TIMES JATIM, PACITAN – Program Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas di Kabupaten Pacitan sejatinya dirancang untuk memperluas akses pelatihan vokasi bagi masyarakat.
Tapi di lapangan, banyak lembaga malah bermain aman dengan lebih memilih mengajukan peralatan komputer. Alasan mereka sederhana, supaya tetap bisa dipakai meski nanti program pemerintah sudah selesai.
“Yang mengajukan komputer ini nyari aman, alasannya biar kalau sudah tidak ada program pelatihan masih bisa digunakan,” ujar Kepala UPTD Balai Latihan Kerja (BLK) Kabupaten Pacitan, Abdul Kholiq, kepada TIMES Indonesia, Kamis (10/7/2025).
Pernyataan Abdul Kholiq itu menyingkap fakta yang selama ini jarang terdengar publik. Bahwa program senilai Rp1 miliar per BLK Komunitas tersebut, tidak jarang disiasati dengan memilih paket komputer demi alasan keberlangsungan alat, meski sebenarnya peluang jenis pelatihan lain terbuka lebar.
Anggaran Fantastis Rp 1 Miliar dengan Syarat
Berdasarkan skema yang berlaku, satu paket BLK Komunitas mengucurkan dana sekitar Rp 1 miliar.
Rinciannya, Rp 500 juta untuk pembangunan gedung workshop dengan syarat tanah wajib diwakafkan kepada negara, Rp 300 juta untuk peralatan pelatihan yang dikucurkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan, dan Rp 200 juta sisanya untuk menjalankan pelatihan tahap pertama.
Semua laporan kegiatan ini dikawal oleh petugas PIC dari pusat, sehingga proses administrasi relatif rapi. Namun pembinaan hanya berlangsung tiga tahun.
Setelahnya, lembaga penerima program wajib mandiri mencari sumber pendanaan lain, bisa melalui APBD, APBN, ataupun usaha swadaya. Statusnya juga langsung berubah menjadi LPKS (Lembaga Pelatihan Kerja Swasta).
“Setiap BLK dibina hanya tiga tahun. Setelah itu lepas. Silakan mencari pembiayaan mandiri entah APBD atau APBN. Yang penting berjuang sendiri,” tegas Abdul Kholiq.
Dengan skema seperti ini, tak heran jika banyak lembaga memilih jalur aman, yaitu program komputer. Paling tidak, ketika sudah tidak ada anggaran pelatihan, komputer masih bisa digunakan untuk kegiatan lembaga atau usaha tambahan.
Data Lapangan
Dari catatan UPTD BLK Pacitan, sampai saat ini sudah ada 14 BLK Komunitas tersebar di beberapa kecamatan. Mayoritas memang lebih condong ke bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
Misalnya:
- BLKK Al-Ishlah yang fokus pada pelatihan TIK, telah melaksanakan satu tahap pelatihan di 2019 dan dua tahap pada 2020.
- BLK Komunitas Al-Anwar juga memilih TIK dengan spesialisasi desain grafis junior. Mereka bahkan sudah menggelar 6 angkatan pelatihan di 2019 dan 2 angkatan pada 2020.
- BLK Komunitas di Ponpes An-Nur Pringkuku juga memilih TIK dengan spesialis multimedia di tahun 2023.
Hanya segelintir yang mencoba jalur lain. Seperti:
- BLK Ibnu Umar di Kecamatan Punung yang mengambil program menjahit. Dengan modal bangunan Rp 500 juta dan peralatan Rp 300 juta, mereka baru melaksanakan dua paket pelatihan di 2020.
- BLK Al-Fattah di Arjosari yang memilih woodworking atau pertukangan kayu. Lembaga ini terbilang serius, punya 39 unit alat yang tercatat dalam kondisi baik, dan menjalankan dua tahap pelatihan di 2020.
BLK Komunitas yang memilih Kompetensi Komputer satu periode pelatihan rata-rata menyelesaikan program yang terdiri dari 240 jam pelatihan dengan pembagian jam mencapai tujuh minggu satu periode diikuti sekitar 16 peserta.
Namun Abdul Kholiq tak menutup mata. Menurutnya, lembaga yang memilih pelatihan di luar komputer biasanya punya kesiapan lebih baik, baik dari sisi instruktur maupun keberanian menanggung risiko pasca program.
