TIMES JATIM, BONDOWOSO – Di tengah riuh rendah lanskap politik Indonesia, NU kembali menjadi pusat perhatian, bukan semata karena kekuatan demografisnya, tetapi karena vibrasi moral yang diharapkan muncul dari tubuh jam’iyah terbesar di negeri ini.
Dalam kegaduhan kepentingan yang sering memecah fokus masyarakat, NU sejatinya memikul amanat lebih tua dari hiruk-pikuk kekuasaan: amanat untuk menjaga kejernihan agama (tafaqquh fiddin) dan keluhuran adab yang diwariskan para masyayikh.
Filsuf Denmark, Soren Kierkegaard, pernah berkata, “Purity of heart is to will one thing.” Kesucian niat adalah kehendak yang terarah pada satu tujuan. NU, dengan sejarah panjangnya, sesungguhnya didirikan dengan kehendak tunggal itu: menjaga agama, menjaga masyarakat, dan menjaga warisan keulamaan.
Namun di zaman ketika politik menyusup ke ruang-ruang sosial secara lebih halus dari sebelumnya, kehendak tunggal ini diuji. Apakah jam’iyah mampu tetap jernih, atau justru akan dibelokkan oleh kepentingan yang merayap seperti kabut dalam organisasinya?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk memilih kubu mana pun dalam dinamika internal. NU bukan arena pertarungan kepentingan personal; NU adalah rumah besar penuh keberkahan yang dibangun para masyayikh dengan air mata, keikhlasan, dan ilmu yang bertaut dengan langit. Karena itu, jalan jernih NU adalah jalan untuk menjernihkan Jam’iyah, bukan memperkeruhnya.
Konflik internal bila pun ada tidak boleh diwarisi oleh publik dalam bentuk yang menurunkan marwah organisasi. NU memiliki AD/ART, memiliki manhaj keorganisasian, dan memiliki etika jam’iyah yang sangat jelas.
Dalam kerangka inilah, persoalan apa pun mestinya dikembalikan ke ahlun-nadhr jam’iyah, diselesaikan secara kekeluargaan, tanpa memecah hati warga nahdliyyin yang mencintai NU dengan tulus.
Dalam bahasa tasawuf, Ibn ‘Arabi menulis, “Al-jam‘u yuhaqqiqul-farq.” Keterpaduan justru memantapkan perbedaan. Artinya, NU bisa menampung ragam pandangan, tetapi tetap menjaga satu kiblat moral: persatuan umat.
Pesantren sebagai Jantung Moral Jam’iyah
Jika NU adalah tubuh, maka pesantren adalah jantung moralnya. Di sanalah ruh perjuangan ditanam, dirawat, dan diwariskan. Pesantren bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi medan asketisme sosial tempat para kiai mengajar bukan hanya ilmu, melainkan adab dan keberanian moral.
Ketika NU mengalami riak, pesantren sering kali menjadi penopang yang menstabilkan. Di dalam pesantren, politik ditimbang bukan dengan kalkulasi kekuasaan, melainkan dengan ukuran keberkahan dan kemaslahatan.
Di sinilah relevan renungan Al-Ghazali bahwa “kerusakan umat bermula dari rusaknya para pemimpinnya.” Maka pesantren mengajarkan satu hal yang terus bergema: siapa pun pemimpin NU, ia harus berada di bawah bimbingan etika, bukan di atasnya. Sebab bila pesantren goyah, ruh jam’iyah pun ikut meredup.
Merawat Adab Organisasi dan Jalan Tengah
NU sejak awal dibangun di atas empat pilar: tawassuth, tasamuh, tawazun, i‘tidal. Keempat nilai ini bukan jargon, melainkan jalan spiritual untuk menyeimbangkan diri dari ekstrimitas kepentingan. Dalam pandangan sufi, equilibrium adalah pintu ma‘rifah sebuah keadaan ketika seseorang tidak hanyut oleh kepentingan dunia, dan tidak pula menafikannya secara total.
Di tengah politik praktis yang semakin banal, NU mesti kembali pada jalan jernih itu: memposisikan diri sebagai jam’iyah, bukan sekadar elemen politik; menjaga moral publik, bukan menjadi bagian dari kegaduhan publik; menguatkan adab organisasi, bukan memperluas arena retakan.
Kutipan Rumi memberi cermin yang tepat: “When the soul lies down in that grass, the world is too full to talk about.” Ketika ruh jam’iyah kembali pada kejernihannya, dunia politik akan menjadi lebih kecil dari martabat yang harus dijaga.
NU hari ini berada di persimpangan jernih. Bukan persimpangan yang menyesatkan, tetapi persimpangan yang mengajak memilih: apakah NU akan tetap menjadi jam’iyah yang memikul amanat langit, atau terjebak dalam permainan bumi yang mengaburkan pandangan?
Menjernihkan NU berarti mengembalikannya pada ruh yang diwariskan para masyayikh: ruh keilmuan, adab, keikhlasan, dan keberanian moral. Menjaga pesantren berarti menjaga jantung bangsa. Dan merawat adab organisasi berarti menyelamatkan NU dari kerusakan yang lahir dari tafsir politik yang dangkal.
Maka jalan jernih itulah yang harus ditempuh. Jalan sunyi yang barangkali tidak menarik bagi kepentingan, tetapi diridai oleh para kiai. Dan kadang, jalan sunyi adalah satu-satunya tempat di mana jam’iyah dapat kembali mendengar suaranya sendiri.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |