https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Lengsernya Sang ''Media Darling''

Kamis, 17 Oktober 2024 - 09:30
Lengsernya Sang ''Media Darling'' Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral

TIMES JATIM, JAKARTA – Diksi lengser yang dipakai dalam tulisan ini mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Ada tiga pengertian mengenai kata lengser dalam KBBI. Ketiganya masuk kelas kata verba. Salah satunya adalah lengser yang berati 'turun dari jabatan'. 

Dalam KBBI juga ada ungkapan Jawa: lengser keprabon 'meninggalkan kursi kekuasaan; turun dari jabatan'. Keprabon atau kaprabon, menurut Bausastra Jawa, Poerwadarminta 1939, berarti 'jubah atau pakaian raja, jabatan atau takhta raja'. Seorang raja atau pemimpin lengser keprabon atas keinginan sendiri karena merasa sudah saatnya.

Seorang pemimpin lengser keprabon karena telah selesai dengan segala tugas dan tanggung jawabnya. Ia sudah purnabakti. Ia tidak lagi menjadi pemimpin atas keputusannya sendiri, bukan karena pemakzulan atau tekanan massa. 

Ungkapan lengser dan lengser keprabon sangat berbeda. Ada yang berpendapat pemimpin yang lengser lebih mengacu kepada seseorang yang dimakzulkan, dipecat, atau diturunkan dari jabatannya sebelum purna tugas lantaran sebab-sebab tertentu. Sementara itu, ungkapan lengser keprabon mengacu kepada seseorang yang merasa sudah purna tugas sehingga ia bisa disebut negarawan: disayang dan dikenang rakyatnya.

Lengser yang digunakan penulis di sini hanya sekadar "turun dari jabatan" karena habis masa jabatan. Tetapi jelang habis masa jabatan itu terjadi keriuhan "pemakzulan", "pemecatan" hingga "adili". Lantaran inilah maka menjadi bias untuk disebut "lengser keprabon".

Mengapa bukan "lengser keprabon"? Penyebabnya karena kelengahan menjaga brand. Dulu, personal brand yang bersangkutan membuatnya menjadi sosok "media darling". Namun saat lengser berubah dari "media darling" menjadi "media enemy". 

Kita tengok ke belakang, sepuluh tahun lalu, di negeri ini ada sosok yang menjadi langganan pemberitaan media massa. Hampir setiap hari, media-media besar dan terpercaya, menjadikan sosok itu sebagai sumber berita. Terkadang foto-fotonya ditempel gede-gede di media tersebut. 

Aktivitasnya rutin dikemas sebagai pemberitaan positif. Terkesan gerak-gerik negatifnya tidak dimunculkan media. Sosok itu dianggap sebagai sahabat media. Maka dari itu terdapat kecenderungan untuk menyajikan hal-hal positif saja. Aib sahabat disembunyikan saja. Sosok macam ini kerap disebut dengan istilah "media darling".

Wiktionary.org menyebutkan media darling sebagai tokoh yang populer dan sering menerima perhatian yang sangat baik di berita media. Teman-teman public relation (PR) mengartikan media darling sebagai mereka juga disukai oleh para awak media karena mereka bisa menjadi narasumber yang baik dan bisa memberikan informasi yang dibutuhkan. 

Media darling merupakan pencapaian puncak dalam media relations. Inilah kehebatannya; ketika menjadi media darling, maka apapun yang dilakukan oleh seseorang, lembaga ataupun perusahaan maka dengan senang hati media akan memberitakannya.

Sampai sini bisa dipetik kandungan media darling: pemberitaan positif, penyamaran yang bersifat negatif, perhatian yang sangat baik, puncak media relation, baik, dan senang hati.

Semua kandungan itu tidak datang dengan sendirinya. Seorang praktisi PR, Retno Wulandari, menulis gamblang dalam bukunya (Gramedia, 2014) bahwa media darling dibangun dari personal branding.

Wulandari menegaskan jangan berseteru dengan media karena bakal menghambat upaya mendongkrak personal branding. Menutup diri terhadap media jelas merupakan langkah yang salah dalam membangun personal branding.

Nah, untuk membangun personal branding tersebut dibutuhkan sosok pemikir di belakang layar. Entah itu dinamakan media official, staf khusus, penasihat atau istilah lainnya. Sosok pemikir inilah yang berpikir keras dan cerdas untuk membangun personal branding tersebut.

Sampai-sampai hal detil dipikirkan oleh sosok dimaksud. Misalnya, sosok itu menyarankan kapan "si media darling" harus membasuh wajahnya dengan air laut Miangas, kapan naik mercusuar, kapan "nyemplung" ke sawah, dan bahkan melambai-melambaikan tangannya kepada anak sekolah.

Namun peran sosok pemikir itu adakalanya kalah dengan pembisik politik. Belakangan ini terlihat di publik. Kerja keras sang sosok pemikir untuk menjadikan media darling sebagai figur populis, tiba-tiba runtuh lantaran ada kepentingan politik buat keluarga. Dari altruistik, berubah menjadi egoistik. Kepentingan orang banyak dicampakkan demi kepentingan keluarga.

Mulailah ada sindiran; mahkamah keluarga, Pak Lurah, dinasti politik sampai tukang kayu menebang pohon besar. Rentetan sindiran ini boleh dibilang blunder personal branding dan ini mau tak mau menggeser media darling menjadi media enemy. 

Kata pelaku media, bahwa media membuat musuh. Media menemukan musuh. Media memperbaiki musuh.

Antonim dari "darling" adalah enemy, hate, foe (kata benda) atau horrible (kata sifat). Lawan media darling adalah media enemy. Media tak lagi bersahabat. Media tak lagi menyayangi. Media tak lagi menghormati. Bahkan  media memusuhinya. Sosok media darling itu menjadi sosok musuh media.

Cara memusuhinya tentu beragam. Ada yang masih malu-malu (karena dulu terkesan menyayangi secara membabi buta) sehingga media ini sekadar menunjukkan blunder tanpa komentar tambahan apapun. Ada yang lewat kritik, walau dilawan oleh buzzernya. Ada yang frontal, menunjukkan kekeliruannya secara vulgar. Bahkan ada juga yang terang-terangan balik memusuhi dengan sikap anti sang media darling tersebut.

Dalam bukunya, Wulandari wanti-wanti untuk merawat media darling tersebut. Caranya, jaganya "persahabatan" dengan media lewat hal-hal baik. 

Apa yang dikemukakan Wulandari adalah kunci. Kecuali, jika sudah "cuek" dengan media alias tak butuh media, silakan  saja. Kecemplung media enemy juga tak apa-apa, toh semua sudah usai, di ujung masa kekuasaan.

Tapi merawat itu susah. Salah merawat dia akan mencapai  media enemy. Sayang memang, dia gagal lengser keprabon. Dia yang saya maksud, pembaca tentu bisa menebaknya. (*)

***

*) Oleh : Toto TIS Suparto, Penulis Filsafat Moral.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.