“Intinya satu tahun anggaran harus ada output. Kalau tidak ya rugi. Pelaporannya juga harus lengkap karena ada PIC yang mengawasi langsung,” jelasnya.
Belum Menyentuh Semua Kecamatan
Fakta lain yang juga menarik, masih ada kecamatan di Pacitan yang belum kebagian BLK Komunitas. Di antaranya Sudimoro, Ngadirojo, dan Donorojo. Bahkan Abdul Kholiq menyebut ada juga lembaga yang tidak mengajukan tapi justru mendapatkan program, seperti Tremas di Arjosari.
Di sisi lain, Pondok Pesantren Al-Fattah Kikil Arjosari juga pernah mengajukan lagi tiga program BLK baru.
Masalah paling klasik tetap soal tanah. Pasalnya, syarat wajib wakaf atas nama yayasan masih menjadi momok bagi sebagian besar lembaga. Tak jarang prosesnya mentok karena pengurus yayasan tidak siap menghibahkan lahannya ke negara.
“Kendala paling sering sebenarnya pada tanah. Karena syaratnya wajib wakaf dan itu harus atas nama yayasan. Kadang yayasan tidak siap, seperti Ponpes Wates Widoro,” ungkap Abdul Kholiq.
Pelatihan Dirancang Sesuai Kebutuhan Pasar, Kenyataannya?
Kalau melihat juknis pusat, jenis pelatihan sebenarnya sangat luas. Bisa komputer grafis, office, reparasi elektronik, las, hingga pelatihan kewirausahaan yang diarahkan ke pelaku UMKM. Namun fakta di lapangan tetap saja menunjukkan kecenderungan lembaga main aman: ajukan program komputer.
Dengan perangkat komputer, lembaga merasa bisa menjalankan banyak fungsi seperti pelatihan, administrasi pesantren, hingga sewaktu-waktu dipakai untuk usaha digital printing. Tak perlu lagi memikirkan soal biaya perawatan alat yang terlalu spesifik seperti mesin las atau perabot woodworking yang cepat aus.
Padahal jika dilihat dari sisi strategis, sektor seperti pertanian, peternakan, hingga pengolahan hasil bumi justru sangat relevan untuk wilayah Pacitan. Hanya saja tampaknya belum banyak yang berani mengambil peluang ini.
Masa Depan BLK di Pacitan
Kini setelah rata-rata lembaga mendekati masa tiga tahun pembinaan, mereka dihadapkan pada tantangan nyata: mampu mandiri atau gulung tikar. Jika gagal mencari dukungan lanjutan, besar kemungkinan fasilitas dan workshop yang sudah dibangun dengan duit negara itu akan mangkrak.
Untuk itulah Abdul Kholiq berharap lembaga penerima bisa benar-benar memanfaatkan masa binaan ini seoptimal mungkin. Supaya setelah tiga tahun, mereka tetap bisa melanjutkan kegiatan pelatihan tanpa menggantungkan harapan lagi pada APBN.
“Setelah tiga tahun, statusnya berubah jadi LPKS. Mereka wajib mandiri. Kalau tidak ya selesai. Yang penting sekarang kami bantu bina sampai tuntas,” pungkasnya.
Program BLK Komunitas di Pacitan sejatinya membuka jalan bagi masyarakat untuk naik kelas lewat pelatihan kerja yang disiapkan pemerintah.
Sayangnya, kecenderungan lembaga lebih memilih program komputer dengan alasan nyari aman pasca program, menimbulkan tanda tanya: apakah betul sesuai kebutuhan riil masyarakat, atau sekadar cari selamat?
Masa depan BLK Komunitas di Pacitan akan benar-benar diuji setelah masa tiga tahun pembinaan habis. Jika gagal mandiri, gedung dan peralatan bernilai miliaran rupiah itu berpotensi hanya menjadi bangunan sunyi yang tak lagi bermanfaat bagi siapa pun.
“Belum ada monitoring, harus monitoring BLK Komunitas itu, dari Kementerian Tenaga Kerja RI, coba nanti saya tanyakan ke Kementerian,” pungkas Abdul Kholiq. (*)
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |