TIMES JATIM, PACITAN – Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pacitan, Khemal Pandu Pratikna, mengajak para guru di semua jenjang untuk menghentikan praktik yang belakangan disebut sebagai “sedekah nilai” pemberian nilai kepada siswa bukan berdasarkan kemampuan sebenarnya.
Imbauan itu ia sampaikan pada Jumat (12/12/2025), merespons kegelisahan dunia pendidikan terkait menurunnya objektivitas evaluasi belajar.
Pandu menegaskan, praktik sedekah nilai tidak bisa dianggap remeh. Selain berpotensi melanggar standar penilaian, kebiasaan ini dapat merusak integritas pendidikan.
“Guru perlu berhenti memberi nilai karena rasa iba. Penilaian harus berbasis kompetensi. Jika tidak, ini akan menjadi ancaman bagi kualitas pembelajaran,” ujarnya.
Fenomena sedekah nilai mencuat setelah Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia, Prof. Abdul Mu’ti menyampaikan kekhawatirannya. Mu’ti menyebut praktik tersebut sebagai bentuk manipulasi akademik yang membuat siswa tampak seolah sudah memenuhi standar, padahal belum.
“Ini menciptakan ilusi keberhasilan. Siswa merasa sudah mampu, padahal sebenarnya tidak. Dampaknya panjang bagi perkembangan akademik dan karakter mereka,” kata Mu’ti dalam sebuah forum pendidikan nasional.
Guru Diminta Tidak Takut Dikritik Orang Tua
Pandu juga menyoroti kekhawatiran sebagian guru yang enggan memberikan nilai sebenarnya karena takut diprotes orang tua. Menurutnya, justru penilaian yang tidak objektif akan merugikan proses belajar.
“Kalau nilai diberikan tanpa mempertimbangkan kemampuan nyata, orang tua tidak mendapatkan gambaran yang utuh tentang kondisi anak. Akibatnya, mereka bisa keliru dalam mengarahkan potensi anaknya,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa guru tidak perlu takut menghadapi keberatan dari orang tua. Yang penting, guru terbuka menjelaskan kondisi siswa dan melibatkan orang tua dalam proses belajar.
“Biarkan orang tua mengetahui perkembangan anaknya apa adanya. Sampaikan dengan baik, dan bangun kerja sama agar pola pendidikan di sekolah sejalan dengan pola asuh di rumah,” ujar Pandu.
Ia menegaskan, menghentikan budaya sedekah nilai bukan hanya tugas guru, melainkan tanggung jawab seluruh ekosistem pendidikan mulai pemerintah, sekolah, hingga orang tua.
Pandu juga mengutip pandangan sejumlah pemikir pendidikan. Tom Nichols, dalam The Death of Expertise (2017), menyoroti kecenderungan masyarakat yang ingin hasil instan dan kurang menghargai proses belajar mendalam.
Sementara pakar literasi pendidikan, Neil Postman, dalam The End of Education (1996), menekankan bahwa pendidikan tanpa kejujuran dalam penilaian pada dasarnya telah gagal menjalankan misinya.
Jika budaya sedekah nilai terus dibiarkan, kata Khemal, generasi muda akan tumbuh tanpa kesiapan bersaing dan kehilangan fondasi karakter yang kuat.
Menutup pernyataannya, Pandu kembali mengingatkan bahwa pendidikan harus kembali pada tujuan dasarnya: membentuk manusia yang cerdas sekaligus berkarakter.
“Jangan sampai sedekah nilai menjadi warisan buruk dalam pendidikan kita. Jika itu terjadi, sama saja kita menghambat masa depan anak-anak kita,” tutupnya. (*)
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Hendarmono Al Sidarto |