TIMES JATIM, PACITAN – Cuaca ekstrem yang melanda Kabupaten Pacitan tak hanya berdampak pada aktivitas masyarakat, tetapi juga industri kerajinan gerabah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Jawa Timur memperkirakan wilayah ini berpotensi mengalami hujan sedang hingga lebat, disertai kilat dan angin kencang.
Situasi ini menyebabkan penurunan produktivitas di Arum Gerabah Pacitan hingga 50 persen. Meski begitu, industri kerajinan ini tetap beradaptasi untuk bertahan.
Arum Gerabah merupakan industri kerajinan tradisional yang berlokasi di Desa Purwoasri, Kecamatan Kebonagung, sekitar 10 kilometer dari pusat kota Pacitan.
Dipimpin oleh Rening Astuti, atau yang akrab disapa Ibu Ning, usaha ini terus berkembang meski menghadapi berbagai tantangan alam.
Arum Gerabah berdiri secara resmi sejak 2018, meski tradisi pembuatan gerabah di desa ini telah ada sejak zaman nenek moyang.
Dengan sejarah panjang tersebut, produk Arum Gerabah telah menjadi bagian penting dari warisan budaya Pacitan.
Industri ini mengandalkan jaringan 20 pengrajin yang bekerja di rumah masing-masing.
Setiap pengrajin memiliki keahlian di berbagai tahap produksi, mulai dari pembentukan hingga finishing. Namun, tantangan terbesar datang saat musim penghujan.
“Yang penting bukan sekadar wacana, tapi realisasi nyata,” tegas Ibu Ning saat menjelaskan strategi bertahan di tengah cuaca ekstrem, Rabu (12/2/2025).
Salah satu langkah yang dilakukan adalah memproduksi lebih banyak stok sebelum musim hujan tiba. Dengan begitu, kontinuitas penjualan tetap terjaga meski produksi menurun.
Proses pembuatan satu gerabah membutuhkan waktu sekitar 2-3 hari, tergantung pada ukuran dan tekniknya.
Meski pengeringan tidak sepenuhnya bergantung pada matahari, kelembaban tinggi saat musim hujan tetap menjadi kendala dalam mendapatkan hasil yang optimal.
Pasar Luas hingga Jakarta dan Sumatera
Pendapatan bulanan Arum Gerabah mencapai Rp20 juta, meski bisa mengalami penurunan sekitar 20 persen saat cuaca tidak mendukung.
Produk mereka telah merambah pasar di Jawa Timur, Sumatera, hingga Jakarta. Selain itu, wisatawan yang berkunjung ke Pacitan juga kerap membeli gerabah sebagai oleh-oleh khas daerah.
Harga produk bervariasi tergantung jenis dan ukurannya. Peralatan dapur dijual mulai Rp3.000, sementara guci kecil hingga sedang berkisar antara Rp15.000 hingga Rp70.000.
Untuk patung, harganya mulai Rp200.000 hingga Rp700.000, sedangkan produk custom bisa mencapai Rp1 juta lebih, tergantung permintaan konsumen.
Pemesanan bisa dilakukan melalui media sosial seperti Instagram dan Facebook, atau langsung menghubungi nomor +62 877-0677-7778.
Persaingan dengan produk modern dan kendala pengiriman menjadi tantangan utama industri ini.
Gerabah yang rentan pecah memerlukan penanganan khusus, terutama dalam proses distribusi ke luar daerah.
Namun, bagi Ibu Ning, mempertahankan industri gerabah bukan sekadar bisnis, melainkan juga bagian dari upaya melestarikan budaya.
Iap pun berharap lebih banyak anak muda tertarik mengembangkan industri kreatif berbasis budaya lokal.
“Kenali potensi diri dan lingkungan,” pesannya.
Semangat inovasi dan adaptasi yang dilakukan Arum Gerabah Pacitan menjadi bukti bahwa tantangan cuaca ekstrem pun bisa menjadi peluang untuk terus berkembang sekaligus memperkenalkan kerajinan tradisional ke pasar global. (*)
Pewarta: Muhammad Qori Al Amin, Mahasiswa Magang Non Kependidikan STKIP PGRI Pacitan.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Strategi Arum Gerabah Pacitan Bertahan di Tengah Cuaca Ekstrem
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Deasy Mayasari |