TIMES JATIM, MALANG – Reformasi Polri kembali menjadi diskursus penting di tengah meningkatnya tuntutan publik terhadap transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas aparat penegak hukum. Transformasi institusi ini memang bukan agenda baru, tetapi setiap momentum sosial mulai dari isu kekerasan berlebihan, pelayanan publik yang belum merata, hingga tantangan kejahatan digital menghadirkan urgensi baru untuk meninjau ulang arah pembenahan institusi kepolisian. Reformasi Polri bukan soal membangun citra, melainkan memastikan bahwa polisi bekerja dalam rel yang demokratis, modern, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Sejak awal era reformasi, Polri telah melakukan banyak pembenahan kelembagaan, mulai dari perubahan sistem manajerial, peningkatan standar operasional, hingga modernisasi layanan berbasis teknologi. Namun ekspektasi masyarakat terhadap Polri jauh melampaui apa yang telah dicapai.
Masyarakat ingin kepolisian yang hadir tanpa diskriminasi, bebas dari budaya kekerasan, tidak tersangkut praktik koruptif, dan mampu mengayomi tanpa menakut-nakuti. Di sinilah reformasi Polri menemukan relevansinya: memperbaiki bukan hanya struktur, tetapi juga kultur.
Isu mendasar dalam reformasi Polri sesungguhnya bersumber pada kesenjangan antara mandat institusi dan praktik di lapangan. Di satu sisi, Polri dituntut menjalankan fungsi penegakan hukum secara profesional. Di sisi lain, masih muncul praktik penyalahgunaan kewenangan seperti kriminalisasi, pungutan liar, hingga lemahnya penanganan kasus tertentu.
Ruang-ruang ini menimbulkan persepsi publik bahwa Polri belum sepenuhnya bebas dari mentalitas kekuasaan lama. Reformasi harus menjangkau akar masalah ini dengan reorientasi besar-besaran terhadap budaya organisasi.
Peningkatan pengawasan merupakan pilar penting dalam proses reformasi. Selama ini, pengawasan internal sering dipandang tidak cukup kuat untuk memastikan transparansi penanganan perkara maupun perilaku anggota di lapangan. Meskipun sudah ada Divisi Propam dan sejumlah mekanisme pengaduan publik, hasilnya belum sepenuhnya memuaskan.
Pengawasan eksternal melalui Kompolnas atau lembaga independen lainnya perlu diperkuat agar tidak sekadar menjadi penonton. Dengan model pengawasan yang kokoh, setiap tindakan aparat dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, sehingga kepercayaan publik tumbuh melalui proses yang wajar dan terukur.
Aspek lain yang tak kalah penting adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Polisi tidak hanya dituntut memiliki keterampilan teknis, tetapi juga kepekaan sosial dan pemahaman etika publik. Tantangan kejahatan digital, kekerasan berbasis gender, hingga kejahatan lintas negara menuntut Polri untuk terus memperbarui kompetensinya.
Pendidikan dan pelatihan kepolisian harus diarahkan pada disiplin humanisme, perlindungan HAM, dan profesionalitas dalam setiap tindakan. Dengan SDM yang unggul dan berintegritas, Polri dapat menjalankan fungsinya tanpa menjadi ancaman bagi warga negara.
Tantangan reformasi Polri juga berada pada aspek pelayanan publik. Perubahan teknologi seharusnya mendorong percepatan layanan, termasuk proses pelaporan online, digitalisasi administrasi, hingga akses informasi yang lebih terbuka. Namun modernisasi teknologi harus dibarengi perbaikan mental pelayanan.
Tanpa perubahan budaya kerja, penggunaan teknologi berpotensi hanya menjadi formalitas tanpa memberi dampak signifikan. Pelayanan yang cepat, tidak diskriminatif, dan mudah diakses merupakan kunci bagi Polri untuk kembali mendapatkan kredibilitas di mata rakyat.
Reformasi Polri tidak dapat dilepaskan dari dukungan politik dan regulasi yang kuat. Polri membutuhkan ruang gerak yang jelas, tidak tumpang tindih dengan lembaga lain, serta didukung aturan yang memastikan keberlanjutan reformasi.
Reformasi kelembagaan harus dilakukan secara sistematis, bukan sekadar respons insidental atas peristiwa tertentu. Jika reformasi tidak memiliki arah jangka panjang, maka perubahan yang dihasilkan hanya bersifat kosmetik.
Pada saat yang sama, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendorong reformasi Polri. Kritik yang konstruktif, partisipasi publik dalam proses pengawasan, hingga kesediaan untuk terlibat dalam dialog keamanan semuanya menjadi faktor yang menentukan.
Hubungan antara Polri dan masyarakat tidak dapat dibangun hanya dengan seremonial, tetapi melalui interaksi yang setara dan terbuka. Polri butuh masyarakat yang kritis, dan masyarakat butuh Polri yang profesional.
Arah reformasi Polri ke depan perlu menekankan pada tiga pondasi utama. Pertama, pelayanan publik yang humanis, yakni menghadirkan kepolisian sebagai pelayan, bukan penguasa.
Kedua, penegakan hukum yang berintegritas, yaitu memperkuat due process of law serta memastikan penegakan hukum bebas dari intervensi.
Ketiga, modernisasi kelembagaan, termasuk digitalisasi proses hukum, penggunaan teknologi untuk mencegah kejahatan, serta penguatan sistem pengawasan berbasis data.
Reformasi Polri tidak berhenti pada satu periode kepemimpinan ataupun satu rangkaian program. Ini adalah perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen, keberanian, dan konsistensi.
Polri harus bergerak sejalan dengan perkembangan masyarakat, bukan tertinggal atau terjebak dalam pola lama. Dengan reformasi yang menyeluruh, Polri bukan hanya menjadi aparat penegak hukum, tetapi juga pilar keamanan yang dipercaya, dihormati, dan dicintai oleh rakyatnya.
***
*) Oleh : Andriyady, SP., Penulis dan Pengamat Sosial Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |