TIMES JATIM, ETIKA PUBLIK – Etika publik adalah fondasi utama dalam membangun masyarakat yang adil, harmonis, dan beradab. Dalam konteks Indonesia, etika memiliki posisi strategis dalam kehidupan beragama, berpolitik, dan bernegara. Namun, pasca-reformasi, perhatian terhadap etika publik menunjukkan penurunan signifikan.
Banyak figur publik, termasuk ulama dan pemimpin agama, gagal memenuhi standar moral yang diharapkan. Fenomena ini memperburuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap figur-figur yang seharusnya menjadi teladan moral.
Salah satu kasus terbaru adalah pernyataan Gus Miftah, seorang kiai sekaligus utusan Presiden Prabowo Subianto, yang dinilai menghina seorang pedagang es teh dalam ceramahnya. Kasus ini memicu kontroversi dan menjadi cermin atas persoalan etika publik di kalangan ulama.
Teguran Presiden Prabowo terhadap Gus
Miftah membuka ruang diskusi tentang pentingnya memperbaiki etika publik. Dalam konteks ini, pemikiran Immanuel Kant tentang moralitas dapat menjadi landasan filosofis untuk menyoroti krisis etika publik di Indonesia, khususnya di kalangan pemimpin agama.
Pemikiran Etika Immanuel Kant
Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman abad ke-18, mengembangkan pendekatan moralitas yang bersifat universal dan otonom. Dalam Groundwork of the Metaphysics of Morals, Kant memperkenalkan konsep Imperatif Kategoris yang menjadi inti dari teori etika moralnya.
Tiga formulasi utama dari Imperatif Kategoris adalah, Pertama, Prinsip Universalitas Seseorang harus bertindak berdasarkan maksime yang dapat dijadikan hukum universal tanpa pengecualian. Dalam konteks ini, tindakan yang dilakukan seseorang harus dapat diterapkan dalam semua situasi tanpa merusak harmoni sosial.
Kedua Prinsip Kemanusiaan Setiap manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sekadar alat untuk mencapai tujuan tertentu. Prinsip ini menekankan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai nilai intrinsik.
Ketiga, Prinsip Otonomi Individu memiliki kebebasan moral untuk menentukan tindakannya berdasarkan hukum moral universal, tanpa dipengaruhi oleh kepentingan eksternal atau pragmatisme.
Dalam etika publik, prinsip-prinsip Kant ini menuntut agar para figur publik bertindak dengan integritas, menghormati martabat manusia, dan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.
Krisis Etika Publik di Indonesia
Indonesia, sebagai negara dengan tradisi keberagamaan yang kuat, menempatkan ulama dan pemimpin agama sebagai tokoh sentral dalam membimbing masyarakat.
Mereka diharapkan menjadi teladan moral yang tidak hanya memberikan pengajaran agama tetapi juga menunjukkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai universal. Namun, dalam beberapa dekade terakhir, banyak ulama kehilangan integritas akibat terlibat dalam kontroversi yang merusak citra mereka di mata publik.
Kasus Gus Miftah adalah salah satu contoh bagaimana figur agama dapat melanggar prinsip etika publik. Ceramah yang dianggap merendahkan pedagang kecil ini menimbulkan pertanyaan serius tentang bagaimana para pemimpin agama seharusnya menggunakan platform mereka untuk membangun, bukan merusak.
Dalam pandangan Kant, tindakan semacam ini melanggar prinsip universalitas dan kemanusiaan. Jika ceramah yang merendahkan martabat orang lain dianggap dapat diterima, maka hal tersebut dapat merusak nilai-nilai keadilan dan penghormatan terhadap sesama manusia.
Pernyataan Gus Miftah tidak hanya menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam menerapkan prinsip moral universal yang menjadi dasar dari etika publik.
Akar Krisis Etika Publik
Krisis etika publik di Indonesia, terutama di kalangan ulama, disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, pragmatisme dan komodifikasi agama sering digunakan sebagai alat untuk kepentingan pragmatis, baik untuk keuntungan politik maupun ekonomi. Banyak ulama yang terjebak dalam arus ini, kehilangan fokus pada tugas mereka sebagai penuntun umat.
Kedua, polarisasi sosial dan politik. Keterlibatan ulama dalam politik praktis sering kali menciptakan konflik kepentingan, membuat mereka lebih cenderung mengutamakan agenda politik daripada nilai-nilai moral universal.
Ketiga, minimnya akuntabilitas banyak ulama yang tidak mempertanggungjawabkan tindakan atau ucapan mereka di ruang publik. Ketika mereka melakukan kesalahan, jarang ada upaya nyata untuk meminta maaf atau memperbaiki kesalahan tersebut secara tulus.
Analisis Kasus Gus Miftah dengan Pendekatan Kantian
Dalam kasus Gus Miftah, penerapan prinsip Kantian dapat membantu mengevaluasi tindakan beliau. Berikut analisis berdasarkan tiga formulasi Imperatif Kategoris:
Prinsip Universalitas
Prinsip universalitas mengharuskan seseorang bertindak sesuai dengan maksime yang dapat dijadikan hukum universal, tanpa pengecualian. Dalam ceramahnya, Gus Miftah membuat pernyataan yang dianggap merendahkan seorang pedagang es teh.
