TIMES JATIM, JAKARTA – Peringatan Hari Ibu kerap dirayakan dengan ungkapan kasih dan simbol penghormatan. Bunga, kartu ucapan, dan unggahan media sosial menjadi bagian rutin dari perayaan tahunan ini. Namun bagi sebuah bangsa, Hari Ibu semestinya lebih dari sekadar seremoni. Ia harus menjadi momentum evaluasi kebijakan negara: sejauh mana pembangunan benar-benar berpihak kepada ibu dan keluarga sebagai fondasi utama ketahanan nasional.
Ibu bukan sekadar aktor domestik, melainkan subjek strategis pembangunan manusia. Dari rumah tangga, kualitas sumber daya manusia dibentuk. Dari ibu, nilai-nilai dasar kehidupan ditanamkan—tentang empati, ketangguhan, disiplin, dan kasih sayang. Karena itu, membicarakan Hari Ibu sejatinya adalah membicarakan arah kebijakan negara dalam melindungi masa depan bangsa.
Sayangnya, dalam praktik pembangunan, peran strategis ibu sering kali tidak diikuti oleh keberpihakan kebijakan yang memadai. Negara masih terlalu sering memosisikan ibu sebagai penanggung beban sosial tanpa dukungan struktural yang adil. Di tengah tekanan ekonomi, disrupsi digital, krisis pangan global, serta perubahan sosial yang cepat, ibu dipaksa beradaptasi sendiri, seolah ketangguhan adalah kewajiban personal, bukan tanggung jawab kolektif negara.
Era disrupsi telah melipatgandakan beban ibu. Selain menjalankan fungsi pengasuhan dan pendidikan anak, banyak ibu juga menjadi penopang ekonomi keluarga. Namun kebijakan ketenagakerjaan, jaminan sosial, kesehatan mental, hingga sistem pendidikan belum sepenuhnya sensitif terhadap realitas ini. Burnout, kelelahan emosional, dan tekanan psikologis menjadi persoalan laten yang jarang masuk dalam agenda kebijakan publik, meski dampaknya sangat nyata dalam kehidupan keluarga.
Padahal, ibu yang sehat dan bahagia adalah prasyarat utama lahirnya keluarga tangguh. Ketahanan keluarga tidak mungkin dibangun di atas kelelahan struktural dan ketidakadilan sosial. Tema Hari Ibu Nasional 2025, “Ibu Sehat dan Bahagia, Lahirkan Keluarga Tangguh”, menegaskan bahwa kesehatan dan kebahagiaan ibu bukan isu privat semata, melainkan isu kebijakan negara yang menentukan arah pembangunan manusia Indonesia .
Persoalannya, pembangunan kita selama ini masih terlalu makro dan maskulin. Ukurannya sering berhenti pada infrastruktur besar, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas fiskal, tetapi abai pada fondasi sosial paling dasar—keluarga. Padahal, keluarga adalah ruang pertama tempat negara sesungguhnya “hadir” atau justru gagal menjalankan fungsinya. Dan di dalam keluarga, ibu adalah aktor sentral yang menentukan apakah nilai, ketahanan, dan harapan dapat tumbuh dengan sehat.
Negara kerap berbicara tentang bonus demografi dan Indonesia Emas 2045. Namun bonus demografi tidak lahir dari statistik, melainkan dari rahim keluarga yang sehat dan stabil. Tanpa ibu yang terlindungi secara fisik dan mental, bonus demografi justru berpotensi berubah menjadi beban sosial: meningkatnya kekerasan, lemahnya literasi, rapuhnya karakter, dan krisis kepercayaan sosial. Keberpihakan kepada ibu, dengan demikian, adalah syarat mutlak agar visi besar pembangunan tidak berhenti sebagai slogan.
Dalam konteks kebijakan publik, keberpihakan itu harus tercermin secara nyata dalam desain regulasi dan anggaran. Negara perlu berani menempatkan isu keluarga dan ibu sebagai indikator keberhasilan pembangunan, bukan sekadar urusan sektoral. Setiap kebijakan ekonomi, pangan, pendidikan, dan kesehatan seharusnya diuji dengan satu pertanyaan mendasar: apakah kebijakan ini memperkuat atau justru melemahkan keluarga, khususnya ibu?
Selama ini, kerja-kerja domestik dan pengasuhan yang dilakukan ibu masih dipandang sebagai “kerja tak terlihat”. Kontribusinya besar, tetapi tidak pernah dihitung secara ekonomi maupun dihargai secara kebijakan. Negara menikmati hasil dari ketangguhan ibu, tetapi sering lupa memberikan perlindungan yang setara. Ketidakadilan struktural ini tidak bisa terus dibiarkan jika kita sungguh-sungguh ingin membangun bangsa yang berkeadilan sosial.
Negara harus melangkah lebih jauh dengan membangun ekosistem kebijakan yang ramah ibu dan keluarga. Kebijakan kesehatan harus menempatkan kesehatan ibu—termasuk kesehatan mental—sebagai prioritas nasional dengan layanan yang mudah diakses dan merata. Kebijakan pangan dan ekonomi harus berpihak pada rumah tangga, karena di sanalah ketahanan pangan nasional sesungguhnya dijaga setiap hari. Kebijakan pendidikan harus membangun kemitraan antara negara, sekolah, dan keluarga, bukan melempar seluruh tanggung jawab pembentukan karakter kepada ibu.
Lebih dari itu, kebijakan perlindungan sosial harus sensitif terhadap realitas keluarga modern. Jaminan sosial, perlindungan maternitas, dan dukungan bagi ibu dalam berbagai kondisi kehidupan tidak boleh dipandang sebagai beban anggaran, melainkan sebagai investasi jangka panjang bagi kualitas generasi bangsa. Negara yang kuat adalah negara yang berani melindungi fondasi sosialnya.
Di tengah krisis global—ketidakpastian ekonomi, konflik geopolitik, hingga perubahan iklim—ketahanan nasional tidak lagi bisa dimaknai secara sempit. Ketahanan bangsa hari ini sangat ditentukan oleh ketahanan sosial di tingkat keluarga. Negara yang gagal melindungi ibu dan keluarga sejatinya sedang membiarkan fondasi bangsanya retak secara perlahan.
Karena itu, Hari Ibu harus dimaknai sebagai momentum politik kebijakan. Momentum untuk menata ulang prioritas pembangunan agar lebih manusiawi, berkeadilan, dan berorientasi pada keluarga. Menghormati ibu bukan sekadar persoalan etika sosial, melainkan keputusan politik yang menentukan arah masa depan bangsa.
Jika negara sungguh ingin hadir di rumah tangga, maka keberpihakan kepada ibu harus terlihat nyata dalam kebijakan, anggaran, dan implementasi program. Bukan hanya dalam ucapan dan simbol tahunan. Sebab dari rumah tangga yang kuat, dengan ibu yang sehat dan bahagia, Indonesia akan menemukan ketangguhannya yang paling sejati.
Secara konstitusional, kehadiran negara di rumah tangga bukanlah pilihan, melainkan mandat. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan tujuan negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Perlindungan itu bermula dari unit paling dasar bernama keluarga. Dan di dalam keluarga, ibu adalah poros utama yang menentukan apakah perlindungan dan kesejahteraan itu benar-benar hadir atau hanya berhenti sebagai norma hukum.
Lebih jauh, amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak mungkin diwujudkan tanpa keberpihakan nyata kepada ibu. Kecerdasan bangsa tidak hanya lahir dari ruang kelas dan kebijakan pendidikan formal, tetapi dari lingkungan keluarga yang sehat secara fisik, mental, dan sosial. Negara yang membiarkan ibu menanggung beban struktural tanpa dukungan kebijakan sejatinya sedang mengingkari mandat konstitusinya sendiri.
Karena itu, Hari Ibu harus ditempatkan sebagai momentum konstitusional untuk menata ulang arah pembangunan. Menghadirkan negara di rumah tangga berarti memastikan setiap kebijakan publik—dari pangan, kesehatan, pendidikan, hingga perlindungan sosial—berpihak pada penguatan keluarga dan perlindungan ibu. Di sanalah tujuan bernegara menemukan maknanya yang paling konkret: negara bekerja bukan hanya di gedung-gedung kekuasaan, tetapi hadir nyata di ruang paling sunyi kehidupan warga—rumah tangga Indonesia.
*) oleh: Johan Rosihan , Wakil Ketua Badan Penganggaran MPR RI, Sekretaris FPKS MPR RI
| Pewarta | : xxx |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |