai pelanggaran TSM akibat penggunaan DPT 90-100% hingga membuat perolehan suara yang tinggi bagi Pihak Terkait. Padahal yang terjadi di lapangan justru pada TPS-TPS dengan penggunaan DPT hampir 90-100%, ditemukan fakta bahwa Pihak Terkait mengalami kekalahan dalam perolehan suaranya, sementara Pemohon memperoleh kemenangan," lanjutnya.
"Terlebih lagi nyatanya Pemohon sendiri tidak keberatan dengan hasil rekapitulasi suara dari Termohon yang dibuktikan dengan ditandatanganinya Formulir C.Hasil-KWK-Gubernur oleh para Saksi Pemohon dan tidak adanya catatan kejadian khusus terkait tingginya penggunaan DPT tersebut, selain juga tidak pernah melaporkannya kepada Bawaslu," tambahnya.
Edward, juga mengatakan permohonan Risma tidak jelas. Dia menepis tudingan manipulasi suara hingga bansos untuk pemenangan Khofifah.
"Apabila bansos PKH dikaitkan dengan kebijakan Pemprov Jawa Timur, kiranya tidak tepat karena bukan dalam kewenangannya. Justru fakta sebenarnya, karena melalui pernyataan resminya Pj Gubernur Jatim Adhy Karyono mengatakan bahwa Pemprov Jatim telah menunda penyaluran bansos kepada masyarakat sesuai edaran Kemendagri," ujarnya.
"Terkait dengan alat bukti gugatan pemohon berupa grafik statistik yang menjelaskan bahwa bansos PKH memiliki pengaruh terhadap suara pihak terkait jelas tidak benar. Bahwa terlihat jelas dari grafik yang disajikan pemohon, daerah yang memiliki jumlah penerima PKH tinggi adalah daerah yang jumlah penduduknya tinggi. Begitu pula sebaliknya, daerah yang jumlah penerima PKH rendah adalah daerah yang jumlah penduduknya rendah. Maka yang sebenarnya berkaitan dengan jumlah suara paslon, bukan jumlah PKH, melainkan jumlah penduduk," tandasnya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Bantah Tudingan Risma-Gus Hans, Tim Hukum Khofifah-Emil Ungkap Fakta di Persidangan
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Deasy Mayasari |