https://jatim.times.co.id/
Kopi TIMES

Puasa: Antara Spiritualitas dan Keadaban Publik

Jumat, 07 April 2023 - 09:00
Puasa: Antara Spiritualitas dan Keadaban Publik Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

TIMES JATIM, PROBOLINGGO – Sudah mafhum, bahwa puasa memiliki fungsi untuk melatih spiritualitas kita menjadi lebih tajam dan lebih peka terhadap problem-problem sosial. Pada saat yang sama, puasa juga sebetulnya menjadi medium untuk mengaktualisasikan ihsan kepada sesama. Jadi  wujudnya adalah perilaku keadaban di ruang publik.

Seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an bahwa puasa adalah salah satu upaya atau mekanisme kontrol diri untuk mendekatkan kita kepada Tuhan. Secara tak langsung ayat itu mengatakan bahwa, puasa tidak ada hubungannya dengan makan dan minum, melainkan lebih banyak kepada “bagaimana mendekatkan diri menjadi lebih dekat lagi kepada Allah swt”.

Al-Qur’an sudah mengatakan bahwa Dzat Allah SWT. sendiri lebih dekat pada diri kita (bahkan melebihi dekatnya urat nadi). Pertanyaannya adalah, bisakan manusia merasakan kehadiran sang pencipta dalam setiap tarikan-tarikan nafasnya.

Sebenarnya, kalau kita baca sejarah agama-agama, hampir tidak ada agama di dunia ini yang tidak melakukan puasa, meskipun caranya berbeda-beda. Tetapi intinya, puasa adalah sebuah strategi yang diajarkan pada semua agama (kepercayaan) untuk pendekatan diri kepada Tuhan. Tentu tak lain tujuannya adalah membersihkan jiwa-jiwa yang kotor (yaitu dengan puasa).

Itulah sebabnya, kenapa  Sayyidina Ali bin Abi Thalib selalu mengingatkan bahwa ketika kita berpuasa, maka amal terbaik yang harus kita lakukan adalah memastikan agar kita tidak melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah swt. Inilah sebenarnya yang menjadi “ikon” atau titik kunci.

Sekali lagi, bukan soal urusan makan, minum, dan menaham aktivitas seksual saja (karena ini cuma syarat aja), tetapi lebih dari itu, bagaimana jiwa kita semakin dekat-mendekat kepada Sang Pencipta. Lalu kenapa harus ada pemurnian jiwa (rohani)?

Al-Qur’an surah Asy-Syams ayat 9-10 mengatakan “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” Jadi orang-orang beruntung adalah orang yang mensucikan jiwanya. Dari sinilah awal terbangunnya spiritualitas (menyangkut rohani atau batin).

Dengan demikian, spiritualitas bukan hanya menyangkut sekedar kita  mengatakan saya beragama lalu menunjukkan shalat dan lainnya. Tentu saja tidak. Akan tetapi, dengan cara menghidupkan nilai-nilai yang sudah Allah berikan kepada makhluk-Nya. Sekali lagi bukan cuma hanya shalat dan puasa.

Itu pula sebabnya, dalam banyak hadis dikatakan “Setiap manusia itu dilahirkan dalam kondisi fitrahnya.” Artinya, nilai-nilai yang sudah ada dalam diri kita harus di hidupkan. Misalnya, dengan menanamkan sikap dan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan seterusnya. Jika hal ini (spritualitas) sudah tertanam dengan baik, maka otomatis kita akan menjadi “insan kamil”.

Termasuk yang penting juga dalam berpuasa adalah, bagaimana kita membangun keadaban publik. Akhir-akhir ini, sering kali melihat bahwa tingkat kekerasan dalam masyarakat kita masih cukup tinggi. Bahkan tiap detik kita akan menjumpai beragam bentuk kekerasan. Mulai dari kasus-kasus cara kita berlalu-lintas, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual, hingga soal tindak pidana korupsi, tak terkecuali maraknya peredaran narkoba yang masih menjadi momok.

Bahkan, dengan berkembangnya dunia digital seharusnya bisa membuat kita menjadi lebih sejahtera. Karena bagaimana pun, dengan adanya teknologi digital banyak hal yang memudahkan hidup kita menjadi sejahtera dan mudah seperti, bisa melakukan dagang online dan lain sebagainya. Namun hal ini berbanding terbalik.

Bagaimana tidak! Teknologi yang harusnya di gunakan pada hal-hal positif, tapi oleh anak muda (bahkan orang tua) sekarang justru dibuat untuk kesenangan semata.

 Bisa di pastikan, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi mereka lebih banyak mengoperasikan game dari pada membaca informasi penting dan mengakses bacaan lewat Pdf. Tak hanya itu, “momok” selanjutnya adalah dengan adanya aplikasi TikTok hampir semuanya di pamerkan, termasuk dalam hal urusan ibadah. “Kok kegiatan orang beragama dipamerkan di medsos.”

Kita tahu, TikTok (yang sejak kali pertama di luncurkan tahun 2016 ole Zhang Yiming, asal China) adalah salah satu platform media sosial yang belakangan ini banyak digandrungi kaum Adam dan Hawa. Beragama fitur cukup lengkap di dalamnya, tak terkecuali dengan layanan pengguna untuk membuat video-video pendek, mulai dari 15 detik hingga 1 menit yang tentunya disertai dengan musik-musik ala versi mazhab milenial.

Kebanyakan pengguna dalam konten TikTok sering kali menampilkan gerakan-gerakan yang cukup menarik perhatian dan hasrat kaum Adam seperti, berjoget dengan pakaian mini dan lainnya.

Parahnya, justru konten-konten ini yang viral, bukan konten pengajian atau ceramah. Padahal sudah jelas bahwa mengumbar-umbar aurat hukumnya adalah haram, namun masih saja tetap dilakukan. Yang lebih parah lagi sebenarnya, jika berhijab sambil jogetan (berlebihan) kemudian di poles dengan lagu-lagu islami.

Dengan demikian, jangan heran jika keadaban publik kita hari ini menjadi terganggu dan merosot nilainya akibat ulah (bukan hanya oleh para kalangan milenial dan dewasa saja, bahkan orang-orang yang bergelar Profesor sekalipun menunjukkan) ketidakadabannya dalam kehidupan publik.

Karena itu, pada momentum bulan suci ini, mari kita gunakan dengan sebaiknya untuk menuju dan mencapai ridha Allah, yaitu bertaqwa (meninggalkan sesuatu yang negatif dan mengerjakan yang positif). Dan salah satu indikasi taqwa adalah meningkatnya kualitas spiritualitas (semakin menguat). Yaitu dengan cara berupaya menghidupkan dan menerapkan nilai-nilai yang ada dalam diri kita (nilai ketuhanan).

Lebih dari itu, Ramadan dengan ibadah puasanya, selain menjadi momentum untuk perbaikan diri, juga satu kesempatan emas bagi orang yang merasa memiliki dosa-dosa dihadapan Tuhannya. Karena apabila dosa-dosa itu tidak di ampuni, tentulah ia akan membuahkan penyesalan, kesedihan, dan rasa takut.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Barang siapa yang berpuasa karena iman dan mengharap pahala, maka akan di ampuni segala dosa-dosanya yang berlalu.” (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu a’lam bisshawab.

***

*) Oleh: Salman Akif Faylasuf: Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang  Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.