TIMES JATIM, MALANG – Wakil rakyat adalah amanah. Ia bukan jabatan yang sekadar memindahkan posisi seseorang dari warga biasa ke kursi bertenaga, tetapi peran yang menuntut keberanian, kepekaan, dan konsistensi dalam memperjuangkan kebutuhan publik.
Di tengah dinamika sosial yang semakin kompleks, fungsi kerakyatan DPRD menjadi semakin krusial: memastikan pemerintah bekerja untuk rakyat, memantau agar anggaran benar-benar menyentuh kebutuhan dasar, dan menjadi penyambung suara masyarakat yang sering kali tidak terdengar.
Namun dalam praktiknya, tugas kerakyatan ini kerap mengalami penyempitan makna. Banyak yang melihat reses, pokok pikiran, hingga agenda kunjungan lapangan sebagai kegiatan seremonial, bukan instrumen advokasi kebijakan.
Padahal, wakil rakyat seharusnya hadir bukan hanya untuk mencatat aspirasi, tetapi memastikan aspirasi itu benar-benar bergerak menjadi program, masuk dalam dokumen anggaran, dan diawasi pelaksanaannya. Tanpa itu semua, keberadaan wakil rakyat hanya menjadi pelengkap dari sistem demokrasi, bukan penjaga utamanya.
Di tengah kritik terhadap fungsi representasi yang sering melemah, ada figur yang tetap menempatkan kerja kerakyatan sebagai fondasi utama. Di Kota Malang, Putri Aidillah Nurfitriyah Kriswanto anggota Komisi D DPRD menjadi salah satu contoh wakil rakyat yang memahami bahwa kerja politik tidak boleh jauh dari kebutuhan warga.
Komisi D yang membidangi pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat memang menuntut kepekaan lebih besar, dan Putri menjadikan ruang ini sebagai titik konsentrasi untuk memperbaiki kualitas hidup warga, khususnya kelompok rentan.
Komitmen Putri terlihat dari bagaimana ia memanfaatkan ruang reses bukan sekadar rutinitas, tetapi forum dialog yang setara. Banyak warga mengakui bahwa ia termasuk yang konsisten mengurai persoalan masyarakat secara detail, mencatat hal-hal kecil yang mungkin luput dari pandangan pejabat eksekutif.
Cara kerjanya menunjukkan bahwa wakil rakyat harus punya kemampuan untuk mendengar sebelum berbicara, memahami persoalan sebelum turun memberikan solusi. Ini praktik representasi yang semakin langka.
Dalam isu pendidikan, Putri sering menyoroti kesenjangan kualitas antarsekolah, persoalan tenaga pendidik honorer, hingga efektivitas penggunaan anggaran pendidikan daerah. Baginya, pemerataan akses pendidikan bukan hanya indikator kinerja pemerintah, tetapi penanda apakah sebuah kota benar-benar memanusiakan generasi mudanya.
Sikap kritisnya dalam setiap rapat kerja memperlihatkan bahwa fungsi anggaran dan pengawasan bukan sekadar prosedur, melainkan perjuangan nyata agar setiap rupiah APBD memberi manfaat maksimal.
Begitu pula pada sektor kesehatan. Putri secara konsisten mendorong pelayanan kesehatan primer lebih diperkuat baik puskesmas, layanan promotif-preventif, hingga kesiapan fasilitas kesehatan terhadap kelompok rentan.
Kritiknya terhadap alur rujukan, kualitas layanan, serta pemanfaatan anggaran kesehatan membuat diskusi di Komisi D tidak pernah hambar. Ia sering mengingatkan bahwa kesehatan bukan hanya program teknis, tetapi hak dasar warga yang harus dipenuhi negara.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, Putri juga menjadi salah satu legislator yang memahami bahwa data kemiskinan, akses bantuan, serta program peningkatan pendapatan warga harus berbasis fakta, bukan sekadar daftar yang diperbarui setiap tahun.
Di beberapa kesempatan ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas OPD agar program sosial tidak berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling menguatkan.
Keteladanan seperti ini penting diangkat, bukan untuk sekadar pujian, tetapi sebagai penanda bahwa wakil rakyat masih punya ruang untuk bekerja baik. Masih ada yang menunjukkan bahwa politik tidak identik dengan kepentingan pribadi, tetapi ruang untuk memperjuangkan kebutuhan warga secara konkret.
Namun, apresiasi ini tidak berarti bahwa kita boleh berhenti memberi kritik. Justru kinerja seperti Putri perlu dijadikan tolok ukur bagi seluruh wakil rakyat. Sebab tugas kerakyatan DPRD bukan hanya mendengar aspirasi, tetapi memastikan aspirasi itu menjadi kebijakan yang berpihak.
Bukan hanya menyampaikan laporan, tetapi memastikan anggaran publik dikelola seefektif mungkin. Bukan hanya hadir di acara masyarakat, tetapi benar-benar hadir dalam kehidupan masyarakat melalui kerja kebijakan yang kuat.
Tantangan wakil rakyat ke depan tidak akan mudah. Kota terus tumbuh, kebutuhan publik semakin kompleks, dan ekspektasi masyarakat terhadap transparansi semakin tinggi.
Dalam situasi ini, wakil rakyat harus mampu bekerja lintas sektor, memahami data, berpikir visioner, dan tetap menjaga integritas. Politik masa kini menuntut lebih dari sekadar pandai berbicara: ia menuntut keberanian untuk memperjuangkan hal-hal yang tidak populer tetapi penting bagi warga.
Putri telah menunjukkan langkah awal bahwa politik yang sehat masih mungkin. Bahwa keberpihakan kepada warga dapat hadir dalam keputusan anggaran, dalam dorongan pada kebijakan pendidikan yang inklusif, dalam desakan peningkatan layanan kesehatan, serta dalam kerja-kerja kecil yang jarang terlihat tetapi berdampak pada masyarakat.
Kini, tugas publik adalah terus mengawal, memberi masukan, dan menegur bila perlu. Demokrasi yang sehat tidak hanya menunggu wakil rakyat bekerja, tetapi memastikan mereka tetap berada di jalur kerakyatan itu sendiri.
Jika semakin banyak legislator mengambil jalan seperti Putri kritis, konsisten, dan dekat dengan kebutuhan warga maka harapan terhadap lembaga DPRD akan pulih, dan politik akan kembali pada tujuan mulianya: menyejahterakan rakyat.
***
*) Oleh : Ach Nur Fairuzie, Mahasiswa Universitas Islam Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |