TIMES JATIM, JAKARTA – Memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2025 saya ingin memulai tulisan ini dengan menuangkan refleksi filosofis pendidikan.
Buku The Story of Philosophy yang ditulis oleh Will Durrant menyebutkan bahwa salah satu tokoh besar dalam filsafat pendidikan adalah Socrates. Socrates mengatakan ada dua kerangka ide jika kita berbicara pendidikan. Pertama, menyangkut metode pendidikan, kedua mengenai salah satu tuntutan (syarat penting) dalam proses dan hasil didik.
Yang dimaksud Socrates mengenai metode pendidikan itu ialah peranan pendidik dalam membantu peserta didiknya untuk mengaktualisasi diri sehingga peserta didik memancarkan (keluar potensi pengetahuan) yang dimilikinya.
Suksesnya program dan proses didik itu ditentukan oleh kemampuan pendidik dalam menuntun peserta didik melahirkan potensi-potensi dasar dan kodrati yang dimilikinya. Salah satu cara untuk dapat mewujudkan hal tersebut kata Socrates dapat dilakukan melalui metode dialog diantara guru dan murid.
Kemudian mengenai tuntutan dan syarat penting dalam seluruh proses dan hasil didik ialah dengan teknik dialogis. Melalu teknik dialogis ini diharapkan peserta didik dapat dituntun menuju ke proses pengenalan akan diri sendiri, gnoti se auton oleh pendidik.
Pengenalan akan diri adalah salah satu tuntutan dan syarat penting agar manusia dapat hidup dan bertindak sebagai makhluk rasional dan moral. Tanpa tahapan pengenalan akan diri sendiri, tentu sulit dibayangkan manusia bisa bertindak dan hidup secara rasional dan moral. Singkatnya, manusia bisa mencapai keadaan dan kesadaran seperti itu lewat proses refleksi yang dilakukan secara terus menerus atas hidupnya.
Pengenalan diri merupakan hal paling fundamental dari kemajuan dalam proses didik. Hal tersebut hanya didapati melalui proses refleksi dan kontemplasi, lewat perenungan akan hidup yang dijalani dan diri sendiri.
Ide yang disebut oleh Socrates di atas, tentu saja selaras dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang menyebut bahwa pendidikan harus disesuaikan dengan keadaan, baik lingkungan alam maupun kondisi zaman.
Dengan memadukan dan merealisasikan ide serta konsep-konsep dasar pendidikan Socrates dan Ki Hajar Dewantara, dapat dipastikan Indonesia akan sangat siap menyambut Indonesia Emas 2045. Sebab bagaimanapun, pendidikan menjadi kunci utama bagi perubahan. Namun tetntu dengan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
Ide dan konsep ini tidak saja berlaku di ruang-ruang pendidikan formal, tetapi berlaku di setiap tempat. Termasuk di organisasi yang basis serta ruhnya adalah kaderisasi.
Fakta dan realitas yang kita saksikan dengan jelas hari ini, ending pendidikan kita justru mengantarkan kita pada jurang kesenjangan sosial. Bayangkan, setiap tahunnya orang-orang berpendidikan dicetak oleh negara, tetapi perubahan pada diri sendiri juga tak kunjung terlihat. Pengangguran masih terus mengintai manusia-manusia yang berpendidikan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mempresentasikan jumlah pengangguran sarjana di Indonesia pada tahun 2023 dan 2024 yang mengalami peningkatan. Pada tahun 2023, tingkat pengangguran sarjana (D4, S1, S2, S3) adalah 5,18%, sedangkan pada tahun 2024 meningkat menjadi 5,25%. Dalam angka absolut, jumlah sarjana yang menganggur pada Agustus 2024 mencapai 842.378 orang, naik dari 842.378 orang pada Februari 2024.
Kondisi ini tentu saja harus menjadi ruang refleksi bagi kita bersama, ada apa sesungguhnya dengan pendidikan kita? Mengapa pengangguran masih banyak ditemui dikalangan orang berpendidikan?
Adakah sistem pendidikan atau kadeeisasi kita yang tidak relevan dengan kebutuhan dan tantangan zaman ke depan sehingga kita tidak berkesempatan untuk mengimplementasikan setiap nilai dari hasil pendidikan panjang yang kita lalui? Mari refleksikan.
Socrates pernah berkata “Hidup yang tidak direfleksi tidak layak dihidupi.” maka syarat agar hidup kita layak dihidupi, harus direfleksi secara terus menerus. Visi ini jelas mengandung tendensi anti kemapanan, selalu dinamis, aktif, terus bergerak, tumbuh dan berkembang. Jangan sampai terjerat pada posisi yang stagnan.
Tetapi apa sih sesungguhnya yang disebut releksi? Refleksi berarti bergerak mundur untuk merenungkan kembali apa yang sudah terjadi dan dilakukan. Ini adalah suatu yang harus dilakukan dengan sadar dan terencana. Tidak spontan.
Untuk itu perlu diberi ruang dan peluang. Di sana orang merenungkan apa yang sudah dilakukannya. Gerak mundur ini harus dilakukan agar kita mendapat kekuatan baru untuk melangkah ke depan.
Analoginya seperti anak panah, saat kita ingin menembakan anak panah dari jarak yang paling jauh, maka agar sesuai atau paling tidak mendekati dengan posisi yang kita inginkan, kita perlu menarik mundur anak panah beserta tali busurnya untuk mengambil ancang-ancang agar dapat melesak ke depan menuju sasaran.
Refleksi ini harus dilakukan sebab hanya dengan itu orang bisa mengetahui dan mendalami secara kritis apa yang selama ini terjadi dan dilakukan. Untuk itu, perlu disediakan waktu di ujung kegiatan. Bagi pendidik dan peserta didik misalnya bisa dilakukan di pertengahan semester atau akhir semester. Dalam ruang dan waktu itu pendidik bisa merenungkan apa yang ia lakukan selama ini. Begitu juga dengan peserta didik.
Refleksi ini perlu dilakukan agar masing-masing pihak bisa mengadakan koreksi dan dengan bekal koreksi itu bisa merancang aksi baru dan lebih baik di masa depan.
Melalui refleksi di atas, saya terigat bahwa ada yang disebut sebagai lingkaran hermeneutik aksi-refleksi-aksi. Kalau meminjam diksi Teologi Pembebasan Gustavo Guttierez atau filsafat pendidikannya Paolo Freire, dengan gagasannya yang terkenal dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Sebagai Praxis Pembebasan, lingkaran hermeneutik aksi-refleksi-aksi ini menjadi penting dan harus dilakukan agar jangan sampai setiap orang mengulang kesalahan yang sama. Disinilah sejarah dan pengalaman disebut sebagai guru yang baik.
Pendidikan berkualitas sangat penting untuk menyiapkan Generasi Emas Indonesia. Generasi yang cerdas, kompeten, dan berdaya saing. Dengan pendidikan yang bermutu dan berkualitas, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang membawa kemajuan bagi bangsa dan negaranya.
Tugas pendidikan bukan hanya tugas guru dan keluarga, tetapi ini tugas bersama. Seringkali dalam perjalanannya etika, moral dan sikap itu terbentuk oleh kondisi sosial atau lingkungannya.
Harapan dari kesemuanya itu dapat dilakukan dengan cara menginternalisasi kemdian merealisasikan setiap nilai yang diajarakan oleh Socrates dan Ki Hajar Dewantara. Pola pendidikan atau pola kaderisasi yang terstruktur dan terarah akan memudahkan setiap orang mencapai target dan tujuannya.
Dimulai dari pendidik kemudian diikuti oleh peserta didik. Dimulai dari pengurus diikuti oleh anggota dan begitu seterusnya. Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua
***
*) Oleh : Erlangga Abdul Kalam, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |