https://jatim.times.co.id/
Opini

Kebijakan Larangan Medsos Remaja

Sabtu, 13 Desember 2025 - 08:31
Kebijakan Larangan Medsos Remaja Sidarta Prassetyo, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial, FISIP, dan Dosen D3 Bahasa Inggris, Fakultas Vokasi Universitas Airlangga.

TIMES JATIM, SURABAYA – Pemerintah Australia resmi melarang anak dan remaja di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial. Kebijakan ini menjadikan Australia negara pertama yang memberlakukan pembatasan penggunaan medsos berbasis usia secara nasional. 

Kebijakan ini memicu perdebatan global: apakah langkah ini benar-benar melindungi remaja atau justru mengabaikan dinamika kehidupan digital mereka? Indonesia perlu mencermati isu ini dengan lebih jernih sebelum meniru langkah Australia.

Di era digital, media sosial bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga sarana belajar, berekspresi, dan membangun koneksi sosial. Henry Jenkins, melalui konsep participatory culture, menekankan bahwa media digital memungkinkan anak muda bukan hanya sebagai konsumen, tetapi juga produsen konten. 

Dengan hambatan yang rendah dan akses luas, remaja dapat membuat video, menulis cerita, berkolaborasi, hingga memecahkan masalah secara kolektif keterampilan yang sangat relevan untuk literasi abad ke-21.

Pengalaman saya ketika mewawancarai siswa SMA menunjukkan bahwa mereka melihat media sosial sebagai bagian integral dari kehidupan akademik dan sosial. Banyak institusi pendidikan memanfaatkan media sosial untuk branding sekolah, publikasi kegiatan, hingga praktik pembelajaran seperti digital marketing atau pembuatan konten edukatif. Bagi sebagian remaja, media sosial bukan sekadar hiburan, tetapi ruang belajar nyata yang tidak disediakan secara langsung oleh struktur pendidikan formal.

Pandangan Danah Boyd, peneliti media terkemuka, menguatkan hal ini. Ia mengatakan bahwa internet “mirrors and magnifies the good, bad, and ugly.” Artinya, dunia digital memperbesar segala aspek kehidupan, termasuk peluang untuk berkembang. 

Boyd juga menambahkan bahwa remaja sebenarnya mampu mengembangkan strategi sendiri dalam menghadapi kompleksitas ruang digital. Mereka tumbuh di era networked publics ruang sosial yang secara alami terhubung melalui teknologi yang justru membentuk kesiapan mereka untuk navigasi digital.

Dengan demikian, melarang total justru berpotensi menghambat perkembangan kompetensi digital generasi muda Indonesia.

Dampak Negatif Media Sosial bagi Kesehatan Mental

Di sisi lain, kekhawatiran Australia tidak sepenuhnya keliru. Media sosial memang membawa risiko besar, terutama terkait kesehatan mental. Leon Festinger, melalui Social Comparison Theory, menjelaskan bahwa manusia memiliki dorongan alami untuk membandingkan diri dengan orang lain. Di media sosial, dorongan ini diperkuat oleh konten yang dikurasi sebagai “highlight reel,” sehingga menciptakan standar hidup yang tidak realistis.

Upward comparison membandingkan diri dengan mereka yang dianggap lebih sukses, cantik, atau populer dapat memicu kecemasan, ketidakpuasan diri, dan depresi. 

Riset menunjukkan hal ini paling sering dialami remaja perempuan yang terekspos pada standar kecantikan digital. Media sosial dapat menjadi arena penuh tekanan yang menggerus harga diri.

Remaja yang saya wawancarai pun mengakui bahwa media sosial dapat membuat mereka merasa tertinggal atau tidak cukup baik. Namun, yang menarik, mereka juga menyatakan bahwa larangan justru tidak efektif karena mereka bisa saja menggunakan data palsu untuk tetap mengakses platform tersebut. Artinya, pendekatan represif tidak serta-merta menyelesaikan masalah.

Larangan total bukan solusi sederhana untuk persoalan yang kompleks. Danah Boyd mengingatkan bahwa membatasi akses ke alat yang digunakan remaja untuk berinteraksi dan mencari dukungan tidak serta-merta menghilangkan krisis kesehatan mental. Justru, kebijakan ekstrem bisa memutus ruang sosial yang selama ini menjadi sandaran emosional generasi muda.

Indonesia perlu mempertimbangkan pendekatan yang lebih seimbang, misalnya: Pertama, edukasi literasi digital sejak dini. Kedua, pelibatan orang tua dalam pendampingan. Ketiga, transparansi algoritma dan keamanan platform, penguatan mekanisme perlindungan data dan privasi anak.

Kita bisa belajar dari Australia, tetapi tidak harus menirunya sepenuhnya. Yang dibutuhkan bukan larangan total, melainkan kebijakan yang memahami bahwa media sosial adalah ruang yang memiliki dua sisi membawa peluang besar sekaligus risiko yang nyata.

***

*) Oleh : Sidarta Prassetyo, Mahasiswa S3 Ilmu Sosial, FISIP, dan Dosen D3 Bahasa Inggris, Fakultas Vokasi Universitas Airlangga.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jatim just now

Welcome to TIMES Jatim

TIMES Jatim is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.