https://jatim.times.co.id/
Opini

Pendidikan di Tengah Racun Media Sosial

Selasa, 30 Desember 2025 - 20:35
Pendidikan di Tengah Racun Media Sosial Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

TIMES JATIM, BOJONEGORO – Pendidikan hari ini sedang diuji bukan hanya oleh kurikulum, fasilitas, atau metode belajar, melainkan oleh sesuatu yang tak kasatmata namun sangat berpengaruh: arus konten media sosial. Jika sekolah adalah ruang pembentukan nalar, maka media sosial kerap menjadi lorong gelap yang diam-diam meracuni karakter anak didik. Di sanalah nilai diuji, bukan lewat soal pilihan ganda, tetapi melalui tontonan yang dikonsumsi setiap hari.

Anak-anak dan remaja hidup di zaman ketika layar lebih sering menyapa daripada guru, dan algoritma lebih rajin membimbing daripada orang tua. Media sosial menjelma menjadi “kurikulum bayangan” yang bekerja tanpa silabus, tanpa evaluasi moral, tetapi sangat efektif membentuk sikap, bahasa, bahkan cara berpikir. Ironisnya, pendidikan karakter yang diajarkan dengan susah payah di sekolah sering runtuh hanya oleh satu video viral berdurasi satu menit.

Konten negatif—mulai dari ujaran kebencian, kekerasan verbal, glorifikasi gaya hidup instan, hingga normalisasi perilaku menyimpang—masuk tanpa filter ke ruang psikologis anak didik. Mereka belajar bukan dari keteladanan, melainkan dari sensasi. Yang viral dianggap benar, yang populer disangka patut ditiru. Dalam situasi ini, pendidikan karakter seperti menanam benih di tanah yang terus disiram racun.

Sekolah sering kali terjebak pada rutinitas simbolik pendidikan karakter. Spanduk nilai moral dipajang, slogan etika diteriakkan, tetapi realitas di luar gerbang sekolah bergerak jauh lebih agresif. Anak diajarkan sopan santun di kelas, namun di dunia maya mereka menyaksikan caci maki dipuja sebagai keberanian. Mereka diminta jujur saat ujian, tetapi setiap hari melihat manipulasi dipertontonkan tanpa rasa bersalah.

Di sinilah pendidikan karakter menghadapi ujian paling berat: berhadapan dengan ekosistem digital yang tidak netral. Media sosial tidak hanya menyajikan informasi, tetapi membentuk preferensi, emosi, dan identitas. Anak didik tidak sekadar menjadi pengguna, melainkan objek dari industri atensi yang menjadikan kontroversi sebagai komoditas.

Masalahnya, banyak pendidik dan institusi pendidikan masih memandang media sosial sebagai urusan sampingan, bukan medan utama pembentukan karakter. Padahal, pertarungan nilai hari ini justru berlangsung di ruang digital. Jika sekolah tidak hadir di sana secara konseptual dan pedagogis maka karakter anak akan dibentuk sepenuhnya oleh logika pasar dan algoritma.

Pendidikan karakter tidak bisa lagi diajarkan sebatas hafalan nilai atau seremonial upacara. Ia harus menjadi proses kritis yang membekali anak dengan kemampuan memilah, bukan sekadar menerima. Literasi digital harus naik kelas: bukan hanya soal cara menggunakan teknologi, tetapi bagaimana bersikap etis, berpikir reflektif, dan bertanggung jawab di ruang digital.

Guru tidak cukup menjadi pengajar, tetapi harus menjadi penuntun moral di tengah kebisingan informasi. Pendidikan harus mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu bernilai, dan tidak semua yang populer itu patut ditiru. Anak didik perlu diajak berdialog, bukan digurui dilatih untuk bertanya, bukan hanya patuh.

Peran keluarga pun tak kalah penting. Rumah adalah sekolah pertama karakter. Namun, banyak orang tua yang menyerahkan sepenuhnya pendidikan nilai kepada sekolah, sementara di rumah gawai dibiarkan menjadi pengasuh utama. Tanpa pengawasan dan keteladanan, anak tumbuh dalam kontradiksi: dilarang berkata kasar di rumah, tetapi bebas mengonsumsinya di layar.

Negara juga memikul tanggung jawab besar. Regulasi perlindungan anak di ruang digital harus ditegakkan secara serius, bukan sekadar menjadi dokumen normatif. Platform media sosial tidak boleh lepas tangan atas dampak konten yang mereka sebarkan. Pendidikan karakter akan pincang jika negara membiarkan ruang digital menjadi pasar bebas nilai.

Pendidikan karakter di era media sosial adalah perjuangan menjaga nurani di tengah banjir distraksi. Ini bukan soal memusuhi teknologi, melainkan menaklukkannya dengan kebijaksanaan. Anak didik tidak boleh dibiarkan berenang sendiri di lautan konten tanpa kompas moral.

Jika pendidikan gagal menjawab tantangan ini, maka kita akan melahirkan generasi yang cerdas secara teknis tetapi rapuh secara etis. Generasi yang mahir berbicara, tetapi miskin empati. Aktif di media sosial, tetapi pasif dalam tanggung jawab sosial.

Ujian pendidikan hari ini bukan lagi seberapa tinggi nilai akademik, melainkan seberapa kuat karakter bertahan dari racun konten negatif. Sebab masa depan bangsa tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan otak, tetapi oleh keteguhan akhlak di tengah godaan zaman digital yang tak pernah tidur.

***

*) Oleh : Ida Fauziyah, Guru MI Alam Al Azhar Sumberrejo, Bojonegoro.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.