https://jatim.times.co.id/
Opini

Pesantren Menjaga Ruh, NU Menjaga Arah

Sabtu, 15 November 2025 - 23:32
Pesantren Menjaga Ruh, NU Menjaga Arah Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

TIMES JATIM, BONDOWOSO – Dalam pandangan sufistik, setiap lembaga yang lahir dari niat yang ikhlas adalah tajalli (pancaran) dari kehendak Ilahi. Maka pesantren dan Nahdlatul Ulama bukan sekadar institusi sosial, melainkan wadah manifestasi dua sisi jalan ruhani: tazkiyah (penyucian diri) dan islah (pembenahan masyarakat). 

Pesantren menjaga ruh, karena di dalamnya berlangsung proses tazkiyatun nafs pembersihan jiwa melalui ilmu, adab, dan khidmah. Kiai sebagai mursyid mendidik bukan hanya akal santri, tapi juga hatinya. 

Santri diajari fana’ dalam pengabdian, sabar dalam belajar, dan tawadhu’ dalam menerima ilmu. Dalam pandangan sufi, ruh ilmu hanya akan masuk pada hati yang suci; karena itu, pesantren adalah medan riyadhah (latihan batin) yang menumbuhkan cahaya keikhlasan.

Sementara NU menjaga arah, karena ia memegang peran islahul ummah memperbaiki kehidupan sosial tanpa meninggalkan nilai-nilai ruhani. Dalam tasawuf, amal sosial bukan sekadar kerja lahiriah, tetapi perpanjangan dari niyyah lillah. 

Maka NU menjadi jalan khidmah jama‘iyyah  pengabdian kolektif yang berakar dari cinta kepada Allah dan makhluk-Nya. Dalam bahasa Ibnu ‘Athaillah: “Tidaklah tampak amal di dunia luar kecuali berasal dari rahasia yang tersembunyi di dalam hati.” 

Dari sisi tasawuf, pesantren adalah maqām al-nafs, tempat pembentukan kesadaran dan pembersihan batin; sedangkan NU adalah maqam al-‘amal, ruang aktualisasi amal kebajikan yang lahir dari kesucian itu. Jika pesantren kehilangan ruhnya, amal NU akan kehilangan arah. Jika NU kehilangan arah, ruh pesantren akan kehilangan ruang pengabdian. 

Dengan demikian, pesantren dan NU adalah dua cermin satu wajah: pesantren menumbuhkan kesadaran batin (dimensi vertikal, hubungan dengan Allah), sementara NU mengarahkan kesadaran sosial (dimensi horizontal, hubungan dengan sesama). Maka keseimbangan keduanya adalah bentuk tawāzun sufistik keseimbangan antara dzikir dan fikir, antara ibadah dan khidmah, antara batin dan lahir.

“Jika ruh terjaga, arah tidak akan hilang. Jika arah lurus, ruh akan semakin bercahaya.”

Di tengah derasnya arus perubahan zaman, ketika nilai-nilai lama dianggap kuno dan tradisi seolah kehilangan tempat, pesantren justru tetap tegak. Ia tampak sederhana, bahkan usang  tapi di balik kesederhanaannya, berdenyut ruh yang tak pernah padam. Seperti lentera kecil di tengah malam panjang, pesantren memancarkan cahaya yang tidak menyilaukan, tapi menuntun langkah.

Pesantren tidak dibangun dari ideologi, tetapi dari cinta kepada ilmu, kepada guru, dan kepada Tuhan. Ia tumbuh dari tradisi tafaqquh fi al-din, mendalami agama dengan kesadaran bahwa ilmu tanpa adab hanyalah riak tanpa sumber. Karena itu, pesantren bukan hanya tempat belajar, melainkan taman adab. 

Di sanalah kiai menjadi teladan, bukan karena jabatannya, tetapi karena ibda’ binafsik memulai dari diri sendiri. Dulu, santri belajar kerja bakti bukan karena perintah, melainkan karena melihat kiainya menyapu halaman sebelum fajar. 

Kini, tradisi itu jarang tampak, tapi ruhnya masih bernafas di hati mereka yang mengerti makna pengabdian. Semua itu terjadi karena Ada pergeseran maqam (ruang yang penuh nilai keikhlasan), dari maqām al-khidmah (pengabdian nyata) menuju maqām al-syuhrah (pencitraan). karena dunia modern sekarang ini menggeser amal menjadi wacana.

Sementara itu, Nahdlatul Ulama’ lahir sebagai wadah silaturahim para masyayikh bukan proyek politik, melainkan pertemuan hati para pewaris nabi. Di dalamnya menyatu tiga arus besar: kebangkitan pedagang yang berjuang dalam ekonomi rakyat, pergolakan pemikiran yang mempertahankan keseimbangan antara teks dan konteks, serta kebangkitan tanah air yang menegaskan bahwa cinta Indonesia adalah bagian dari iman. Maka NU sejatinya bukan hanya organisasi, tetapi ikatan batin para ulama yang bersepakat untuk menjaga arah umat.

Pesantren menjaga ruh, NU menjaga arah. Keduanya bagai dua sayap seekor burung yang terbang menuju ketinggian makna.

Namun zaman terus berubah. Kiai tidak lagi seutuhnya seperti dulu; sebagian terjebak dalam pusaran kepentingan, sebagian lain kehilangan ruang karena kekuasaan berbicara lebih nyaring dari kebijaksanaan. 

Dunia pesantren pun mulai mengalami fragmentasi: satu tujuan berubah menjadi banyak kepentingan. NU pun diguncang oleh perbedaan pandangan yang mudah dimanfaatkan oleh kepentingan luar. Tapi di tengah semua itu, fakta yang tak terbantahkan ialah: pesantren tidak punah, NU tidak tumbang. 

Mengapa? Mungkin benar seperti yang dicurigai sebagian hati yang jernih: ini semua “by design”. Tapi tidak seluruhnya oleh tangan manusia. Ada desain sosial, iya, kepentingan politik yang mencoba mengatur arah umat. 

Namun di atas semua itu, ada desain Ilahi yang lebih halus: Allah sendiri yang menjaga warisan para kekasih-Nya. Sebagaimana sabda Nabi, “Allah menjaga umat ini melalui para wali-Nya, meskipun mereka sendiri tidak saling mengenal.” 

Maka setiap keretakan hanyalah ujian bagi keikhlasan. Setiap perpecahan adalah cermin untuk menata niat. Pesantren diuji agar ruhnya kembali murni, NU diuji agar arah perjuangannya tetap lurus. Sebab kekuatan keduanya tidak terletak pada struktur, tetapi pada doa orang-orang ikhlas yang tidak dikenal sejarah. 

NU akan tetap eksis karena di dalamnya masih hidup dzikir, istighotsah dan shalawat yang mengikat batin umat. Pesantren akan tetap hidup karena masih ada kiai-kiai sunyi yang mengajar dengan sabar, menyiram taman batin para santri di tengah gersangnya zaman.

Dan di atas semua itu, ada rahasia yang terus menjaga keduanya: barokah. Barokah yang lahir dari pengabdian, bukan dari promosi; dari kesetiaan pada ilmu, bukan pada kekuasaan; dari kesederhanaan yang tulus, bukan dari kemegahan yang palsu. 

NU lahir dari silaturahim para masyayikh, pesantren hidup dari keteladanan para kiai. Jika silaturahim dan keteladanan itu dijaga, maka keduanya tak akan pernah usang  sebab barokah tidak mengenal zaman.

***

*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.