TIMES JATIM, SURABAYA – Pilkada Serentak 2024 telah usai tepat pada 27 November kemarin. Berbagai pihak pun memberikan sorotan terhadap pelaksanaan kontestasi 5 tahunan itu. Tak terkecuali kelompok DPD di MPR RI. Salah satu bentuk sorotan tersebut adalah pelaksanaan kegiatan Diskusi Publik Kelompok DPD di MPR ke-3 tahun 2024 yang dilaksanakan pada tanggal 1 Desember 2024 di Hotel Santika Premiere Bintaro.
Mengambil tema “Potret Pilkada 2024: Antara Harapan Dan Kenyataan Otonomi Daerah”, acara diskusi tersebut menghadirkan beberapa narasumber, baik dari Pimpinan dan Anggota Kelompok DPD di MPR maupun para pakar. Narasumber tersebut adalah Dr. H. Dedi Iskandar Batubara, Ir. Abraham Liyanto, Prof. Dr. H. Dailami Firdaus, Habib Zakaria Bahasyim, Dr. Lia Istifhama, Prof. Dr. Irfan Ridwan Maksum, Prof. Dr. Lili Romli, Prof. Dr. Siti Zuhro, Dr. Endang Sulastri, dan Titi Anggraini.
Beberapa topik menarik dikaji dalam forum tersebut, salah satunya terkait rekomendasi upaya menepis problem pragmatisme politik yang disampaikan anggota DPD RI Jatim, Lia Istifhama.
“Kita harus akui bahwa kecenderungan perilaku pragmatisme masih memberikan warna tersendiri dalam perpolitikan kita. Sebagai contoh, sebuah survei dari lembaga ARCI tentang Pilkada serentak di Jatim, bahwa 35,2 persen preferensi memilih adalah kepedulian seorang pemimpin. Setelah dibreakdown, kepedulian ini dilihat secara pragmatis," kata Ning Lia.
Doktoral UINSA itu juga merelevansikan dengan karakter immediacy yang umum dalam dunia bisnis.
“Dalam dunia bisnis, ada istilah immediacy, yaitu suatu kondisi persaingan dimana pelanggan akan memilih perusahaan yang menawarkan jasa atau produknya dengan lebih murah, lebih baik, dan lebih cepat jika dibandingkan dengan perusahaan pesaingnya. Nah, jika ditarik dalam politik, maka istilahnya pragmatisme," jelas Ning Lia sapaan akrab Lia Istifhama, Minggu (1/12/2024).
“Pragmatisme ini kontra dengan konsep idealisme, yang mana secara ideal, politik tak lepas dari bangunan sosial. Namun karena politik terkait preferensi masyarakat, maka unsur kesukaan masyarakat sangat dominan. Dan sesuatu yang paling mudah diukur memang sebuah pemberian yang dapat dirasakan langsung,” sambungnya.
Meski menyoroti kultur pragmatisme, senator cantik yang akrab disapa ning Lia itu tak berharap muncul apatisme dalam politik.
“Politik harus terus membumi karena kita negara demokrasi. Hanya saja, jangan sampai tidak ada batasan dalam perilaku pragmatisme karena ini berpotensi menimbulkan pola potik saudagar yang mana politik akhirnya dikuasai kapital karena implementasi politik banyak dipengaruhi unsur ekonomi,” ungkapnya.
Untuk itu, lanjut Ning Lia, proses pilkada yang sudah berlangsung, menurutnya wajib dianalisa secara bersama agar keberlanjutan proses politik tetap mendukung pada pembangunan daerah.
“Kita kan bicara bagaimana pilkada bagian tak lepas dari otoda atau otonomi daerah. Bagaimana suistanabilitas pembangunan terjaga dan sesuai harapan masyarakat. Maka praktek pragmatisme harus direduksi karena cost politic yang tinggi sangat berpotensi mengurangi ketersediaan anggaran pasca menjabat, sehingga menjadi halangan pemerataan pembangunan maupun pelayanan sosial yang menyeluruh pada semua masyarakat.” paparnya.
Politisi asal Surabaya itu pun mencoba memberikan rekomendasi terkait syarat dukungan paslon dalam Pilkada mendatang.
“Dalam Pilkada serentak 2024, kita harus apresiasi dengan perubahan aturan yang membuka peluang munculnya banyak paslon Pilkada. Ini tentu kran bagi putra-putra daerah. Namun kita harus akui juga bahwa ternyata tidak sedikit yang berhadapan dengan kotak kosong. Nah, di lapangan ternyata menunjukkan kejutan-kejutan. Ada beberapa kepala daerah petahana yang hampir saja dikalahkan dengan kotak kosong. Ini bisa jadi pembuktian bahwa masyarakat berharap ada pilihan lain, namun karena tidak ada paslon lain, maka kotak kosong yang tidak mungkin berkampanye ataupun memberikan jawaban atas budaya pragmatisme, pasti keok,” tegasnya.
Di akhir, ia menambahkan bahwa mekanisme pilkada pada masa mendatang perlu memunculkan wacana syarat maksimal dukungan.
“Dari potret petahana yang berpotensi kalah oleh kotak kosong, maka ini seharusnya sebuah kran wacana atau usulan syarat maksimal dukungan. Alasannya sederhana, bukan hanya menekan potensi ‘borong rekom’, tapi juga kesempatan bagi putra daerah maupun kader partai untuk maju.
Saya kira semua partai memiliki kader potensial, maka kenapa tidak memberikan kesempatan bagi kadernya sendiri saja? Selama syarat minimal dipenuhi. Kepercayaan diri bagi kader partai maupun tokoh potensial daerah yang mungkin ingin maju independen, harus dikuatkan agar politik lebih dinamis dan menekan potensi pragmatisme yang dibangun kaum kapitalis,” pungkas Lia Istifhama. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Diskusi Publik di MPR, Senator Lia Istifhama Singgung Problem Pragmatisme Politik
Pewarta | : Rudi Mulya |
Editor | : Deasy Mayasari |