TIMES JATIM, MALANG – Di balik keindahan pegunungan Malang, tepatnya di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jatim, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) Malang berkumpul mengikuti sebuah perjalanan yang lebih dari sekadar kegiatan akademis.
Mereka bukan sekadar peserta. Tapi calon duta toleransi yang akan membawa pesan keberagaman ke kampus dan masyarakat. Lewat program bertajuk "Moral Camp," 30 mahasiswa dari berbagai fakultas dan latar belakang ini menghabiskan tiga hari, 25-27 Oktober 2024, di desa yang sarat tradisi dan kearifan lokal itu.
Menggali Makna Keberagaman dalam Budaya
Tema “Memaknai Budaya, Menyelami Keberagaman” bukan sekadar kata-kata di atas kertas bagi para peserta Moral Camp 2024. Desa Ngadas, sebuah tempat yang dijadikan desa adat sejak 2014, menjadi pusat dari program ini.
Di sini, mahasiswa belajar tentang bagaimana nilai-nilai adat menjadi pedoman yang hidup dalam setiap sudut desa. Mulai dari cara warga berbicara hingga prosesi adat yang mereka jalani.
Mujiyanto MR, kepala Desa Ngadas, membuka hati dan pengetahuan kepada para mahasiswa tentang sejarah desa yang kaya dengan nilai adat. Berdiri sejak 1774, Desa Ngadas telah lama menjadi tempat di mana adat dan kehidupan sehari-hari tak dapat dipisahkan.
“Ngadas adalah adat, dan adat adalah Ngadas. Satu sama lain menyatu,” katanya dengan penuh kebanggaan.
Kata-kata ini tidak hanya menjadi perkenalan bagi mahasiswa UB. Namun juga pelajaran pertama mereka tentang arti toleransi dan identitas budaya yang erat dengan kehidupan sehari-hari.
Live-in dan Belajar dari Warga Ngadas
Bagi mahasiswa yang terpilih dari 173 pendaftar melalui seleksi ketat, Moral Camp ini menawarkan pengalaman yang unik: live-in bersama warga. Mereka tinggal di rumah-rumah penduduk selama tiga hari, menyatu dengan kehidupan desa yang mungkin jauh berbeda dari keseharian mereka di kota.
Di sinilah mereka belajar. Tidak hanya dari buku atau dosen. Tapi juga dari setiap interaksi kecil dengan warga desa yang menyambut mereka seperti keluarga.
“Di sini, kami merasakan bagaimana hidup bersama warga dengan latar belakang yang berbeda mengajarkan kami arti sebenarnya dari inklusivitas,” ungkap salah satu peserta.
Dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu kisah ke kisah lain, mahasiswa UB ini mempelajari keberagaman dalam praktik nyata. Desa Ngadas menjadi ruang kelas yang luas, di mana setiap sudut adalah materi belajar, dan setiap penduduk adalah guru.
Rangkaian Kegiatan yang Sarat Makna
Hari pertama, para mahasiswa diperkenalkan dengan tuan rumah mereka. Suasana hangat menyelimuti desa saat mahasiswa dan warga saling berbagi cerita. Membangun ikatan yang akan mereka bawa selama tiga hari ke depan.
Malam harinya, Balai Budaya Ngadas menjadi saksi perbincangan antara peserta, aparat desa, dan tokoh adat. Mereka tidak hanya mendengar tentang adat. Mereka juga merasakan sendiri bagaimana adat itu hidup dalam masyarakat Ngadas.
Di hari kedua, peserta diajak menyelami kehidupan adat yang masih kuat terjaga di desa ini. Salah satunya adalah upacara adat entas-entas, yang penuh makna dan mengajarkan mereka tentang keterikatan antara manusia dengan leluhur dan alam.
Siang harinya, mereka mengunjungi berbagai tempat ibadah dan berdiskusi dengan tokoh agama Islam, Hindu, dan Buddha. Diskusi ini bukan sekadar dialog biasa. Diskusi itu juga menjadi sarana untuk memahami bagaimana masyarakat desa menjaga harmoni di tengah perbedaan keyakinan.
Malam hari kedua, para mahasiswa duduk bersama untuk berbagi pengalaman yang mereka peroleh sepanjang hari. Mereka merenung, mendalami, dan merefleksikan nilai-nilai toleransi yang telah mereka saksikan.
Praktis, kegiatan ini, meski sederhana, memberikan pemahaman mendalam yang tidak mudah dilupakan.
Pada hari terakhir, peserta diajak mengeksplorasi Taman Nasional Bromo, salah satu keajaiban alam yang juga menjadi bagian dari perjalanan spiritual mereka. Di sini, mahasiswa melakukan refleksi akhir sambil menikmati keindahan alam.
Mereka tidak hanya belajar tentang keberagaman manusia. Mahsiswa juga belajar tentang pentingnya menjaga kelestarian alam yang merupakan warisan bersama.
Menjadi Duta Toleransi bagi Kampus
Kepala UPT PKM UB, Mohamad Anas, menyebut Moral Camp sebagai ruang pembentukan karakter. Program yang sudah berlangsung selama tujuh tahun ini dirancang untuk merespons berbagai isu tentang intoleransi dan radikalisme yang kadang mencoreng citra mahasiswa.
“Mahasiswa yang terpilih dalam Moral Camp adalah calon duta toleransi yang diharapkan bisa membawa semangat inklusivitas di kampus dan menjadi teladan bagi teman-temannya,” tegas Anas.
Moral Camp bukan hanya sebuah program, tetapi gerakan yang membawa pesan keberagaman dari sebuah desa kecil menuju kampus besar. Para mahasiswa yang telah mengalami dan merasakan langsung arti toleransi di Desa Ngadas kini memegang tanggung jawab sebagai duta yang siap menyebarkan nilai-nilai ini kepada lingkungan kampus.
Pengalaman yang Meninggalkan Bekas Mendalam
Saat program berakhir, banyak mahasiswa mengungkapkan keinginan agar Moral Camp dapat diadakan lebih sering dan dengan jumlah peserta yang lebih banyak. Desa Ngadas tidak hanya memberikan mereka pengalaman baru, tetapi juga wawasan yang luas tentang arti hidup berdampingan di tengah keberagaman.
Mereka belajar bahwa toleransi bukan sekadar teori. Bagi mahasiswa toleransi merupakan praktik sehari-hari yang membutuhkan hati dan pikiran terbuka.
Moral Camp di Desa Ngadas menjadi bukti bahwa universitas bukan hanya tempat belajar akademis, tetapi juga tempat membentuk kepribadian dan karakter. Para peserta pulang dengan pemahaman bahwa dunia lebih kaya dan indah ketika mereka bisa hidup berdampingan dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda.
Ini adalah pelajaran hidup yang akan mereka bawa sepanjang karier dan perjalanan hidup mereka. (*)
Pewarta | : |
Editor | : Deasy Mayasari |