Jika tindakan ini diterapkan secara universal-artinya, semua orang diizinkan untuk berbicara dengan nada merendahkan terhadap orang lain di ruang publik-maka konsekuensinya adalah kehancuran nilai saling menghormati di masyarakat.
Evaluasi Kantian, Pernyataan Gus Miftah tidak dapat dijadikan hukum universal karena bertentangan dengan nilai-nilai yang menopang harmoni sosial. Sebagai seorang kiai yang memiliki posisi strategis dalam membimbing umat.
Gus Miftah justru memiliki tanggung jawab lebih besar untuk memastikan bahwa kata-katanya tidak merusak martabat individu lain. Dalam perspektif Kant, tindakan ini melanggar prinsip universalitas dan karenanya tidak bermoral.
Prinsip Kemanusiaan
Prinsip kemanusiaan menekankan bahwa manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat atau objek. Setiap individu memiliki martabat yang harus dihormati. Ketika Gus Miftah menggunakan ceramahnya untuk menyampaikan pernyataan yang berpotensi menghina pedagang es teh.
Ia memperlakukan individu tersebut sebagai objek dari ejekan, bukan sebagai pribadi yang memiliki nilai intrinsik. Dalam pandangan Kant, tindakan ini tidak menghormati martabat manusia, yang merupakan nilai fundamental dalam etika moral.
Evaluasi Kantian, Gus Miftah seharusnya memahami bahwa pedagang es teh, meskipun berasal dari kelas ekonomi yang sederhana, tetap memiliki martabat yang sama dengan siapa pun.
Pernyataan yang merendahkan individu lain tidak hanya melanggar prinsip kemanusiaan tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap peran ulama sebagai pembimbing moral.
Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi menuntut bahwa individu bertindak berdasarkan hukum moral yang mereka ciptakan sendiri, seolah-olah mereka adalah pembuat hukum universal. Sebagai seorang pemimpin agama, Gus Miftah memiliki otonomi moral untuk menentukan tindakannya berdasarkan prinsip-prinsip moral universal.
Jika pernyataan yang dilontarkan dalam ceramahnya didasarkan pada kepentingan pragmatis, seperti menarik perhatian atau mempertahankan popularitas, maka tindakan tersebut tidak sepenuhnya otonom. Dalam perspektif Kant, tindakan yang didorong oleh kepentingan eksternal semacam ini melanggar prinsip otonomi moral.
Evaluasi Kantian, Untuk bertindak secara otonom, Gus Miftah harus memastikan bahwa kata-katanya konsisten dengan nilai-nilai moral universal. Jika ucapannya dimotivasi oleh dorongan pragmatis atau emosional, maka ia telah gagal bertindak sebagai pembuat hukum moral yang sejati.
Dalam pandangan Immanuel Kant, tindakan Gus Miftah bertentangan dengan ketiga formulasi Imperatif Kategoris: Pertama, Tidak memenuhi prinsip universalitas karena merendahkan martabat individu, yang jika diterapkan secara luas, akan menciptakan ketidakharmonisan sosial.
Kedua, Tidak menghormati prinsip kemanusiaan karena memperlakukan individu lain sebagai objek penghinaan, bukan sebagai tujuan yang memiliki nilai intrinsik.
Ketiga Tidak sejalan dengan prinsip otonomi karena kemungkinan tindakan tersebut didorong oleh kepentingan pragmatis, bukan berdasarkan hukum moral universal.
Strategi Perbaikan Etika Publik
Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak: Pertama, edukasi dan pelatihan etika untuk ulama. Ulama perlu dibekali dengan pemahaman mendalam tentang etika publik, termasuk prinsip-prinsip moral universal yang diajarkan oleh Kant. Hal ini dapat membantu mereka bertindak dengan integritas di ruang publik.
Kedua, peningkatan akuntabilitas figur publik harus bertanggung jawab atas ucapan dan tindakan mereka. Jika terjadi pelanggaran, mereka harus menunjukkan penyesalan dan memperbaiki kesalahan secara terbuka.
Ketiga, penguatan kesadaran masyarakat. Masyarakat juga harus berperan aktif dalam menuntut integritas dari para pemimpin agama. Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya etika publik, masyarakat dapat mendorong perubahan yang positif.
Keempat, pemisahan agama dan politik praktis. Untuk menghindari konflik kepentingan, ulama harus menjaga jarak dari politik praktis dan fokus pada tugas utama mereka sebagai penuntun moral masyarakat.
Etika publik adalah komponen esensial dalam membangun masyarakat yang bermartabat dan adil. Dalam pemikiran Immanuel Kant, tindakan moral harus didasarkan pada prinsip universal, penghormatan terhadap martabat manusia, dan otonomi moral.
Penerapan prinsip-prinsip ini sangat relevan untuk memperbaiki krisis etika publik di Indonesia, terutama di kalangan ulama. Kasus Gus Miftah menjadi pengingat pentingnya menjaga etika publik, khususnya bagi pemimpin agama.
Dengan menerapkan pendekatan Kantian, para ulama dapat menjalankan peran mereka dengan lebih bertanggung jawab dan memberikan teladan moral yang kuat bagi masyarakat. Hanya dengan cara ini, Indonesia dapat mengatasi tantangan etika publik dan membangun peradaban yang lebih baik.
***
*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |