https://jatim.times.co.id/
Opini

Pena Hukum dan Godaan Kuasa bagi Notaris

Senin, 29 Desember 2025 - 15:29
Pena Hukum dan Godaan Kuasa bagi Notaris Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.

TIMES JATIM, MALANG – Di balik setiap akta yang ditandatangani, ada kepercayaan publik yang dipertaruhkan. Notaris bukan sekadar penulis dokumen, melainkan penjaga gerbang kepastian hukum. Ia bekerja dengan pena, tetapi dampaknya bisa menentukan nasib tanah, usaha, bahkan masa depan keluarga. 

Ketika profesi notaris diguncang isu etik, konflik kepentingan, atau dugaan penyalahgunaan kewenangan, yang sesungguhnya terguncang bukan hanya satu profesi, melainkan fondasi kepercayaan hukum itu sendiri.

Notaris ditempatkan negara pada posisi yang terhormat sekaligus berat. Undang-undang memberinya kewenangan untuk membuat akta autentik dokumen yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna. 

Dalam bahasa sederhana, apa yang ditulis notaris dipercaya sebagai kebenaran hukum sampai dibuktikan sebaliknya. Di titik inilah, notaris ibarat juru tulis peradaban: satu kesalahan goresan dapat berubah menjadi sengketa panjang, satu kelalaian bisa menjelma petaka hukum.

Namun realitas tidak selalu seideal teks undang-undang. Dalam praktik, profesi notaris kerap berada di pusaran kepentingan ekonomi dan kekuasaan. Transaksi bernilai besar, konflik agraria, perebutan aset, hingga kepentingan korporasi sering menjadikan notaris sebagai simpul strategis. Ketika integritas rapuh, notaris bisa tergelincir dari penjaga hukum menjadi alat legitimasi kepentingan sepihak.

Salah satu isu krusial adalah kecenderungan notaris terjebak pada logika “klien adalah raja”. Padahal, dalam etika profesi, notaris tidak bekerja untuk menyenangkan klien, melainkan untuk memastikan perbuatan hukum berjalan sesuai aturan. 

Notaris bukan advokat yang berpihak, melainkan pejabat umum yang harus berdiri di tengah netral, objektif, dan berjarak. Ketika jarak itu hilang, notaris kehilangan martabatnya.

Isu lain yang kerap mencuat adalah praktik pembuatan akta tanpa kehati-hatian maksimal: verifikasi data yang longgar, kehadiran pihak yang tidak jelas, hingga penandatanganan yang hanya formalitas. 

Akta lalu berubah menjadi topeng legal yang menutupi cacat substansi. Dalam jangka pendek, mungkin menguntungkan pihak tertentu. Namun dalam jangka panjang, akta semacam ini adalah bom waktu yang meledak di ruang pengadilan.

Tak jarang pula notaris terseret perkara pidana atau perdata akibat akta yang dibuatnya. Ini menandakan dua hal sekaligus: lemahnya kesadaran etik dan rapuhnya sistem pengawasan. Padahal, notaris memiliki organisasi profesi dan mekanisme Majelis Pengawas yang seharusnya menjadi pagar integritas. Jika pagar ini longgar, maka penyimpangan akan terus menemukan celah.

Namun kritik terhadap notaris tidak boleh berhenti pada vonis moral semata. Ada persoalan struktural yang perlu dibenahi. Beban administrasi yang berat, tuntutan ekonomi praktik, hingga kompetisi tidak sehat antar-notaris sering mendorong pragmatisme. Ketika profesionalisme dikalahkan oleh target finansial, etika pun terancam menjadi hiasan dinding, bukan pedoman hidup.

Di sisi lain, masyarakat juga sering memosisikan notaris secara keliru. Tidak sedikit pihak yang datang dengan niat mencari “jalan pintas” legal, berharap notaris menjadi tukang stempel kepentingan. Ketika harapan itu ditolak, notaris dianggap menghambat. Padahal, justru di situlah notaris menjalankan fungsi sucinya: melindungi hukum dari manipulasi.

Notaris sejatinya adalah benteng terakhir sebelum sengketa terjadi. Ketelitian notaris hari ini adalah pencegahan konflik di masa depan. Akta yang dibuat dengan jujur, cermat, dan beretika adalah investasi ketertiban hukum. Sebaliknya, akta yang lahir dari kelalaian atau keberpihakan adalah benih konflik sosial yang mahal biayanya.

Karena itu, isu notaris harus dibaca sebagai panggilan pembenahan. Pendidikan kenotariatan tidak cukup hanya mengasah kemampuan teknis, tetapi juga membentuk karakter dan keberanian etik. Notaris harus berani berkata “tidak” pada perbuatan hukum yang cacat, meski berisiko kehilangan klien. Sebab kehormatan profesi jauh lebih mahal daripada honor sesaat.

Negara dan organisasi profesi juga harus memperkuat pengawasan dengan pendekatan pembinaan, bukan sekadar penghukuman. Transparansi, audit etik, dan literasi hukum publik perlu diperluas. Semakin paham masyarakat tentang fungsi notaris, semakin kecil ruang manipulasi yang bisa terjadi.

Notaris adalah wajah hukum di tingkat paling konkret. Ia hadir bukan di ruang sidang megah, tetapi di meja kecil tempat orang menaruh harapan akan kepastian. Jika wajah itu retak, kepercayaan publik ikut runtuh. Namun jika notaris mampu menjaga integritasnya, maka hukum tidak hanya tertulis di kertas, tetapi hidup dalam rasa keadilan.

Di persimpangan etika dan kuasa inilah notaris diuji. Apakah ia akan menjadi pena hukum yang jujur, atau sekadar alat yang menari mengikuti kepentingan. Pilihan itu, pada akhirnya, akan menentukan apakah hukum tetap berdiri tegak, atau perlahan kehilangan wibawanya.

***

*) Oleh : Agam Rea Muslivani, S.H., Praktisi Hukum Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.