https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Menelisik Praktik Pungli yang Menghambat Kualitas Pendidikan

Kamis, 02 Januari 2025 - 14:38
Menelisik Praktik Pungli yang Menghambat Kualitas Pendidikan Wiwid Tuhu P, SH., MH., Advokat Asmojodipati Lawyer's, dan Aktivis Lembaga Sosiohumaniora Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya," Pramoedya Ananta Toer.

Pendidikan adalah fondasi utama bagi pembentukan karakter dan kemampuan generasi penerus bangsa. Namun, meskipun kita sering kali mendengar bahwa pendidikan adalah jalan utama untuk membangun moralitas dan kecerdasan, kenyataan justru seringkali berbanding terbalik. 

Berita mengenai hakim yang terlibat gratifikasi, polisi yang terlibat narkoba, atau oknum aparatur sipil negara yang terjerat korupsi menggambarkan bahwa pendidikan formal yang telah dilalui para pelaku kejahatan ini tidak selalu berhasil mencetak individu yang berintegritas. Tentu saja, ini menciptakan kekecewaan di masyarakat.

Ironisnya, meskipun pendidikan dianggap sebagai instrumen penting dalam membentuk moral, pendidikan karakter justru seringkali terpinggirkan. Mata pelajaran yang dianggap penting, seperti sains dan matematika, masih mendapat prioritas utama, sementara pendidikan karakter dan budi pekerti lebih banyak terabaikan. 

Akibatnya, banyak anak yang cerdas secara akademis namun kehilangan pegangan moral dan terjerumus dalam perilaku negatif, mulai dari penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, hingga korupsi dan nepotisme ketika dewasa dan memegang posisi kekuasaan.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Nama Aku Tidak Pernah Kotor, mungkin akar masalah terletak pada guru. Bagaimana mungkin kita berharap pendidikan bisa mencetak generasi yang baik, jika guru yang mengajarnya pun tidak mampu menjadi teladan yang baik? 

Seorang guru harus menjadi panutan yang dapat dipercaya, bukan hanya sebagai pencari nafkah semata. Guru yang hanya mengejar kepentingan pribadi, atau bahkan tamak akan keuntungan duniawi, justru bisa menjadi penyebab lahirnya generasi yang tidak bermoral.

Pendidikan dasar, yang menjadi tanggung jawab pemerintah, seharusnya dapat memenuhi standar tersebut. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dengan tegas menyatakan bahwa pendidikan dasar menjadi kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. 

Pemerintah daerah wajib menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai serta memastikan guru-guru yang profesional. Namun, kenyataannya, banyak keluhan terkait pungutan-pungutan yang membebani orang tua murid. Pungutan yang dibungkus dengan istilah "sumbangan" ini kerap kali tidak transparan dan dipaksakan, dengan alasan untuk mendukung operasional sekolah atau penggajian guru.

Praktik pungutan semacam ini tentu tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga menyebabkan diskriminasi sosial di kalangan peserta didik. Mereka yang tidak mampu membayar sering kali merasa tertekan, bahkan takut menolak karena khawatir akan menjadi sasaran perundungan. 

Keadaan ini menghambat mereka untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan merusak perkembangan mental mereka. Hal ini tentu bertentangan dengan amanat pendidikan yang seharusnya bebas dari diskriminasi dan menjamin hak setiap anak untuk belajar tanpa beban finansial.

Karena itu, sudah saatnya kita memperhatikan betul pengelolaan dana pendidikan. Tidak boleh ada lagi praktik pungutan liar yang seolah dianggap wajar. Sebab, jika hal ini terus berlanjut, akan terbentuk persepsi di benak anak-anak bahwa "pungutan liar" adalah hal yang lumrah. 

Bahkan, bisa jadi mereka akan menganggapnya sebagai bagian dari "berkah" atau "terima kasih" untuk mendapatkan pendidikan. Ini tentu berbahaya, karena anak-anak ini akan tumbuh menjadi individu yang tidak kritis terhadap praktik korupsi dan justru mewarisi perilaku yang merugikan bangsa.

Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap praktik ini dan memastikan pelaksanaan pendidikan sesuai dengan ketentuan hukum. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 34 dan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah harus ditegakkan dengan lebih tegas. 

Pungutan yang dilakukan oleh sekolah harus benar-benar bersifat sukarela dan transparan. Semua dana yang dihimpun harus dipertanggungjawabkan dengan jelas kepada masyarakat, terutama kepada orang tua murid.

Selain itu, Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa semua fasilitas pendidikan, termasuk gaji guru, sudah tercukupi oleh dana yang dialokasikan oleh pemerintah pusat, yaitu 20 persen dari APBN. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi dibebani oleh biaya pendidikan yang tidak seharusnya mereka tanggung.

Mengakhiri tulisan ini, kita harus mengingatkan diri kita bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, dan harus dilaksanakan dengan prinsip keadilan, tanpa diskriminasi dan pungutan liar. Jangan biarkan sistem pendidikan kita menjadi ladang subur bagi praktik-praktik yang justru merusak masa depan bangsa.

***

*) Oleh : Wiwid Tuhu P, SH., MH., Advokat Asmojodipati Lawyer's, dan Aktivis Lembaga Sosiohumaniora Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.